2. Diusir

656 52 4
                                    

Semenjak mengetahui dirinya hamil, Rina selalu melamun, ke sekolah pun tidak semangat. Rini juga yang mengetahui anaknya hamil, syok tidak menyangka anaknya bisa hamil di luar nikah.

Rina berjalan menghampiri Beno yang terlihat terburu-buru.

"Beno, tunggu."

Beno menoleh. "Kenapa? Aku buru-buru."

"Aku sudah tahu, aku hanya dijadikan bahan taruhan, kan?"

"Ck, iya-iya, baguslah kalau kau sudah tahu, jadi aku tidak ribet untuk menjelaskannya. Sudah kan itu saja? Aku sedang buru-buru."

"Tapi kau mau ke mana? Ini kan masih jam sekolah."

"Aku harus pergi, nanti aku ketinggalan pesawat. Aku akan pindah ke luar negeri. Puas?! Ah iya, aku tidak pernah menyukaimu, aku hanya menyukai Zifa!"

"Ta-tapi Beno, a-aku ha--"

"Ya halo, iya-iya aku sedang di koridor, aku akan segera ke parkiran."

Beno berlari meninggalkan Rina, Rina meneteskan air mata dan mengusap perutnya yang datar.

"Aku hamil, Ben, aku hamil anakmu, Beno," lirih Rina

🔗🔗🔒🔗🔗

Rina mendongak melihat di depan rumahnya banyak sekali warga, ada apa, ya? Dengan masih memakai seragam sekolahnya, Rina menghampiri kerumunan warga yang berada di depan rumahnya.

"Permisi ... ini ada apa, ya?" tanya Rina.

"Nah! Ini dia! Dasar memalukan! Malu-maluin kampung kita saja! Lebih baik kalian pergi dari kampung ini!" teriak seorang ibu-ibu sambil menunjuk Rina.

"E-eh, ada apa ini, Bu? Kenapa? Aw!"

Rina didorong-dorong oleh para warga dan dihempaskan di lantai depan rumahnya, dia juga melihat ibunya menangis di situ.

"Ibu, ada apa sebenarnya?" tanya Rina bingung dan linglung sambil meringis merasakan keram di perutnya.

Rini menatap anaknya. "Mereka sudah tahu, Sayang. Mereka sudah tahu kamu hamil, mereka juga tahu kalau Ibu membunuh ayah kamu. Kita juga diusir dari rumah dan kampung ini."

"A-apa? Lalu ba-bagaimana?"

"Tante Rini, Rina."

Rina mendongak melihat siapa yang memanggilnya, wajah Rina mengeras dan menatap gadis dihadapannya dengan penuh rasa benci, dia, Zifa.

Zifa ingin membantunya, tetapi Rina menepis tangan Zifa, dia tidak sudi bersentuhan dengan orang yang sudah membunuh ayahnya.

Rina melihat Zifa menjauh dan menghampiri ibunya, membantu ibunya untuk berdiri. Rina mendengar percakapan antara Zifa dan ibunya.

"Maafkan aku Tante Rini, ini semua gara-gara aku," ucap Zifa sedih.

"Kamu tidak salah, Sayang, sudahlah, ini semua sudah berlalu. Tante dan Rina akan pergi dari kampung ini."

'Kenapa ibu memaafkan Zifa begitu saja? Zifa yang telah membunuh Ayah. Kenapa Ibu selalu baik pada Zifa?' batin Rina kesal.

"Kalau kau mau, kau bisa tinggal di rumahku yang di Cibeber, walaupun rumahnya sederhana, tapi cukup nyaman kok," tawar Tina, ibunya Zifa pada Rini.

"Tidak usah, Tin, aku akan mencari tempat saja sendiri."

"Kau ini, kau sudah tidak menganggapku sahabat lagi, ya?"

"Bukan begitu, Tin, tapi aku tidak enak."

"Tidak apa, aku ini sahabatmu. Kau bisa pergi ke daerah Cibeber."

Balanced Hate and Love ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang