HIRAETH - 14

2 3 0
                                    

Asya tengah berjalan ke arah gerbang rumah ketika sang kakak, Rakan memanggilnya dari arah kebun bunga. "Mau kemana?" Tanya pria itu.

"Asya mau ke rumah Kak Jidan bentar. Kak Jidan sakit." Jawab Asya dengan tangan kanan yang tengah sibuk memasukkan kakinya kedalam sepatu.

Rakan memperhatikan adiknya itu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Gadis itu kini tengah mengenakan baju putih polos dengan potongan tangan sebahu, celana kulot jeans, dan sepatu Vans. Tangan kirinya tengah menenteng erat sebuah rantang stainless.

"Itu apa?" Tanya Rakan kembali dengan telunjuk mengarah pada rantang tadi. Pandangan Asya terarah mengikuti tunjukan tangan Rakan.

"Ohh ini? Sup ayam." Rakan mengangguk pelan, pria itu berjalan mendekati Asya. "Dianterin siapa?"

"Asya bisa naik taksi kok." Rakan kembali mengangguk saat Asya dengan cepat berpamitan kepadanya kemudian berjalan keluar rumah. Rakan tersenyum kecil sembari menggelengkan kepalanya melihat gadis kecilnya itu.

Ia kembali melanjutkan kegiatan bercocok tanamnya yang tadi sempat terhenti. Setelah hidup berdua dengan adiknya, tak ada lagi yang merawat kebun bunga milik sang mama. Jadi dia lah dan adiknya yang bergantian mengurus kebun bunga yang sebagian besar ditanami berbagai jenis bunga mawar itu.

Rakan berjongkok di depan sebuah pot bunga mawar putih. Tangannya hendak mengambil pot itu guna memindahkannya ke tempat lain, namun suara petir menghentikan tindakannya.

Hujan turun dengan cepat dan deras, membuat Rakan dengan cepat meletakkan pot bunga ditangannya kemudian berlari menuju rumah. Punggung dan rambutnya basah oleh air hujan yang turun tiba-tiba itu.

"Semuanya terlalu cepet berubah. Gak ada jaminan sesuatu bakal abadi." Katanya seraya menjulurkan tangan, membiarkan tetes demi tetes air hujan membasahi permukaan tangannya.

***

Asya sampai di kediaman Jidan saat hujan turun dengan sangat deras. Ia sempat terkena air hujan dalam langkahnya menuju pintu rumah Jidan.

Rumah laki-laki itu tak terlalu besar juga kecil, yang pasti terlihat nyaman dengan pohon mangga didepannya. Asya mengetuk pintu rumah Jidan, membuat sebuah suara wanita tua terdengar.

Tak lama pemilik suara tadi membuka pintu, memperlihatkan sosok cantiknya yang tak lekang oleh waktu meski beberapa keriput telah tercetak jelas di wajahnya.

"Iya? Siapa?" Tanyanya dengan suara lembut bak kapas. Asya menyalami tangan nenek dihadapannya itu dengan sebuah senyum manis. "Asya, nek." Ekspresi kebingungan yang awalnya tercetak pada wajah sang nenek berubah menjadi ekpresi senang.

"Ohh. Asya pacarnya Jidan? Mari masuk." Asya dengan malu-malu memasuki rumah, nenek Jidan dengan cepat menutup pintu rumah itu kemudian ikut berjalan disamping Asya.

"Mau jenguk Jidan, yah? Itu di kamar, masuk aja. Nenek mau ambil minum." Sambungnya dengan tangan menunjuk ke arah pintu kamar dihadapan keduanya.

Asya mengangguk malu-malu kemudian berjalan menuju kamar Jidan setelah nenek tadi meninggalkan menuju sebuah ruangan yang sepertinya adalah dapur.

Dengan pelan tangannya memutar knop pintu dihadapannya, membuka daun pintu itu perlahan. Pandangan matanya terarah pada seorang laki-laki berusia delapan belas tahun yang tengah terbaring lemah di atas kasur.

Mata lelaki itu terpejam rapat. Asya mendekatinya, tangan kanannya yang sedari tadi menenteng rantang berisi sup ayam bergerak menaruh rantang itu di meja dekat kasur.

Asya duduk disisi kasur. Netranya menatap laki-laki yang tak lain adalah kekasihnya itu. Perlahan tangan kanannya terjulur untuk menyentuh tangan Jidan, membuat sang empu sontak terbangun dari tidurnya setelah merasakan sebuah kehangatan pada tangannya.

Netra keduanya bertemu. "Asya? Kapan dateng?" Ucap laki-laki itu yang kini tengah berusaha untuk bangun namun dicegah oleh Asya. "Gapapa tiduran aja. Asya dateng barusan, kok."

Jidan terdiam, tak lama menyadari suara hujan deras diluar sana. "Kamu sendirian? Hujan-hujan begini? Kenapa nggak nelfon aku, biar aku jemput?" Asya menggeleng cepat. Dia ingat betul bahwa penyebab Jidan sakit saat ini tak lain adalah karena ulahnya sendiri.

Semalam, hujan deras mengguyur tak kunjung reda, keduanya terpaksa pulang karena malam semakin larut. Karena hanya ada satu saja jas hujan, maka Jidan memberikannya pada Asya. Tak ingin membuat gadis itu sakit. Sedang dirinya sendiri dibiarkan basah oleh hujan yang turun.

"Asya tadi naik taksi. Masa nelfon kakak. Kakak kan sakit." Jidan terkekeh pelan. Kemudian menatap wajah Asya lekat. "Kenapa, cantik?"

Asya menundukkan kepalanya. "Maaf, karena Asya kakak jadi sakit gini." Jidan menggeleng pelan mendengar perkataan gadis dihadapannya itu. "Nggak, sayang. Bukan salah kamu kok."

Asya mendongak menatap ke arah Jidan. "Kakak udah minum obat, belum?" Tanyanya pada Jidan. "Belum, pait." Asya mengerutkan keningnya tatkala ia mendengar jawaban dari Jidan.

"Padahal obat lebih baik, dari pada kakak ngerokok." Ucapnya dengan bibir mengerucut, membuat Jidan tertawa renyah karenanya. "Kan kakak udah nggak ngerokok lagi sejak sama Asya."

Memang benar. Sejak bersama Asya, Jidan tak pernah lagi merokok. Alasannya? Karena ia tau Asya tidak suka asap rokok, jadi demi kenyamanan gadis yang dicintainya itu ia bersedia menghentikan kebiasaan merokoknya.

"Kakak mau makan? Asya bawain sup ayam, loh." Jidan mengangguk cepat, membuat Asya dengan senang mengambil rantang berisi sup ayam yang dibawanya tadi.

Dengan hati-hati gadis itu menyuapi Jidan. Jidan menikmati sup ayam buatan Asya karena memang sangat enak.

Tanpa disadari, nenek Jidan tengah memperhatikan keduanya dari celah pintu dengan sebuah senyum tulus.

Ia senang karena Asya membuat cucu kesayangannya itu menjadi lebih baik. Cucunya itu bahkan berhenti merokok dan mulai makan sayur-sayuran. Hal lain yang tak kalah hebatnya adalah cucu laki-lakinya itu lebih sering tersenyum bahagia belakangan.

Nenek Jidan menutup pintu kamar itu pelan. Kemudian berjalan menuju jendela rumahnya. Menatap jalanan yang basah oleh air hujan yang sedari tadi tak kunjung reda dan justru semakin deras.

Ia harap cucunya itu bahagia. Ia harap cucunya setia. Semoga. Semoga hal yang diperbuat oleh Ayah dari cucunya itu tak terulang lagi.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang