HIRAETH - 02

18 7 2
                                    

Angin berhembus kencang dan membawa daun-daun gugur bersamanya. Terik matahari sore itu memantulkan setiap tetes air yang jatuh di rambut hitam panjangnya.

Asya duduk dengan tangan yang tengah memeluk kakinya. Tubuhnya basah dengan air, sedang sepatunya dirusak. Gadis berusia tujuh belas tahun itu terisak dengan tubuh menggigil kedinginan.

"Dingin..." Gumamnya lirih dengan bibir yang kian memucat. Siang tadi ketika ia hendak pulang sekolah 3 orang gadis menariknya ke belakang sekolah. Menampar pipinya juga menyiramnya dengan air dingin. Tak lupa berbagai umpatan dan tuduhan keji yang dilontarkan kepadanya.

Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal itu kepada Asya. Cemburu lah yang menjadi alasannya. Lantaran kemarin sore Asya diantar pulang oleh Jidan yang tak lain merupakan mantan kekasih salah satu dari ketiga gadis tersebut, Alena.

Alena yang belum bisa mengikhlaskan kandasnya hubungan antara ia dan Jidan, tak ingin siapapun mendekati Jidan. Termasuk Asya.

Asya mendongak, menatap langit yang semakin gelap, pertanda bahwa malam akan segera datang. Ia harus pulang, akan tetapi kakinya tengah sakit akibat dorongan dan injakan pada kakinya.

Asya meringis, kepalanya menoleh ke segala arah. Mencari handphone miliknya. Miris, yang ia temukan adalah sebuah handphone genggam yang sudah rusak.

Dan di tengah keheningan itu tiba-tiba terdengar suara langkah kaki seseorang. Asya semakin memeluk erat lutut kakinya, ia ketakutan.

Seorang laki-laki berjalan memasuki area belakang sekolah, tangan kirinya tengah menggenggam sebuah rokok. Didekatkannya rokok itu ke arah bibir. Namun belum sampai dia menghisap rokok ia dikagetkan dengan suara rintihan Asya. Lelaki itu menoleh, memperlihatkan wajah tampannya.

Asya terdiam saat kedua mata mereka bertemu. Lelaki itu tak lain adalah Jidan. Tanpa basa-basi Jidan membuang rokoknya ke sembarang arah. Kemudian mendekati dan berjongkok di depan Asya. Raut wajahnya tampak khawatir akan kondisi Asya saat itu.

"Lo kenapa bisa disini? Badan lo kenapa basah, Sya?" Ucapnya selagi melepaskan jaket yang sedari tadi menempel di tubuhnya. Kemudian dengan lembut, ia pakaikan jaket itu di tubuh Asya. Memberikan kehangatan pada tubuh mungil itu.

Menatap Asya yang hanya diam ketakutan Jidan menghela nafas berat. "Siapa yang nyakitin lo, sya? Bilang sama gua." Ia belai lembut rambut hitam panjang milik Asya. Berusaha memberikan rasa aman bagi gadis di hadapannya itu.

Asya menggeleng pelan. Ia terlalu takut untuk memberitahukan kejadian yang dialaminya tadi. Lagi-lagi Jidan menghela nafas, tatapannya beralih pada kaki Asya.

"Kaki lo sakit?" Asya mengangguk. Mendapati jawaban itu, Jidan langsung membalikan tubuhnya membelakangi Asya. "Sini gua gendong. Bisa naik, nggak?"

Asya diam, sedikit ragu untuk menjawab. Ia tak mungkin lupa alasannya ditindas tadi siang adalah karena Jidan. Jidan yang menyadari diamnya Asya sedikit menoleh, menatap wajah ragu Asya. "Gapapa, naik aja. Nanti gua anterin pulang, okay? Daripada lo kedinginan disini mending naik aja." Jidan berusaha meyakinkan gadis itu.

Asya mengangguk, perlahan menaikkan tubuhnya di punggung Jidan. Jidan menggendongnya, membawanya ke parkiran. Dan untung saja hari itu Jidan membawa mobil, sehingga tubuh dingin Asya tidak akan terkena angin sore.

Perlahan, ia mendudukkan Asya di dalam mobilnya. Kemudian beralih ke kursi pengemudi, melajukan mobil itu menuju ke rumah Asya, iya yakin bahwa gadis yang tengah kedinginan itu pasti ingin segera pulang.

***

Sepi, itu kata pertama yang terbesit di pikiran Jidan ketika pertama kali melangkahkan kakinya ke dalam rumah Asya. Rumah yang besar dengan warna beige lembut sebagai cat temboknya. Tepat di halaman rumahnya terdapat beraneka ragam jenis bunga.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang