HIRAETH - 04

15 7 1
                                    

Seorang lelaki muda tengah bersandar di dinding ruangan bercat putih mulus itu. Dengan sebuah rokok disela-sela dua jemarinya dan kedua kaki yang ia naikkan ke atas reruntuhan bangunan.

Kedua mata hitam legamnya tak henti-hentinya menatap seorang gadis dihadapannya. Sedang laki-laki yang seumuran dengannya tengah tiduran di sampingnya dengan kepala beralaskan kardus bekas dan wajah yang ditutupi dengan buku tulis.

Lelaki pertama mendengus dingin kemudian bangkit dan pergi menjauhi kedua orang tadi. Sang gadis yang sedari tadi hanya diam kini menendang batu di hadapannya lalu melangkahkan kaki untuk keluar.

"Alena, yang lo lakuin itu salah." Ucapan laki-laki kedua itu sontak membuat langkah kakinya terhenti. Alena membalikkan tubuhnya menatap lelaki itu. Ia tertawa terbahak-bahak, merasakan keanehan dengan dua orang lelaki yang kini tengah membela satu gadis yang sama.

Alena melangkahkan kakinya cepat ke arah sebelah lelaki itu, tangan kirinya dengan cepat menarik buku tulis yang sedari tadi menutupi wajah tampan lelaki di hadapannya itu. Mata coklat tua milik sang lelaki terbuka, menatap Alena datar. Ia merasa ketenangannya terganggu oleh sebab gadis di hadapannya itu.

Alena yang berdiri di hadapannya nampak berapi-api dengan nafas memburu. "Semua orang belain Asya, nggak lo, nggak Jidan. Semuanya. Berapa kali harus gua bilang, bukan gua yang ngirim pesan itu!" Mata Alena berbinar tatkala mengucapkan kalimat demi kalimat itu.

Masih dengan wajah datar tanpa ekspresi, lelaki itu bangkit dari tidurnya. Berdiri di hadapan Alena yang kini sepertinya sudah akan menangis. "Sulit buat percaya setelah apa yang lo lakuin sebelumnya, Len." Kata-kata terakhir dari lelaki itu sebelum pergi benar-benar membuat Alena kehilangan akal.

Sungguh bukan dia yang mengirimkan pesan kepada Asya malam tadi. Namun semua orang tetap mengira dirinya lah pelaku dari pengirim pesan itu. Dan kini, tidak ada seorangpun yang percaya dengan pengakuannya.

Alena berteriak histeris ketika seorang gadis berjalan mendekatinya. Alena menatap gadis di hadapannya itu, tatapan Alena seolah menanyakan apa maksud kedatangan gadis dengan rambut pendek sebahu itu.

"Gua tau bukan lo, gua percaya." Alena menaikkan sebelah alisnya, kemudian menarik sebuah senyum misterius "Lo pelakunya, kan Tanara?" Tanara tertawa, tawa yang tak ingin didengar Alena saat itu. Ingin rasanya Alena mencabik mulut di hadapannya itu dengan tangannya sendiri.

"Bukan." Sebuah kata yang terlontar dari mulut Tanara sontak membuat Alena memejamkan matanya. Tangannya meraup kasar wajahnya sendiri. "Terus siapa, Nar?! Siapa?!"

Tanara mengedikkan bahunya, merasa tidak peduli dengan siapapun orang yang mengirimi Asya pesan itu. Baginya melihat Asya menderita jauh lebih menarik daripada mengetahui siapa dalang dibalik semua peristiwa malam tadi.

"Siapapun dia, dia ngebantu banget."

***

Jidan menatap gadis yang tengah tertidur pulas di atas ranjang kamar milik Lenny. 'Cantik' Hanya kata itu yang sedari tadi terbesit dibenaknya.

Sayang sekali gadis secantik Asya harus menerima banyak ujaran kebencian setiap hari. Ia membayangkan, bukankah hidup Asya akan sangat sempurna jika beragam Ujaran kebencian itu berhenti terdengar?

Mungkin Jidan akan terus berpikir seperti itu jika saja Lenny tidak datang dengan membawa nampan besar berisi makanan dan obat-obatan yang harus Asya konsumsi.

Panic Attack yang terjadi pada Asya semalam membuat Lenny dan Jidan akhirnya menelfon Psikiater untuk meminta bantuan. Rasanya kasihan melihat gadis cantik itu terus-menerus menangis dengan wajah memucat dan nafas tersengal-sengal.

"Kak, makasih yah udah bantu semalam" Jidan menoleh, menatap gadis di sebelahnya yang tengah meletakkan nampan di nakas samping tempat tidur. Jidan tersenyum tulus, "Gapapa, misal ada yang dibutuhin telpon aja. Gua mau pulang dulu, nanti malem gua balik." Ujarnya kemudian beranjak dari tempat duduknya semula. Meninggalkan Asya berdua dengan Lenny, hari sudah semakin sore dan dia belum pulang sejak jam sekolah berakhir. Bundanya sudah pasti menunggunya di rumah.

***

Asya terduduk di sisi kasur dengan tangan gemetar dan keringat dingin membasahi keningnya. Sedang di sebelahnya, seorang gadis cantik yang tak lain adalah bayangannya sendiri berdiri di dalam kaca.

"Sampai kapan kamu mau se menderita ini, Asya?"

Asya menggeleng cepat, ia tatap gadis dalam kaca itu. Gadis itu tampak cantik dan sempurna dibandingkan dirinya. Tak ada luka bekas sayatan pada tangannya, wajahnya pun putih mulus tanpa lebam-lebam dan kantung mata hitam. Andai ia bisa sesempurna bayangannya, andai ia bisa seberani bayangannya itu.

"Kamu bodoh, Asya. Mendengarkan semua hujatan orang lain yang malah membuatmu semakin terpuruk. Coba lihat bekas sayatan di tanganmu, bukankah itu semakin bertambah parah semakin harinya? Tidakkah ka-"

"Diem! Gua bakal membaik! Pasti! Gua. Bakal. Membaik. Itu pasti!" Ia memotong pembicaraan bayangannya sendiri. Gadis yang merupakan bayangannya tersenyum mengejek kearahnya.

"Dengan mengandalkan orang lain sebagai tameng mu sendiri? Lemah." Asya menatap murka ke arah bayangannya itu, seolah tidak terima dihina dengan kata 'lemah'.

"Kamu bisa bawa kebahagiaanmu sendiri, Asya. Kamu bisa berdiri sendiri. Percaya dengan saya, kamu mampu melawan mereka sendiri. Kam-"

"Arghhhh" lagi-lagi Asya memotong ucapan bayangannya itu. Kini gadis itu bangkit, berdiri tepat di hadapan cermin. Telunjuknya terangkat mengarah pada cermin. Rahangnya mengeras menahan kuat air mata yang sewaktu-waktu akan jatuh.

"Diem! Sekarang udah ada Jidan. Gua ga butuh lo! Pergi! Gua bisa tanpa lo! Lo ga perlu muncul lagi!" Ujarnya histeris kemudian memecahkan kaca di hadapannya itu dengan kepalan tangannya.

Asya beringsut mundur, menjauh dari pecahan kaca yang masih saja menampilkan bayangan dirinya yang sempurna. Asya berlari, menarik gagang pintu.

Pintu terbuka, menampilkan seorang lelaki tampan dengan pakaian santai di hadapannya. Asya mendorong pelan lelaki yang tak lain adalah Jidan. Berusaha sekuat tenaga agar jidan tak dapat melihat bayangan Asya.

Jidan menautkan kedua alisnya, heran dengan perilaku Asya yang nampak ketakutan dengan darah ditangan kirinya. Sedang gadis itu terus saja berujar 'pergilah' dengan suara kecil.

***

Seorang gadis dengan dress abu-abu selutut berjalan memasuki cafe. Sorot matanya tertuju pada seorang gadis berambut hitam yang tengah duduk di sudut ruangan dengan sebuah cangkir kopi yang diseruputnya.

Gadis dengan dress abu berjalan cepat menuju kearah gadis berambut hitam. Ia dudukkan tubuhnya pada kursi yang terletak dihadapan sang gadis berambut hitam.

"Kapan kita mulainya?" Gadis dengan rambut coklat bertanya kepada gadis dihadapannya.

"Pas Asya masuk. Kita langsung aja." Jawab gadis berambut hitam dengan senyum miring itu. Keduanya tengah merencanakan sesuatu yang diyakini dapat membuat Asya pergi dari sekolahnya.

"Gimana klo si -"

"Tenang aja deh. Gua yakin dia ga bakal ikut campur." Potong gadis berambut hitam, meyakinkan temannya itu bahwa tak akan ada hambatan apapun dalam rencana mereka kali ini.

***

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang