HIRAETH - 16

3 3 0
                                    

Regan meninggalkan Asya, ia meninggalkan gadis yang tengah mematung itu seorang diri.

Kini keduanya tengah disibukkan dengan sebuah kenangan beberapa bulan yang lalu tengah berlalu lalang dalam ingatan.

Saat itu matahari tengah memancarkan sinar terangnya. Asya yang baru saja pulang dari toko bunga tengah berjalan santai diperjalanan pulang menuju rumahnya.

Kedua tangannya tengah sibuk menggenggam sebuah buket bunga mawar berukuran besar. Rencananya ia akan meletakkan bunga-bunga itu di sebuah kanvas, yang akan ditaruhnya pada beberapa titik di sudut rumahnya.

Sebenarnya di halaman rumahnya terdapat banyak sekali pohon bunga mawar yang tumbuh. Tapi, Asya tidak ingin merusak keindahan kebun bunganya yang ia rawat sepenuh hati.

Gadis itu berjalan dengan langkah riangnya. Bibir manisnya yang memerah bak kelopak bunga mawar terdengar bersenandung kecil.

Ia tampak sangat senang, bahkan sesekali terlihat mencium bunga-bunga di hadapannya itu. Netra indahnya memandang sekitar dengan tatapan mata meneliti dan kagum.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Setelah netra yang tadi digunakannya itu menatap berbagai keindahan dunia, kini netra itu juga yang harus menatap peristiwa menegangkan juga menyayat hati.

Seorang laki-laki muda dengan pakaian rapi dan nampak mewah tengah berdiri di pembatas jembatan yang tengah sepi. Kaki kirinya bahkan sudah terangkat untuk naik ke besi tua yang membatasi jalan di jembatan dan jurang di bawahnya.

Tenggorokan Asya seakan merasa kering untuk sesaat. Atmosfer di sekitarnya pun terasa lebih berat. Asya berlari, terus berlari ke arah tubuh laki-laki itu.

Ketika hampir sampai, ia buang buket bunganya ke sembarang arah kemudian tangannya bergerak untuk memeluk lelaki itu dari belakang. Ditariknya tubuh lelaki itu ke belakang dengan sekuat tenaga, berusaha menjauhkan laki-laki itu dari sisi pembatasan jembatan.

Lelaki itu meronta-ronta hendak kabur dari dekapan tangan Asya ketika sadar perbuatannya hendak dihentikan. "Lepasin gua. Lepasin!"

Asya tercekat ketika menyadari kalau lelaki itu adalah seorang yang dikenalnya dari suara yang baru saja dikeluarkan. Segeralah Asya menghempaskan tubuh lelaki itu kebawah. Dan benar saja, dugaannya tak salah. Itu benar-benar lelaki yang dikenalnya.

Lelaki itu kini tengah terduduk di lantai jembatan dengan wajah tampannya yang memerah dan mata indahnya yang sembab. "Kak Regan?!" Mata Asya terbelalak melihat sosok lelaki itu.

Gadis itu berjongkok di hadapan Regan, tanpa ia sadari bulir-bulir air mata jatuh di kedua pipinya. Rasa kasihan menyelimuti seluruh hatinya saat ini. "Kakak kenapa?" Lelaki itu diam, tak menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Asya. Yang terdengar dari kedua bibirnya hanya sebuah isak tangis.

Kedua tangan Asya terangkat, mendekap erat tubuh Regan. Berusaha memberikan kehangatan dan juga rasa nyaman pada lelaki itu.

Setelah tangis Regan mulai reda, barulah terdengar suara parau dari bibir lelaki yang disebut sebagai laki-laki tertampan di sekolah mereka itu.

"Gua capek, Sya. Gua capek selalu dijelekin sama orang tua gua sendiri. Gua capek dibanding-bandingkan sama orang lain, Sya. Gua tau, gua anak tunggal mereka. Tapi bukan berarti mereka pantas buat membebankan semua mimpi-mimpi mereka yang nggak terwujud ke gua."

Asya membisu. Lelaki yang dikenalnya sebagai sosok sempurna karena memiliki kekayaan luar biasa, wajah yang rupawan, dan segudang prestasi itu ternyata menyimpan sebuah duka yang teramat dalam dan menyakitkan.

Lelaki itu kembali terisak, kali ini lebih kencang. Bahkan dapat Asya rasakan derasnya tetes demi tetes air mata lelaki itu membasahi pundaknya.

***

Asya merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia baru saja pulang setelah sebelumnya mengantarkan Regan menggunakan taksi.

Asya menunduk dalam. Regan tampak sangat baik di sekolah, tak terlihat kesedihan apapun dari raut wajahnya. Ahh, Asya tidak menduga akan mengetahui hal sebesar ini saat ia tengah dekat dengan salah satu sahabat dekat Regan yaitu Jidan.

Apakah Jidan tau akan hal ini? Apakah Jidan tau bagaimana kondisi sahabatnya itu? Pertanyaan itu sedari tadi terus mengintai dalam benak Asya.

Namun, tiba-tiba saja suara dering telepon menyadarkannya seketika. Sebuah telpon dari seorang yang tengah berada dipikirnya saat ini, Regan. Tanpa pikir panjang segera Asya mengangkat telpon itu, kemudian mengarahkan telepon genggamnya pada telinga.

"Asya?" Suara lelaki itu terdengar membaik, tak ada lagi suara parau ataupun isakan tangis. "Makasih, yah buat yang tadi. Gua udah baikan, kok. Oh iya, ini jadi rahasia kita berdua, yah. Maaf nyusahin lo. Okay itu aja, selamat malam," Hening beberapa saat, "Besok gua gantiin bunganya." Sambungnya, lalu tanpa menunggu jawaban dari Asya, ia segera mematikan panggilan telepon itu secara sepihak.

Asya terdiam, menatap layar teleponnya beberapa saat kemudian tersenyum. Ia senang mendengar kenyataan bahwa lelaki itu lebih membaik karenanya.

***

Hari demi hari berlalu dengan begitu cepat. Selalu Asya terima sebuah buket bunga mawar dari Regan yang tak pernah absen setiap harinya.

Namun setelah hubungan antara dirinya dan Jidan terdengar ke seluruh sekolah, Regan mendadak menghilang. Lelaki yang terkadang bertukar cerita dengan Asya lewat telepon itu tak pernah lagi terdengar kabarnya.

Ia semakin jarang ditemui bahkan di sekolah. Asya merasa seakan kembali asing bersama Regan. Namun Asya tak ingin terlalu memikirkan lelaki itu, mengingat bahwa kini ia telah memiliki seorang kekasih.

Akan tetapi, pernyataan yang keluar dari bibir lelaki itu membuatnya terdiam. Ia tak menduga bahwa Regan memiliki rasa padanya yang lebih dari seorang teman.

Ahh, entah apa kelebihan yang dimilikinya sehingga seorang laki-laki sesempurna Regan menyukainya.

Bahkan dapat terlihat jelas dari mata Regan bahwa apa yang dikatakannya benar-benar tulus tanpa maksud lain.

Asya menghela nafasnya berat. Bergerak kembali menggendong tas nya. Kemudian melangkah keluar dari kelasnya.

Meninggalkan kelas yang sepi tanpa seorang pun, juga meninggalkan tatapan dari sebuah netra yang melihatnya sedari tadi.

Ya, Jidan melihat kejadian itu sedari tadi. Mulai dari Regan, sahabatnya yang memberikan sebuah buket bunga pada kekasihnya, hingga ungkapan perasaan Regan pada kekasihnya, Asya.

Rahangnya mengeras, tubuhnya dengan tergesa bergerak untuk pergi dari tempat itu. Berjalan menuju halaman belakang sekolah. Meluapkan seluruh rasa kesalnya pada tembok yang tak bersalah.

Ia mengerang, mengumpat dan berteriak beberapa kali. Hingga sebuah suara menghentikan gerakannya.

"Jidan, Jidan. Bahkan setelah ini lo yakin buat pertahanin cewe itu? Udah dari awal gua ingetin sama lo. Sekarang gimana? Lo nyesel kan? Lo liat kan, sahabat sama pacar lo main nakal di belakang lo." Suara tawanya menggelegar, membuat Jidan merasa muak untuk sekedar mendengarnya.

Jidan menoleh, menatap gadis di hadapannya itu dengan tatapan membunuh seolah mengisyaratkan agar gadis itu diam. Namun gadis itu melawan, ia menggeleng pelan dengan bibir memamerkan sebuah senyuman mengejek.

"Bergabung sama gua, Jidan… Karena sekarang lo udah gak ada gunanya di hadapan Asya. Kenapa? Karena udah jelas tuh cewek bakal milih Regan yang lebih dari lo."

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang