HIRAETH - 19

2 3 0
                                    

Hari demi hari berlalu begitu cepat tanpa Jidan disisinya. Entah kemana perginya lelaki itu hingga saat ini. 

Setiap harinya Asya datang ke sekolah dengan rambut pendek anehnya yang menimbulkan banyak pertanyaan. 

Namun entah dari mana asalnya, setelah tiga hari berlalu, banyak murid-murid sekolahnya yang mengetahui alasan di balik potongan rambut Asya tersebut. Sehingga Tanara, Nelitha dan teman-temannya mendadak dikucilkan serta menjadi bahan olokan di sekolahnya.

Asya bingung harus senang atau sedih mendapati kebenaran itu akhirnya terungkap. Yang pasti jika Jidan berada disini sudah pasti Asya akan membagikan semua keluh kesahnya pada laki-laki itu. 

Mengingat Jidan membuat Asya kembali sedih. Pesan yang kemarin dikirimkan oleh Lenny tak lain adalah potret dari Jidan dan seorang gadis tengah berteduh bersama diantara perkebunan teh. 

Kedua atma dalam potret tersebut nampak tersenyum senang dan saling bertatapan. Mata keduanya yang bertemu dengan jelas mensyaratkan kasih yang dalam dan luas hingga tak terbendung. 

Asya merasa sedikit kecewa, jujur. Karena Jidan sebelumnya izin untuk ke luar kota karena ada kepentingan keluarga yang mendesak. Namun dari foto tersebut tak terlihat bahwa lelaki itu tengah sibuk atau terdesak sedikitpun. Justru yang terlihat hanya raut wajah bahagia bak seorang kekasih yang senang karena dapat bertemu pujaan hatinya. 

Yang semakin membuat Asya kecewa ialah Jidan yang sampai saat ini hilang kabar. Tak ada sebuah pesan pun yang dikirim Jidan, setidaknya untuk memberi kabar. Bahkan pertanyaan Asya soal foto tersebut belum dibacanya. 

Apakah Jidan mengkhianatinya? Ah, Asya rasa tidak. Laki-laki itu sering sekali berjanji akan membuat Asya bahagia dan terus menemaninya. Ia akan terus mendukung Asya apapun itu. 

Dan Asya akan terus memegang setiap janji yang diucap oleh Jidan. Bahkan kemarin Asya terlibat perdebatan dengan Lenny. Pasalnya, gadis yang merupakan sahabatnya itu meyakinkan Asya bahwa yang dipotretnya benar adanya. Namun Asya terus mengelak dan mengatakan bahwa Jidan tak mungkin berbohong. 

Meski sejujurnya, dalam hati Asya meragukan apa yang dikatakannya pada Lenny. 

Bicara soal Lenny. Gadis itu kini tengah duduk di kursi disampingnya. Sedari tadi Lenny berbicara soal kemungkinan-kemungkinan dari mana asalnya murid-murid sekolah mengetahui kebenaran rambut Asya. 

Lenny mencondongkan tubuhnya hendak berbisik di telinga Asya, "Apa mungkin ada yang denger pas lo cerita kemarin?" Asya mengernyitkan keningnya dalam kemudian menatap Lenny dengan raut wajah yang seakan berkata, 'Siapa?'.

"Tapi gua gak tau sih," Lenny terlihat tengah berfikir, hening beberapa saat sebelum Lenny kembali melanjutkan ucapannya. "Siapapun dia, yang pasti dia ngebantu lo. Siapa tau Tanara, Nelitha sama temen-temennya bakal dapat hukuman dari pihak sekolah, iyakan? Seenggaknya itu buat balasan dari perbuatan mereka."

Asya mengangguk-anggukkan kepala akhirnya. Apa yang dibilang Lenny betul juga. Mereka harus mendapat hukuman atas perbuatan mereka yang menyakiti Asya kemarin. 

Lama, ketika keduanya masih sibuk berbincang satu sama lain, seorang murid datang mendekati keduanya. Ia membawakan sebuah pesan bahwa Asya dan Lenny saat ini dipanggil untuk menghadap ke kepala sekolah. 

Asya mematung di tempat. Sebuah perasaan sesak entah mengapa mengisi penuh seluruh hatinya. Lenny yang menyadari Asya terdiam berinisiatif untuk menepuk pelan pundak Asya, guna menyadarkan gadis itu dari lamunan. 

"Are you okay?" Tanya gadis berambut hitam sebahu itu pada Asya. Asya membalas pertanyaan itu dengan senyum tipisnya. "Jangan khawatir, gua disini. Nanti gua bantu, janji deh." Sambung Lenny dengan usaha menghibur Asya. Asya mengangguk tak lama kemudian. 

Dan tanpa menunggu lama, keduanya dengan segera beranjak dari tempat duduknya kemudian berjalan menuju ruangan sang kepala sekolah. 

Sesampainya disana, dengan jelas dapat Asya lihat orang-orang didalamnya. Tak lain adalah Alena, Tania, Nelitha dan teman-teman mereka. 

Seorang guru mempersilahkan Asya dan Lenny untuk mendekat ke arah kepala sekolah. Asya menurut, mendekati pria yang berusia sekitar lima puluh tahun tersebut. 

Pria yang sering dipanggil Pak Yanto itupun bersuara guna memecah keheningan yang ada, "Asya? Bisa dijelaskan tentang kasus bullying yang kamu terima?" 

Asya mengangguk, kemudian dengan jelas dan rinci ia ceritakan semua yang terjadi padanya mulai dari awal masuk sekolah ini. Asya menceritakannya tanpa kurang satupun. 

Dan disaat Asya menceritakan soal rambutnya, Nelitha bersuara, memotong perkataan Asya. "Nggak, Pak. Semuanya yang dikatakan Asya itu fitnah. Saya dan teman-teman saya nggak pernah bully dia, Pak." Ucapnya menggebu-gebu. 

Asya menatap tak percaya ke arah Nelitha dan teman-temannya. Bagaimana bisa orang-orang ini bersikap layaknya seorang korban yang difitnah?

Asya menggeleng cepat, kembali menatap lurus ke arah Pak Yanto. "Pak, percaya sama saya pak. Saya nggak bohong. Saya–" Belum selesai Asya berbicara, kini Tanara ikut-ikutan memotong. "Pak. Asya itu cuman mau jelek-jelekin saya dan teman-teman saya, Pak. Dia iri karena kemarin belum terpilih untuk menjadi bagian OSIS."

Oh Tuhan, bagaimana bisa Tanara menuduh dirinya seperti itu. "Tanara jangan fitnah saya!" Asya kehilangan kontrolnya untuk menahan emosi. 

Yang terjadi setelahnya justru lebih membuat Asya semakin menggila. Tanara mengeluarkan air mata buayanya. "Kamu kenapa fitnah aku, Sya? Bukannya kita temenan?" 

Asya menatap Tanara dengan tatapan mencemooh. Kemudian ia kembali menatap Pak Yanto. "Bapak mungkin ragu sama saya. Tapi saya punya bukti, Pak. Kalau aja ada Kak Jidan disini, dia bakal jelasin apa yang dia lihat kemarin. Kak Jidan lihat pas saya di bully, Pak." 

"Asya kamu jangan bohong!" Kali ini Alena yang bersuara. Asya tersenyum miring dibuatnya. "Bohong? Kalau ada Kak Jidan disini pasti dia bakal jelasin semuanya. Dia bakal jadi saksi buat semuanya."

Alena balas tersenyum miring. "Tapi dia nggak disini, Asya." Asya mengerang, rahangnya mengeras. 

"Sudah, sudah." Pak Yanto akhirnya angkat bicara untuk menengahi kegaduhan di hadapannya itu. "Kamu yakin Asya kalau Jidan bisa bersaksi untuk ini?" Asya mengangguk mantap dengan senyum percaya diri yang mengembang. 

Alena, Tanara, Nelitha dan teman-temannya nampak saling bertatap-tatapan. Asya tersenyum puas. Ia hanya membutuhkan suara Jidan untuk meyakinkan semuanya. Ia butuh Jidan, ia butuh laki-laki itu.

Dan Asya yakin Jidan akan datang. Asya ingat betul janji yang diucapkan Jidan bahwa ia akan terus mendukung Asya apapun yang terjadi. Lelaki itu juga berjanji akan terus membela Asya. 

"Oke," Pak Yanto kembali bersuara, yang membuat orang-orang di ruangan itu beralih fokus menatap ke arahnya. Dan dengan satu tarikan nafas, Pak Yanto kembali melanjutkan ucapannya yang sontak membuat orang-orang disana terkejut secara bersamaan.

"Jidan, silahkan masuk dan jelaskan semuanya."

HIRAETHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang