8. Tamparan Maut Rina

694 83 9
                                    

"Ibu, mau kapan menanyakan Ayah pada Raihan?" tanya Rina.

"Sepertinya nanti setelah Raihan pulang bekerja. Semoga saja maminya tidak datang lagi ke sini. Cukup kemarin saja dia menghina kamu. Pasti jika dia ke sini akan menghina kamu seperti kemarin."

"Tenang saja, Bu. Jika dia menghinaku apalagi menghina Ibu, aku tidak akan segan-segan menamparnya. Yang baik kan Raihan, bukan ibunya. Ibu juga jangan membenci Raihan, ya. Selama ini dia baik, dia tidak bersalah."

Rini tersenyum. "Iya, akan Ibu usahakan."

"Buka!"

Rini dan Rina saling pandang ketika pintu rumah digedor dengan tidak sopan. Buru-buru Rini membuka pintu dan keluar, raut wajahnya menjadi dingin dan datar saat seorang wanita yang sudah menghancurkan hidupnya ada di hadapannya.

"Suruh anakmu itu jangan mendekati putraku!"

Rina menepis telunjuk Fani yang menunjuk di depan wajah ibunya.

"Wanita tidak sopan dan tidak punya perasaan sepertimu tidak pantas memperlakukan ibuku seperti itu!" ucap Rina dengan nada rendah.

"Kau?!"

Rina memasang badan di depan Rini, dia tidak rela ibunya diapa-apakan lagi oleh wanita itu.

"Pokoknya jauhi putraku! Raihan tidak pantas berhubungan apalagi berpacaran dengan wanita sepertimu, miskin, berandalan, ja–"

Plak!

Rina menampar wanita itu keras sampai bibirnya berdarah, dia hanya tersenyum puas. "Berandalan? Ya! Aku memang berandalan, miskin, jalang dan tidak punya sopan santun! Makanya jangan bicara sembarangan di depan berandalan sepertiku dan akan berakibat seperti ini!" sentak Rina sambil mendoromg bahu Fina dengan telunjuknya.

Fina meringis, menahan perih dan panas di pipinya sampai dia tidak bisa bicara. Tamparan Rina begitu pedas.

"Aku tidak yakin kau marah-marah seperti ini hanya gara-gara aku dekat dengan anakmu. Kau mengenal ibuku, 'kan?" Rina menatap tajam sambil bersedekap dada.

Rini sedari tadi diam, syok melihat putrinya begitu barbar dan berani pada orang yang lebih tua.

"Kau tidak sadar diri. Lihat dirimu sendiri sebelum menilaiku. Aku yakin kau hamil di luar nikah juga. Kau mempunyai anak berumur enam tahun saat baru lulus kuliah. Waw, kau ternyata sama ya denganku, hamil saat masa SMA, luar biasa. Dan aku tidak yakin kau dan ayahku menikah saat itu!" ujar Rina penuh penekanan.

"Sudah, Rin, sudah, ya."

"Tidak, Bu. Wanita seperti ini tuh harus dibungkam dulu. Awalnya dia berusaha menghancurkan hidup Ibu, 'kan? Lalu sekarang? Dia menyuruh aku menjauhi Raihan seolah dia tidak ingin sesuatu terbongkar. Jika benar Raihan dan aku adik-kakak, aku akan semakin mendekatkan diri pada Raihan. Mencari sesuatu yang wanita ini coba sembunyikan."

Rina menatap Fani mengintimidasi, dia menyeringai. "Aku berterima kasih padamu. Dengan kemunculanmu seperti ini, memberiku jalan untuk mencari ayah kandungku!"

Fani buru-buru pergi, Rina hanya tersenyum puas membiarkan wanita pergi. Tamparannya memang selalu mematikan, sekali tampar membuat orang yang ditamparnya tidak bisa bicara lagi.

"Rin, belum tentu, 'kan wanita itu hamil di luar nikah. Kamu tidak tahu apa-apa tentang wanita itu." Rini menarik tangan Rina, membawa putrinya duduk di sofa.

"Justri itu, Bu. Aku sengaja mengatakan hal itu. Agar dia tahu rasanya dinilai buruk oleh orang itu  bagaimana, padahal orang itu tidak tahu penderitaan yang dia alami saat itu. Agar dia sadar dan berpikir bagaimana rasanya jadi aku saat dia menilaiku seperti tadi."

Balanced Hate and Love ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang