HIRAETH - 17

4 4 0
                                    

@Regan Airlangga:
'Asya? Besok saya harus ke luar negeri buat urus kuliah. Kamu jaga diri baik-baik, yah?'

Asya menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, kemudian melemparkan handphonenya ke sembarang arah setelah membaca satu gelembung pesan tersebut.

Asya menatap ke arah langit-langit kamar. Dalam bayang nya Regan berlalu lalang begitu saja. Ingatan atas ungkapan perasaan lelaki itu terus-menerus membuatnya gundah. Pertanyaan seperti; bagaimana Regan bisa mencintai Asya yang merupakan kekasih dari Jidan yang merupakan sahabatnya? Terus-menerus terbesit.

Sungguh, perasaan Asya saat ini seakan tercekik diantara dua bebatuan. Rasanya ia ingin menceritakan tentang Regan pada Jidan, namun pemikirannya tentang bagaimana tanggapan Jidan nanti membuat Asya ragu.

Sehingga tanpa ia sadari, beberapa hari ini hubungannya dan Jidan seakan menyepi. Keduanya hanya menanyakan kabar dan bicara seperlunya saja. Setelah itu keduanya kembali disibukkan dengan kegiatan masing-masing.

Asya menghela nafas panjang sembari memiringkan kepalanya kesamping, menatap beberapa beberapa tangkai bunga mawar segar dalam vas bunga yang terletak di meja samping kasurnya. Bunga itu masih segar karena baru beberapa jam yang lalu diantar langsung oleh kurir toko bunga.

Yang tentu saja Asya tau siapa pengirimnya, Regan. Lelaki itu benar-benar menepati apa yang diucapkannya. Ia tak pernah absen untuk mengirimkan buket bunga mawar ke rumah Asya. Tak lupa secarik surat kecil dengan sebuah kata penyemangat didalamnya, "Semangat."

Asya tersenyum dalam lamunannya. Tanpa sadar hati kecilnya memuji laki-laki itu. Asya dan Regan memiliki kesamaan, keduanya sama-sama memiliki luka, dan sama-sama pernah berada di posisi ingin menyerah.

Regan tidak melindungi Asya sebagaimana Jidan melindunginya. Ia tak banyak mengeluarkan kata-kata dari bibirnya, ia lebih memilih untuk melakukan suatu pekerjaan dengan segera. Sedikit membuat Asya terkejut karena Regan selalu melakukan hal yang tak terduga namun benar-benar dibutuhkannya.

Seperti pada saat itu, dimana bahan-bahan untuk kerajinannya menghilang entah kemana karena disembunyikan Alena dan teman-temannya. Asya benar-benar kebingungan saat itu, apalagi gurunya sudah meminta semua murid berkumpul di taman sekolah, untuk mengerjakan kerajinan.

Saat itulah Regan datang dengan tiba-tiba dengan bahan-bahan miliknya di tangan lelaki itu. "Nemu di tong sampah." Ucapnya singkat sembari memberikan bahan-bahan itu pada Asya kemudian berlalu pergi.

Asya sangat bersyukur saat itu. Karena jika tidak ada Regan, mungkin dia dan teman kelompoknya akan dihukum oleh sang guru. Dan membuat dirinya merasa bersalah karena kecerobohannya, teman-temannya harus ikut menanggung hukuman.

Juga pernah suatu saat Regan datang secara tiba-tiba saat dirinya tengah menangis di belakang sekolah karena ulah Alena dan Tanara. Regan datang tanpa suara dan memberikannya sapu tangan. Regan bahkan menemaninya hingga lebih tenang dan tak lagi menangis. Regan ada, saat tak seorang pun menyadari Asya tengah membutuhkan teman yang mampu mendengarkan tangisnya.

Ah, mengingat Regan selalu membuatnya tersenyum haru. Apalagi ketika ditanyakan apa alasan dari perbuatan baik dirinya, Regan selalu menjawab, "Kamu yang buat saya bertahan pas itu."

Regan selalu menjadi apa yang diinginkannya. Saat posisi tersulitnya, Asya hanya ingin seorang yang mampu mendengarkannya tanpa harus menghakiminya, dan Regan selalu ada untuk itu.

Asya menutupi seluruh wajahnya dengan kedua tangan. "Maaf, Kak Re." Maaf, maaf karena tidak bisa membalas perasaan Regan. Maaf karena bagi Asya, bahagianya tetap milik Jidan.

***

Angin sore menerpa wajahnya saat ia keluar dari ruang OSIS. Setelah rapat dan menyimpan beberapa file penting, ia beranjak keluar untuk mencari Asya.

Rencananya sore ini ia akan mengantar Asya pulang. Namun, entah kemana gadis itu saat ini, padahal tadi Jidan dengan jelas mendengar suaranya gadis itu saat tengah membereskan beberapa file.

Berjarak dua ruangan dari tempatnya berdiri saat ini, ia mendengar suara yang tak asing di telinganya. Suara teriakan yang disusul dengan gemuruh suara tawa. Siapa yang berteriak dan juga tertawa? Pikirnya dalam hati.

Lelah dengan rasa penasaran yang kian bergemuruh dalam hatinya, ia lanjut berjalan ke arah ruangan yang merupakan gudang itu. Ruangan yang terletak di ujung itu cukup sepi. Pencahayaan berasal dari sinar matahari yang masuk lewat celah-celah kecil disekitarnya.

Suara teriakan dan tawa itu mereda, membuat suasana sepi menyelimutinya. Selain sinar matahari, tak ada lampu disana. Bahkan jika dilihat-lihat tak ada satupun CCTV yang mengarah pada gudang yang biasanya digunakan untuk meletakkan beberapa meja dan kursi yang tak layak pakai itu.

Tepat di depannya kini berdiri sebuah pintu yang terbuat dari besi. Pintu itu terbuka sedikit, memberikan celah agar Jidan dapat melihat ada apa di dalamnya. Jidan mengintip dari celah pintu itu.

Nafas Jidan tercekat saat ia seolah-olah merasakan Dejavu, kembali ia melihat Asya tengah dikelilingi segerombolan gadis seperti saat dahulu sebelum mereka berpacaran. Kali ini selain Tanara, Nelitha ikut-ikutan menjadi tokoh antagonisnya. Dengan gunting di tangannya, ia memotong asal rambut Asya. Mulutnya tak henti mengatakan kalimat yang sama, "Mau lo apa sih?!" Serunya di setiap hembusan nafas.

Jidan diam, ntah apa yang merasukinya, kali ini ia memilih diam tak berkutik sedikitpun. Hingga akhirnya salah satu dari beberapa orang gadis itu melihat keberadaannya lalu menghentikan perbuatannya. Jidan berjalan ke arah mereka, dengan ekspresi wajah yang tidak dapat dibaca.

"Pergi." Titahnya singkat kepada Tanara dan Nelitha tanpa menatap keduanya. Tanara yang merupakan sepupu Jidan hanya tersenyum miring.

"Kenapa? Karena dia pacar–" Ucapan Tanara terhenti sebelum ia sempat menyelesaikannya, Jidan kembali memotong dengan kata yang sama, "Pergi." Tanara menggertakkan giginya, dengan enggan ia melepaskan genggamannya di rambut Asya lalu melangkah pergi, diikuti oleh teman-temannya.

Kini yang tersisa hanya Jidan, Asya dan Nelitha. Nelitha tertawa terbahak-bahak setelah tubuh Tanara dan teman-temannya menghilang dibalik pintu. Hal itu membuat Jidan yang sedari tadi memberikan tatapan lurus beralih menatapnya dengan sorot mata tajam.

Jidan hendak membuka kalimat, namun Nelitha dengan segera mendahuluinya. "Kenapa? Lo mau marah? Harusnya gua yang marah. Karena cewek ini," Nelitha mengangkat telunjuknya ke arah Asya. Wajahnya menunjukkan ekspresi seolah-olah tengah marah dan jijik secara bersamaan. "Lo lupain temen-temen lo dan sibuk buat nyenengin dia." Sambungnya dengan tatapan tajam bak elang yang siap menerkam.

"Nel–" Jidan hendak berucap namun lagi-lagi Nelitha menghentikan tindakannya. Dengan langkah pelan, Nelitha berjalan mendekati Jidan. Keduanya kini berdiri berdampingan dengan tujuan yang berbeda. Jidan menghadap ke arah Asya, sedang Nelitha menghadap ke arah pintu hendak pergi.

"Lo lupa apa yang terjadi kemarin? Pikirin nasib lo sendiri, bukan nasib dia terus-terusan." Ucapnya sambil tersenyum miring pada Asya. Lalu langkah kakinya berjalan menuju pintu, meninggalkan kedua atma itu berduaan di gudang dengan suasana hening.

Jidan mendekati Asya, tanpa suara ia membelai lembut rambut yang kini pendek itu. "Maaf, yah kak. Karena Asya kakak kerepotan lagi." Suara Asya terdengar serak, seakan-akan gadis itu tengah menahan tangis. Segeralah Jidan membawa tubuh gadis itu ke dalam pelukan hangatnya.

"Sssttt." Jidan bersuara. Terdengar singkat memang, namun Asya tidak begitu peduli. Karena di pikirannya, mungkin saja Jidan memang sedang enggan bicara panjang lebar.

Tanpa Asya ketahui, bahwa sebenarnya Jidan saat itu tengah disibukkan dengan perdebatan dalam pikirannya.

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang