HIRAETH - 11

6 4 3
                                    

"Kak,"

Langkah kaki Jidan terhenti tatkala ia mendengar suara lembut yang dikenalnya. Ia Membalikkan badannya, memfokuskan kedua netranya pada seorang gadis yang berdiri di hadapannya itu. 

Jidan menatap heran gadis di hadapannya, padahal baru beberapa langkah baginya untuk keluar dari rumah Asya. Namun gadis itu sudah memanggilnya kembali.

Gadis itu berdiri dengan sebuah handphone di genggamannya. Wajahnya menjelaskan bahwa ia tengah ketakutan saat ini. Jidan berjalan mendekati gadis itu, menjauhi tujuan awalnya tadi.

"Kenapa, Asya?"

Asya mengerjapkan matanya berulang kali. "Kakak lagi sibuk?" Jidan mengangguk, semakin menyurutkan niat awal Asya.

"Kenapa?" Jidan kembali bertanya. Asya menjawabnya dengan gelengan pelan.

"Gapapa. Cuman masalah kecil." Jidan mengerutkan keningnya. Tak lama tersenyum tipis kemudian mengangguk.

Ia tak ingin mengetahui lebih untuk saat ini karena ada kesibukan yang harus diselesaikannya segera. Acara sekolah akan dilaksanakan sebentar lagi, dan dirinya diperlukan dalam hal ini.

Setelah mengacak pelan rambut panjang Asya Jidan kembali membalikkan badannya kemudian berjalan menjauhi Asya. Menjauhi gadis yang tengah dirundung rasa takut itu.

Bagaimana tidak, sebuah pesan berupa ancaman kembali didapatnya. Ia tak tahu harus bicara pada siapa saat ini. Rakan mendadak keluar kota karena ada urusan mendadak, dan Lenny pergi ke rumah neneknya. Sedangkan Jidan kini harus pergi karena sibuk. 

Asya menundukkan kepalanya saat bayangan Jidan menghilang dibalik pintu gerbang. Ia harus menjalaninya sendiri lagi kali ini

***

Suasana pagi itu cukup ramai di sekolah. Beberapa murid yang dipilih memeriahkan pesta yang akan datang kini tengah berkumpul di sekolah untuk gladi bersih. 

Asya menjadi salah satu yang mengisi acara itu dari sekian banyak murid yang ada. Wajah cantik dan suara lembutnya membuat dirinya dipilih sebagai master of ceremony dari acara tersebut. 

Sungguh sebuah kehormatan baginya untuk itu. Maka dengan senang ia datang ke sekolah. 

Ah jangan lupakan Jidan yang menjemputnya pagi tadi. Laki-laki tampan itu juga akan mengisi acara nantinya. 

Namun karena Jidan harus rapat maka keduanya berpisah ketika sampai di sekolah. Membuat Asya akhirnya berkumpul pada murid yang lain selagi menunggu Jidan kembali.

Asya menghembuskan nafasnya pelan, Jidan pasti sangat sibuk saat ini. Jadi tak mungkin baginya untuk berbagi cerita pada lelaki itu. 

Asya dapat melihat Jidan dari kejauhan, laki-laki yang merupakan kakak kelasnya itu tengah bicara dengan segerombolan orang disekitarnya. Termasuk Lenny yang datang pagi tadi karena juga dipilih untuk menjadi bagian dari acara ini.

Jidan, laki-laki tampan yang berdiri jauh dari Asya itu kini tengah mengenakan baju putih yang dibalut jaket kulit juga celana jeans panjang. Seperti biasa dia tampak tampan dihadapan Asya. 

Tanpa sadar Asya memandangi Jidan terlalu lama, hingga tanpa ia sadari sebuah tatapan bak singa yang tengah mengawasinya dari kejauhan. Tatapan itu seolah-olah siap menerkam Asya kapanpun saja semaunya.

***

11.13,

Untuk kedua kalinya Jidan memutari sekolah, mencari keberadaan seorang gadis yang bernama Asya. Rencananya ia akan mengajak gadis itu untuk pulang bersama, tapi entah kemana gadis itu saat ini. Padahal Jidan sudah mencarinya sejak bel pulang berbunyi hingga suasana sekolah yang tadinya ramai dengan murid yang hendak pulang berubah sepi.

Langkah Jidan terhenti, matanya menatap ke arah tangga. Sedari tadi ia belum pergi ke rooftop, bukan? Perlahan langkah kaki besarnya itu menaiki tangga menuju rooftop di atas sana. Tempat terakhir untuk saat ini, jika tak ditemukan Asya disana maka Jidan terpaksa menelpon Rakan untuk mengecek keberadaan Asya. 

Semakin langkah kaki membawanya ke atas, semakin ia dapat mendengar suara gaduh di atas sana. Jantungnya berdegup kencang mengira-ngira apa yang terjadi di sana.

"Bisa gak sih lo ga usah deketin Jidan? Caper banget lo, yah. Kenapa? Ngebet jadi OSIS?" 

"Len, gua nggak ada niat gitu. Kak Jidan yang awalnya deketin gue, Len," terdengar jawaban dengan suara serak.

"Halah, lo aja yang caper kan?!" Tak berlangsung lama, suara pekikan terdengar. Semakin menumbuhkan niat Jidan untuk segera sampai di atas sana. Ia cepat kan langkah kakinya. 

Di saat Jidan sampai di atas sana, matanya terbelalak melihat Asya tengah dikelilingi oleh 3 orang gadis dengan lengan kanan dipegang erat oleh salah satu dari mereka. 

Disamping itu ada Lenny yang tengah memberontak di pegangan kedua gadis lainnya.

Wajah kedua gadis itu tampak ketakutan dengan tangan yang bergetar. Jidan memperhatikan Asya lebih detail, terlihat sebuah lebam biru keunguan di ujung bibirnya. Tak lupa bajunya yang sudah terlihat kusut juga kotor di beberapa bagian. Rahang Jidan mengeras tatkala melihat pemandangan di hadapannya itu.

Lelaki tampan itu bergerak mendekat, segera menarik gadisnya menjauhi mereka. Netra gelapnya tak lupa menatap tajam kearah gadis-gadis itu. Tatapan yang seakan hendak mencabik-cabik setiap atma yang dilihatnya. Ia murka pada apa yang dilihatnya saat ini.

Alena, yang tadi mencengkeram erat tangan Asya mematung di tempat. Ia kira Jidan sudah pulang sedari tadi, namun kini pria yang merupakan kekasihnya itu justru memergokinya. 

"Jidan, gue..." Belum sempat ia memberikan pembelaan atas tatapan itu, Jidan sudah memotong dengan cepat, "Apa? Lo bagian OSIS, Alena Margaretha. Dan lo sekarang lakuin ini?"

Alena dan teman-temannya membisu di tempat setelah mendengar kata demi kata yang keluar dari mulut Jidan. Jidan tau bahwa Alena melakukan ini karena cemburu. Bukan rahasia lagi jika seorang Alena belum bisa merelakan kandasnya hubungan antara dirinya dan Jidan. Dan ketika ia tahu Jidan tengah menyukai salah satu gadis di sekolahnya, emosinya memuncak.

"Jidan, gue bisa jelasin. Ini semua ngga seperti yang lo lihat. Ini..."

"Udah. Besok temuin gue di ruang OSIS. Sekarang pergi." Tegas Jidan terakhir kali dan dibalas anggukan oleh 6 gadis itu. Segeralah mereka beranjak pergi. Meninggalkan Jidan yang perlahan menarik Asya ke dalam dekapannya.

Dekapan hangat yang terasa melindungi secara bersamaan. Dibelainya rambut panjang itu. Meski disembunyikan Jidan tau Asya merasa sakit hati dengan perkataan Alena tadi.

"Gapapa, kamu gak salah kok. Maafin aku ya? Karena aku kamu diginiin

Maaf karena aku sibuk sampai lupa liat keadaan kamu," ucapnya seraya menangkup wajah mungil itu, tanpa memperdulikan ada orang lain disekitar mereka. Jidan melanjutkan perkataannya, "Aku disini, Sya. Apapun yang terjadi aku bakal nemenin kamu. Siapapun yang berani nyakitin kamu, aku janji bakal selalu ngelindungin kamu, okay?"

Dan ya, ucap dan janjinya kala itu benar membuat Asya tenang. Bukankah memang pada dasarnya janji hanya obat penenang ketika hati tengah gundah? Kini Asya membenarkan pernyataan itu.

Pernyataan bahwa tidak semua janji dapat ditepati bahkan seserius apapun ketika seorang mengucapkannya.

***

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang