HIRAETH - 06

6 6 0
                                    

Matahari sudah terbit, sinarnya kian berani untuk menembus celah memasuki setiap ruang yang ada. Asya terbangun dari tidurnya ketika menyadari sinar matahari kian menyilaukan matanya.

Asya terduduk di atas kasur, menatap bayangan tubuhnya pada kaca yang terletak tepat di depan kasurnya. Matanya sembab oleh sebab tangisan yang kian menjadi malam tadi. Rasa takut, gelisah, tertekan berkumpul menjadi satu dalam benaknya semalam.

Bahkan buket bunga mawar yang ia letakkan di nakas samping tempat tidurnya pun tidak membuat rasa gelisahnya meredam dan justru semakin menjadi-jadi.

Asya ketakutan, siapa yang mengirim bunga itu? Mengapa orang-orang membencinya karena mendapatkan barang seindah itu? Apa yang salah dari rasa bahagia yang menimpa dirinya?

Pertanyaan-pertanyaan yang seperti itu terus-menerus mengintai dirinya. Hingga tanpa Asya sadari Lenny tengah memasuki kamarnya dengan sebuah nampan berisi sarapan di tangannya.

Dapat Asya lihat di nampan itu berisi semangkuk bubur ayam, segelas air putih, dan tak lupa satu buah apel yang terlihat sangat manis. Rasa gelisah Asya meredah, berganti menjadi rasa lapar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Lenny tersenyum ke arahnya kemudian duduk disampingnya. Gadis cantik yang merupakan sahabatnya itu perlahan mengelus lembut tangan Asya. "How do you feel?" Tanyanya lembut. Asya mengangguk pelan dengan senyuman manis bersamanya membuat Lenny ikut tersenyum senang.

Dengan lihai Lenny menyuapi Asya. Hari ini adalah hari minggu, jadi Lenny memiliki banyak waktu untuk menemani sahabatnya itu.

"Len, makasih yah?" Asya menatap tulus ke arah Lenny.

"Iya, Sya. Cepet membaik yah? Jangan dengerin perkataan mereka lagi, okay?" Asya mengangguk sambil tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya yang berderet rapi.

Lenny terkekeh kecil. Kembali ia suapi Asya hingga mangkuk berisi bubur ayam di tangannya itu habis tanpa sisa.

***

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan ketika Jidan hendak memasuki sebuah toko roti. Ia hendak berkunjung ke rumah Asya.

Bukan rahasia lagi bahwa kabar dimana Tanara dan Alena mengganggu gadis cantik bernama lengkap Sandhya Asyauqi itu. Bahkan kabar itu sudah menyebar ke seluruh murid sekolahnya.

Dan kabar itu tentu saja membuat Jidan merasa khawatir dengan keadaan Asya saat itu. Maka dari itu hari ini ia hendak mengunjungi Asya dengan beberapa bungkus roti untuk diberikan kepada gadis itu.

Jidan mendudukkan dirinya di kursi dekat pintu selagi menunggu pesanannya sudah siap. Ia menatap jalanan yang terlihat pada jendela toko roti tersebut. Dalam benaknya kini tengah memikirkan cara untuk melindungi Asya, membuat gadis yang belakangan ini mengisi pikirannya itu bahagia.

Ia hanya merasa tak tega melihat Asya ditindas apalagi penyebabnya tak lain adalah dirinya sendiri.

Jidan menghembuskan nafas panjang, hendak bangkit dari duduknya untuk mengambil pesanannya yang sudah siap. Namun langkahnya terhenti saat ekor matanya melihat pemandangan yang aneh baginya.

Seorang lelaki tampan yang dikenalnya tengah berdiri di luar toko roti dengan sebuket bunga ditangannya. Senyuman yang nampak di wajahnya semakin membuat Jidan merasa aneh.

Ingin mengetahui lebih apa yang menjadikan alasan lelaki itu tersenyum, namun panggilan dari pelayanan toko roti menghentikan tujuan awalnya.

***

Asya terduduk di sofa samping jendela di kamarnya. Matanya menatap ke luar, tepat sebuah taman mini milik ibunya tercipta.

Berbagai warna-warni bunga tumbuh disana. Ibunya memang menyukai bercocok tanam, hal itu ternyata menerus pada Asya.

Mawar, bunga yang cantik juga berduri tajam itu ialah bunga kesukaan ibunya. Menurut ibunya mawar ialah bunga cantik yang secara bersamaan melindungi tubuhnya sendiri dari ancaman dunia luar.

Masih sangat jelas teringat dalam benak Asya ketika ibunya mengatakan padanya untuk menjadi seorang seperti halnya bunga mawar. Nampak indah namun juga mampu melindungi dirinya sendiri.

Asya meringis saat mengingat itu, menyadari bahwa dirinya tak berhasil melindungi dirinya sendiri.

Lama menatap bunga di hadapannya, kini tatapan matanya tertuju pada seorang lelaki yang berjalan mengendap-endap memasuki halaman rumahnya.

Laki-laki yang nampak menyadari keadaan Asya sontak mengalihkan tujuannya yang semula hendak berjalan menuju pintu utama rumah menjadi ke arah jendela kamar Asya.

Asya tersenyum riang, dengan cepat ia buka jendela di hadapannya itu. Dapat jelas ia lihat seorang lelaki dengan buket bunga digenggamnya.

Tanpa berujar apapun, lekaki itu menyerahkan buket bunganya pada Asya kemudian berbalik arah hendak pergi. Senyum di wajah Asya kian hilang, wajahnya nampak jelas tengah kebingungan.

Langkah laki-laki itu terhenti, tubuhnya berbalik kembali menatap Asya. Dengan ekspresi wajah datar dan bibir merah muda, lelaki itu berkata, "Cepet sembuh." Suaranya terdengar kecil namun dapat jelas Asya mendengarnya.

Lelaki itu kembali melangkah menjauhi halaman rumah Asya. Lalu pergi setelah keluar lewat pintu pagar rumahnya.

Asya menundukkan kepalanya menatap buket bunga di tangannya. Kepalanya dimiringkan ke samping. Cantik, pujinya dalam hati.

Mungkin Asya akan terus-menerus memuji kecantikan buket bunga di genggamannya itu jika saja Lenny tidak datang untuk mengetuk pintu kamar Asya, membuat gadis berusia tujuh belas tahun itu tersentak kaget kemudian dengan cepat meletakkan buket bunganya di nakas samping tempat tidurnya.

Ia melangkahkan kakinya menuju pintu kamar, membuka perlahan pintu putih di hadapannya itu. Tepat di depan pintu berdiri Lenny yang hendak memberitahukan bahwa Jidan tengah berada di ruang tamu hendak menemui Asya.

"Ciee disamperin. Dibawain roti pula." Seru Lenny menggoda Asya selama diperjalanan menuju ke ruang tamu. Asya hanya bisa tersenyum malu-malu mendengar perkataan Lenny.

Sesampainya di ruang tamu, kedua gadis itu melihat ke arah Jidan. Pria tampan dengan tinggi badan sekitar 175 sentimeter itu terduduk di sofa ruang tamu. Rambut hitamnya disisir rapi, kaos hitam polos dan jaket jeans menyelimuti tubuhnya. Tidak lupa celana jeans panjang juga sepatu Vans yang dikenakannya semakin menambah keren penampilannya saat itu.

Jidan tersenyum kikuk setelah menyadari keberadaan Asya. Tangan kanannya terangkat untuk memberikan sebuah plastik berisikan roti kepada Asya yang disambut hangat oleh gadis itu. Tak lupa sebuah ucapan terimakasih semakin membuat keduanya malu.

"Gua kebelakang dulu yah ngambil air buat kak Jidan." Ujar Lenny memecahkan keheningan diantara ketiganya. Gadis itu berjalan menuju dapur meninggalkan kedua atma itu berduaan di ruang tamu.

"Sya…" Asya menengadah menatap ke arah wajah Jidan. Netra keduanya bertemu, dapat jelas Asya lihat sorot penyesalan pada mata Jidan. "Maafin sepupu gua, yah?" Sambungnya dengan nada pelan.

Asya terdiam. Pikirnya kembali mengingat perlakuan sepupu Jidan, yaitu Tanara. Tanpa ragu dan dengan maksud tidak ingin membuat Jidan merasa terus-menerus bersalah, Asya mengangguk serta memamerkan sebuah senyum manis membuat Jidan ikut tersenyum lega.

"Gua janji, Sya. Gua janji bakal lindungi lo."

***

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang