HIRAETH - 10

5 5 3
                                    

Asya baru saja selesai berpakaian saat Rakan mengetuk pintu kamarnya. Pria tampan yang umurnya berbeda sepuluh tahun dari Asya itu datang hendak memanggilnya untuk turun kebawah karena sarapan sudah siap.

Kesehatan Asya sudah mulai membaik sejak malam tadi. Sehingga untuk hari ini ia sudah bisa mandi dan makan di meja makan bersama sang kakak.

Udara pagi hari itu sedikit dingin karena hujan masih saja terus-menerus mengguyur kota. Sehingga untuk pakaian pagi ini Asya menggunakan sebuah sweater rajut berwarna ungu muda dengan celana berbahan kain fleece berwarna hitam.

Pandangan matanya teralihkan pada seseorang saat hendak menuruni tangga menuju dapur untuk sarapan. Tak lain adalah datangnya Rakan yang muncul dari balik pintu masuk dengan tangan menggenggam buket bunga mawar.

Raut wajah pria itu nampak jelas memperlihatkan bahwa dirinya tengah kebingungan dengan munculnya buket bunga didepan pagar rumahnya.

"Kakak kenapa?" Rakan mendongak menatap gadis yang tengah menuruni tangga itu.

"Ini ada buket bunga di depan pagar. Ga tau dari siapa." Tangan Rakan bergerak untuk menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Asya memfokuskan netra hitamnya pada buket itu. Ditatapnya dengan teliti buket bunga mawar putih di genggaman kakaknya.

Kedua alisnya bertaut, namun tak lama raut wajahnya berubah bersamaan dengan ucapan yang dilontarkannya kemudian. "Ah, itu... Buat Asya aja, nanti Asya taruh di kamar."

Tak ingin lebih tahu lebih asal muasal buket itu, Rakan dengan santai menjawabnya dengan anggukan kepala dan mulut berbentuk o seperti hendak mengatakan, "Ohh." Kemudian diserahkannya buket bunga yang nampak indah itu pada Asya.

Asya menerimanya dengan baik kemudian berpamitan sebentar hendak membawa bunga itu ke lantai dua menuju kamarnya.

***

Jam dengan jelas menunjukkan pukul enam sore lewat enam belas menit. Langit yang tadinya biru kini berubah menjadi merah.

Asya mengambil handphonenya yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidur. Sebuah pesan dari seorang mencuri perhatiannya.

* Jidan sent a photo.*

Ajidan Pratama:
'Saya masak nasi goreng tadi.'
'Sampai tangan kiri saya bengkak kena minyak goreng.'

Sebuah senyum mengembang di wajah Asya setelah membaca pesan tersebut. Ia dudukkan tubuhnya di atas tempat tidur miliknya. Tangannya hendak membalas pesan tadi.

Sandhya Asyauqi:
'Hati-hati makanya.'
'Udah diobati belum?'

Belum lama setelah Asya mengirimkan jawaban, sebuah pesan kembali masuk.

Ajidan Pratama:
'Saya kan ga pernah masak.'
'Belum diobati, saya langsung rebahan di kasur.'

Asya menggeleng pelan membaca balasan pesan dari Jidan. Kembali ia mengetik balasan untuk pesan tadi.

Sandhya Asyauqi:
'Gapapa kapan-kapan coba lagi.'
'Nasi gorengnya gimana? Enak?'

Jidan kembali menjawab,

Ajidan Pratama:
'Nggak.'
'Nggak mau lagi, takut.'
'Saya ga tau, soalnya saya kasih kucing.'
'Dan dia makan keliatannya enak-enak aja.'

Tawa Asya pecah setelah membaca balasan pesan itu. Jidan terlihat sangat menggemaskan baginya entah mengapa.

Dan setelahnya kedua atma itu lanjut saling bertukar pesan hingga larut malam.

***

"Itu apa?"

Asya menoleh ke arah sumber suara tersebut. "Ohh ini. Nasi goreng. Mau?" Jidan, laki-laki yang tadi bertanya sontak tersenyum lebar dengan kepala yang diangguk-anggukkan.

Asya mengambilkan beberapa sendok nasi goreng buatannya, kemudian meletakkannya pada piring milik Jidan.

Keduanya saat ini tengah duduk di dekat danau beralaskan kain putih tanpa corak. Dengan beberapa makanan dan minuman yang dibawa keduanya, mereka menikmati makanan dan minuman itu dengan pemandangan danau yang indah di hadapannya.

Asya sendiri membawa empat buah apel berwarna merah, jus jeruk dan nasi goreng yang sengaja ia buatkan untuk Jidan, mengingat kemarin pria itu tidak jadi memakan nasi goreng.

Sedangkan Jidan membawakan donat, buah strawberry dan beberapa bungkus cemilan untuk dimakan keduanya.

Jidan mendongakkan kepalanya menatap ke arah langit biru diatasnya. "Saya mau lebih lama disini bareng kamu, Sya."

Asya menoleh, menatap ke arah Jidan. Pria itu nampak tampan meski hanya menggunakan kaos putih dan celana jeans pendek.

Jidan menarik nafas panjang, memasok banyak oksigen memenuhi paru-parunya. Kemudian pria itu menatap wajah Asya.

Tatapannya tulus dan dalam, membuat Asya balik menatapnya sedemikian rupa. "Kamu mau kesini lagi, nggak?" Asya mengangguk.

Tempat ini memang benar indah. Pepohonan yang rimbun, bunga-bunga yang bermekaran di setiap sudutnya. Belum lagi danau di hadapan mereka yang jernih dengan angsa putih yang berenang di atasnya.

Tak lupa juga kicauan burung-burung dan suara tawa dari orang sekitarnya yang semakin menambah suasana ceria di tempat itu.

Asya menoleh ke samping kanannya, menangkap dua muda-mudi di sampingnya yang tengah berpelukan dengan tetes demi tetes air mata yang membasahi pipinya. Tampaknya mereka akan berpisah, itu terlihat dengan keberadaan sebuah koper besar di samping keduanya.

Kini Asya menoleh ke samping kirinya. Tepat seorang wanita tua yang berumur sekitar tujuh puluh tahun tengah duduk seorang diri dengan sebuah album foto di genggamannya.

Ia tak menangis, ia tersenyum manis. Namun demikian, senyum manisnya itulah yang membuatnya nampak terlihat sedih. Sepertinya ia tengah mengenang seorang dari potret-potret yang dimilikinya.

Asya menghembuskan nafas panjang. Danau ini menjadi saksi pertemuan dan perpisahan. Indah hanya bagi mereka yang tengah bahagia, sebagian mungkin menganggap taman ini sebuah tempat perpisahan bahkan kenangan yang tak terlupakan.

"Asya mau kesini lagi. Sama kakak, bisa nggak yah?" Jidan terkekeh kecil seraya mengacak pelan rambut Asya.

"Saya juga mau kesini sama kamu." Asya tersenyum mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Jidan. "Bisa kita buat kenangan yang indah aja nggak, disini?" Asya bertanya.

Jidan menegakkan tubuhnya, kembali menatap danau di depannya. Tak lama ia kembali menatap Asya. "Bisa, kita bakal buat kenangan yang indah aja disini, okay? Nggak akan saya buat kamu nangis ditempat ini." Jawabnya dengan sebuah senyuman di wajah tampannya.

Asya tersenyum senang. Jawaban Jidan saat itu benar membuatnya bahagia, sungguh.

Saat itu ia benar-benar percaya Jidan akan selalu membuatnya bahagia saat mengingat tempat ini. Jidan membuatnya semakin ingin ketempat ini kapanpun itu untuk mengenang kebahagiaan mereka.

Saat itu, tidak untuk beberapa tahun setelahnya. Ucapan yang Jidan tuturkan saat itu tak benar-benar terjadi dimasa depan.

Tidak, Jidan tak sepenuhnya salah. Asya juga bersalah karena mempercayai ucapan yang dituturkan oleh Jidan. Percaya bahwa semua yang dikatakan lelaki itu akan benar terjadi.

Percaya bahwa tempat ini akan selalu membuatnya tersenyum. Kepercayaannya itu lah yang beberapa tahun kemudian menyakitinya.

"Asya, pulang yuk? Mendung" Jidan tersenyum padanya saat hendak mengajak Asya pulang. Yang dibalas anggukan oleh Asya. Kedua atma itu berjalan menuju jalan pulang.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang