HIRAETH - 03

13 7 0
                                    

Ia bawa tubuh mungilnya itu untuk duduk diatas kursi. Tangan kanannya membuka lengan bajunya secara perlahan, menampakkan goresan-goresan luka di bagian permukaan kulitnya.

Asya menghela nafas panjang, ia tidak ingin menyakiti dirinya sendiri. Namun hanya ini cara yang paling mampu membuatnya lebih tenang saat ditempa oleh masalah.

Matanya menoleh menatap ke arah bunga-bunga di sekelilingnya. Ia pejamkan mata indah itu ketika perlahan angin berhembus membawa wangi-wangi bunga bersamanya.

Siang tadi Lenny sudah pulang setelah semalaman menemaninya. Tanpa ingin menyusahkan siapapun, Asya membiarkan gadis itu pergi setelah sebelumnya meyakinkan bahwa ia sudah baik-baik saja.

Padahal sebenarnya ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Menenangkan hati dan pikirannya sendiri, dan dengan caranya sendiri.

Asya terdiam terlalu lama hingga tidak menyadari seorang lelaki tengah berdiri di sampingnya. Menatap Asya dan bekas luka di tangannya dengan rasa kasihan.

"Asya? Tangan lo…" Asya terlonjak kaget, dengan cepat ditariknya lengan baju itu menutupi seluruh bagian tangannya. Asya balas menatap lelaki dihadapannya yang tak lain adalah Jidan.

"Asya nggak kenapa-kenapa kok, Kak" Jelasnya berusaha untuk meyakinkan Jidan.

Sedang Jidan semakin merasa bersalah. Apa karena dirinya Asya harus menerima luka di hati juga tubuhnya? Karenanya juga Asya menyakiti tubuhnya sendiri.

Merasakan kecanggungan antara dirinya dan Jidan, Asya pun membuka suara, "Kakak mau minum dulu? Asya ambilin air, yah?" Jidan tersadar dari lamunannya, "Kaki lo udah baikan?" Asya mengangguk, membuat sedikit rasa lega pada hati Jidan.

Jidan menaikkan tangannya, perlahan menyentuh rambut hitam Asya. Kemudian dengan lembut ia belai rambut Asya. "Maaf, yah. Karena gua lo jadi gini, Sya." Asya menggeleng cepat, merasa tidak setuju dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Jidan barusan.

"Kakak nggak salah, kok." Jidan menghela nafas panjang lalu duduk di samping gadis itu. Digenggamnya tangan Asya, kemudian ia singkap pelan lengan baju gadis dihadapannya itu. Memperlihatkan goresan-goresan luka pada permukaannya, dengan ragu ia sentuh goresan-goresan itu. Jidan meringis, membayangkan bagaimana sakit yang dirasakan oleh Asya.

"Nggak sakit, Sya?" Jidan bertanya dengan nada ragu yang dibalas gelengan santai oleh Asya. "Perasaan Asya lebih sakit ketimbang ini. Kata-kata mereka lebih dalam lagi lukanya ketimbang ini." Asya ikut menyentuh goresan-goresan itu. Terlihat mengerikan, ia tidak tahu darimana datangnya keberanian untuk menyakiti tangannya sendiri seperti itu. Rasanya ketika ia menyakiti tubuhnya, rasa sakit dihatinya ikut menguap begitu saja.

Jidan menarik pergelangan tangannya, mendekap erat tubuh gadis di hadapannya itu. Berusaha menyalurkan seluruh kekuatan untuk Asya. Ia tidak pernah merasakannya, tapi yang pasti itu terasa sangat berat. Bagaimana bisa gadis yang berusia satu tahun di bawahnya itu menghadapi takdir yang memaksanya untuk menyakiti dirinya sendiri?

Sedang Asya yang berada dalam dekapan hangat Jidan hanya bisa terdiam dengan mata tertutup. Berada dalam pelukan Jidan membuatnya merasa nyaman dan aman.

Jidan perlahan melepaskan pelukannya itu, kemudian menatap lurus ke arah mata Asya. "Kalau ada apa-apa lo bisa cerita ke gua, Sya. Gua disini." Ucapnya sambil tersenyum tulus.

Jidan menggenggam lembut tangan gadis itu, "Jangan sakiti diri lo lagi." Suaranya terdengar parau dengan tatapan mata yang tak dapat dijelaskan.

Asya tersenyum kikuk kemudian menarik tangannya dari genggaman Jidan. "Asya ambilin air dulu buat kakak" Izinnya lalu berdiri, berjalan masuk kedalam rumah untuk mengambil air.

***

Hidup sendiri karena orang tua dan kakak yang sibuk bekerja membuatnya kesepian. Sejak empat tahun lalu, mama dan papanya memilih untuk tinggal di luar negeri. Meninggalkan Asya dan kakak laki-lakinya untuk tinggal bersama dengan sang nenek.

Dan tepat tahun lalu ketika sang kakak mulai bekerja, neneknya meninggal dunia. Membuatnya hanya tinggal berdua dengan sang kakak yang lebih sering menghabiskan waktunya untuk bekerja, bahkan tak jarang pula Asya harus tinggal sendirian oleh sebab sang kakak yang pergi ke luar kota dengan alasan pekerjaan.

Kesendiriannya itulah yang membuat dirinya tak memiliki tempat untuk bercerita dan memilih untuk menyakiti dirinya ketika tengah dirundung masalah.

Untung saja sore itu Jidan datang dengan setia menemaninya selagi menunggu Lenny datang menjemput. Rencananya Asya akan menginap untuk beberapa hari di rumah Lenny hingga sang kakak pulang.

Dan yah, rencana ini didasari oleh Jidan yang takut Asya akan kembali menyakiti dirinya sendiri jika sedang sendirian. Sehingga bersama Lenny mungkin dapat membuat gadis itu merasa lebih baik.

Lenny sahabatnya menyanggupi permintaan Jidan. Datang dengan mobil yang dikendarai oleh sopirnya ia berjalan ke hadapan Asya dan Jidan yang sedari tadi menunggunya di luar rumah.

"Tenang, Kak gua jagain kok." Ucapnya meyakinkan Jidan. Mendengar suara khawatir Jidan di telepon membuatnya sempat ikut khawatir dan langsung menyanggupi permintaan Jidan itu.

"Jangan sampai Asya deket sama barang tajam, okay?" Lenny terkekeh kecil kemudian mengangguk. Ia menatap wajah sahabat yang sedari tadi berdiri disamping Jidan. "Lo bikin gua khawatir juga, Sya." Asya menunduk, rasa bersalah menyelimuti seluruh hatinya.

Namun tak lama dapat ia rasakan sebuah tangan mengelus punggungnya. "Kalau ada apa-apa cerita sama gua, yah?" Asya menengadah menatap ke arah wajah Lenny kemudian mengangguk semangat sambil memamerkan senyum indahnya.

Tepat setelah menaikkan semua koper berisi baju-baju Asya, kedua gadis itu pun masuk ke dalam mobil. Berjalan menuju ke rumah Lenny. Sedang Jidan langsung pulang dengan menaiki sepeda motornya. Ada beberapa tugas OSIS yang harus ia urus hari itu.

***

Matahari telah terbenam bersamaan dengan malam yang mulai datang. Sebuah pesan masuk membentuk sebuah notifikasi di layar handphone milik Asya.

Lenny menoleh, menatap Asya yang tengah duduk dengan ponsel di genggamannya. Wajahnya nampak pucat, tubuhnya pun nampak bergetar hebat tepat setelah membaca pesan itu.

Lenny mendadak khawatir dengan kondisi Asya saat itu. Dengan cepat ia mendekati Asya, menyentuh pundak gadis itu. Direbutnya handphone milik Asya setelah berkali-kali menanyakan apa yang terjadi namun tidak ada jawaban sama sekali.

Mata Lenny melotot tatkala melihat pesan yang masuk berupa umpatan dan kutukan kepada Asya. Diremasnya handphone di genggamannya itu. Lenny menggertakkan giginya, merasa kesal dengan pengirim pesan itu.

Dengan cepat ia kembali menatap ke arah Asya, memberikan gadis itu minum untuk membuatnya lebih tenang. Namun usahanya untuk memenangkan Asya berujung nihil, gadis itu malah menangis dengan nafas tersengal-sengal semakin membuatnya khawatir.

Tanpa butuh waktu lama, Lenny bergerak mengambil handphone-nya. Mencari kontak Jidan, dirumahnya saat itu hanya ada dia dan Asya. Orang tuanya tengah pergi, tidak ada yang bisa membantunya menenangkan Asya selain Jidan.

Tak perlu waktu lama setelah menelpon Jidan, lelaki itu langsung datang bersama dengan motornya. Wajahnya nampak jelas bahwa ia tengah khawatir. Apalagi melihat pakaian Jidan yang hanya mengenakan kaos oblong polos dan celana pendek membuat siapapun yakin bahwa laki-laki itu tengah terburu-buru.

***

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang