11. Takdir Yang Telah Terikat

3.7K 1K 223
                                    

.
.
.

    Setelah mendapat pengobatan pada pelipis mereka. Eric menjelaskan apa yang terjadi pada Ayah mereka dari awal—ketika Eric mencuri black card Bunda dan pergi Ke Jerman, dari München ke Hamelin dan berakhir di Berlin. Sang Ayah yang mendengar hanya memijat pangkal hidungnya tak habis pikir.

    Dia pernah berkali kali hampir terkena serangan jantung karena apa yang kedua putranya lakukan di masa SMA hingga Kuliah. Bikin bangga emang, tapi tetep aja dia khawatir kalo keduanya kenapa napa. Si abang yang kayaknya bakal mau mau aja di ajak berenang di palung Mariana sama adeknya dan si bungsu yang kelakuannya Masyaallah, pingin ayah periksakan, kali aja anak bungsunya ini kerasukan.
 
 
  "Jadi kalian ingin bilang ke Ayah ini adalah rencana Nobert Alarich yang bahkan tak pernah diajarkan di sekolah kalian?" Tanya Ayah.

  "Ayah please, percaya deh, ama Eric. Kalo seumpama ini beneran wabah penyakit, kita ga akan bisa ngapa ngapain selain menerima nasib dan menunggu diri terinfeksi dan mati." Balas Eric.

  "Kamu gimana, Jeno?" Tanya sang ayah.

  "Gimana apanya, Yah?" Tanya Jeno balik.

  "Soal yang diomongin Eric. Keputusan kamu bakal jadi keputusan ayah juga." Ucap pria paruh baya itu. "Kamu akan jadi penerus apa yang keluarga Ajisaka rintis. Kau harus sadar dengan apapun yang menjadi keputusanmu dan Ayah ingin hal ini menjadi tolak ukur seberapa besar tanggung jawabmu." Ucap Ayahnya.

  "Maaf kalau bikin Ayah kecewa habis Jeno bilang ini. Jeno nggak akan pernah keberatan menerima tanggung jawab besar perusahaan ini dari Ayah, tapi kalau udah menyangkut Eric, Jeno lakuin apa aja karena punya Eric untuk yang kedua kalinya adalah keajaiban. Bahkan kalau Eric bilang ke Jeno salju itu hitam, Jeno bakal percaya sama Eric." Jawab Jeno.

    Eric menatap sang Abang yang duduk di sofa. Dia tersentuh dengan ucapan Jeno. Nggak peduli kalopun Jeno lagi pencitraan di depan Ayah, Eric tetep seneng banget dengerin itu dari Jeno. Tapi hal itu sedikit membuatnya sedih, Eric jadi ingin tau seberapa besar rasa kehilangan yang harus Jeno tanggung ketika dirinya mati kala itu.

    Ayah mereka tertawa lalu mengangguk, "apa yang kamu butuhkan, dek?"

  "Untuk sekarang kasih Eric waktu, Yah. Buat melengkapi apa yang hilang. Buat jaga jaga, tolong Ayah kasih tau petinggi Turki yang Ayah kenal, minta untuk mengawasi sesuatu yang mungkin keliru di sana. Salah seorang anggota kelompok pelaku pasti baru sampai di bandara sekarang." Jelas Eric.

  "Kau tak ingin menangkapnya langsung di bandara?" Tanya Ayah.

    Eric menggeleng sambil tersenyum, "Eric penasaran atas dasar dan tujuan apa mereka ingin mewujudkan Perang Dunia III. Eric juga mau tau, seberapa besar permasalahan yang telah mereka siapkan hingga berencana untuk meletuskan Perang."

    Sang Ayah tersenyum lelah lalu mengangguk. Dia lantas pergi meninggalkan kedua putranya di ruangan itu menuju ke ruang kerja para karyawan-nya untuk mengarahkan mereka memenuhi permintaan Eric.

 
  "Jeno, sini." Eric melambaikan tangan, meminta Jeno untuk mendekat padanya.

  "Apa?" Tanya Jeno.

  "Bisa tolong lu artikan dokumen ini buat gua?" Tanya Eric.

  "Bahasa Inggris lu lebih bagus dari gua." Balas Jeno.

  "Pakai google translate bisa." Ucap Eric.

    Jeno menghela nafas lalu mengangguk.

 
    Sementara Jeno sibuk berkutat dengan google translate, Eric membuka halaman ke 19 dari buku itu. Tertulis sebuah filosofi dan sebuah gambar di sana. Gambar yang Eric yakini sebuah pohon cemara itu menarik perhatiannya, batangnya berdiri tegak namun banyak daunnya yang gugur, tampak seperti pohon yang telah bertahan terlalu lama untuk hidup di lingkungan ekstrem.

[✔] Klub 513 | Universe | Ep.1 : AjisakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang