Hari Kelima Tanpamu : Apa kalian merindukannya?

834 90 1
                                    

Aku memandang taman bunga kecil yang penuh dengan aglaonema. Selain itu ada juga anggrek, caladium, dan monstera. Taman ini ada di lantai atas rumahku. Hanya sepetak bidang kecil yang dimanfaatkan suami untuk menyalurkan hobinya.

Meskipun bekerja di dunia marketing otomotif, kecintaannya pada pertanian tidak pernah pupus. Setiap waktu senggangnya selalu digunakan untuk berkebun. Akhir-akhir ini suamiku sedang giat melakukan budi daya aglaonema. Bahkan dia sudah bisa memperbanyak tanaman tersebut.

Keseriusannya untuk mendalami bisnis tanaman hias khususnya aglaonema, dia tunjukkan dengan rajin mempelajari kiat-kiat sukses menjadi petani aglaonema dari YouTube atau buku-buku. Bahkan pada awal tahun dia sudah membeli sebidang tanah di daerah pedesaan tidak jauh dari rumah untuk digunakan sebagai nurseri aglaonema. Sudah dibangun screenhouse-nya juga. Rencananya dalam waktu dekat dia ingin berhenti dari pekerjaannya dan serius menekuninya. Namun, rencana manusia akan kembali kepada rencana yang dibuat oleh Allah.

Tanaman aglaonema masih tumbuh subur. Bunga-bunga anggrek masih bermekaran dengan cantik. Kenang-kenangan darinya masih mampu membuatku tersenyum. Mungkin memang begitulah tujuannya menanam bunga-bunga cantik itu agar aku selalu tersenyum dan bahagia.

"Kasihan kalian, ya, sudah empat hari tidak disiram, tidak disayang-sayang tuanmu. Apa kalian merindukannya? Maaf, ya, kalian sudah tidak akan bertemu dengannya lagi. Tuanmu sudah pergi untuk selamanya," kataku getir pada semua tanaman itu sambil menyiraminya satu-satu.

Aku dan suamiku memang pasangan unik. Biasanya yang suka berkebun adalah perempuan karena menyukai keindahan. Namun, tidak demikian dengan kami. Aku suka keindahan, tetapi tidak suka berkebun. Di tanganku, tanaman lebih sering mati daripada hidup. Selain itu aku juga takut dengan macam-macam hewan tanah seperti cacing, ulat, lintah bahkan semut yang bergerombol di tanah. Karena itu aku tidak menyukai kegiatan itu.

Berbeda dengan suamiku. Orang bilang tangannya dingin. Apa pun yang ditanam biasanya hidup. Dia juga tidak mempermasalahkan aku yang tidak suka berkebun. Dia sudah cukup senang melihat aku bahagia dan menjerit-jerit takjub melihat anggrek yang dia pelihara berbunga cantik. Dia sudah merasa bangga dengan jerih payahnya merawat tanaman dengan hanya melihat aku yang begitu antusias mengambil foto setiap jenis aglaonemanya kemudian mengunggahnya di Facebook atau Instagram.

"Bunda enggak usah ikutan kotor-kotor dengan tanah. Cukup duduk, temani aku itu sudah cukup membantu." Begitu selalu yang dikatakannya jika dia akan berkebun.

Makanya jangan heran kalau Minggu pagi aku hanya duduk santai di kursi balkon sambil menikmati kopi panas dan pisang goreng menyaksikan suamiku sibuk mengurusi tanamannya. Katanya, aku seperti kanjeng mami saja.

Jangan dikira aku betul-betul seperti kanjeng mami. Sepintas memang begitu. Namun, dengan adanya aku di dekat suamiku yang sibuk berkebun, itu memudahkannya memerintah aku mengambilkan ini dan itu.

Kadang aku juga banyak bertanya mengenai segala jenis tanaman yang dia koleksi. Suamiku hafal nama-nama tiap jenisnya, padahal dari bentuknya mirip-mirip, tetapi memiliki nama yang berbeda.

"Ini namanya khanza, Nda. Aglaonema termahal yang aku punya," katanya suatu saat.

"Ini pembelian Khanza keempat yang berhasil aku kembangkan. Sesuai harganya. Mahal. Cantik. Tingkat kesulitannya juga tinggi," lanjutnya. Aku terpana.

"Jadi sudah habis berapa untuk bisa memiliki Khanza ini?" tanyaku takjub. Dia pun terkekeh.

"Ada, deh," jawabnya misterius.

Iyalah. Dia tidak bakal terus terang. Khawatir aku protes.

"Salah satunya yang dulu aku pernah beli berupa bonggol itu, Nda. Tapi ternyata enggak bisa tumbuh. Pernah juga beli yang sudah berdaun. Begitu sampai rumah sudah layu parah dan tidak terselamatkan."

Suamiku memang lebih sering membeli aglaonema secara online karena jenisnya beraneka ragam. Kalau beli langsung di penjual yang ada di Semarang biasanya hanya jenis yang biasa.

"Memangnya enggak bisa komplain?" tanyaku

"Males juga. Soalnya sebelum beli sudah tahu kondisinya akan begitu. Dulu itu kelamaan enggak aku unboxing jadi layu parah. Kalau beli bonggolan, ya, memang risikonya begitu. Sering enggak tumbuhnya," jawabnya.

"Duit, kok, dibuang-buang," gerutuku.

"Namanya merintis, ya, begini , Nda. Modal dulu. Sekarang aku sudah punya satu. Ini sudah ada anakannya lo. Lihat, nih." Dia memperlihatkan satu pot kecil berisi anakan berdaun tiga.

"Sebulan lagi bisa dipisa, nih. Coba liat di marketplace berapa harganya?"

Kubuka marketplace berwarna oranye. Harga rata-rata 300—400 ribu.

"Wow! Berarti ini kalau dijual bisa jutaan dong, Yah!" seruku antusias.

"Iya. Makanya bisnis ini sebetulnya menjanjikan. Tinggal kita harus telaten dan enggak bisa disambi. Harus fokus. Makanya aku pengin serius jadi petani aglaonema. Bunda harus dukung aku," katanya semangat.

Aku tersenyum. Aku menunjuk satu pot berisi aglaonema lebat berukuran sedang. Warnanya merah pekat mengilap berdaun lebar dan sangat cantik.

"Aku lebih suka ini. Keliatan berkelas," seruku.

"Iya. itu Suksom Jaipong," jawabnya.

Lalu dia menyebutkan satu persatu nama-nama aglaonema yang tak bisa kupahami.

"Wulandari, Tiara, Gadis, Reanita, Yohana, Adelia, Sherly, Widuri, Tamara, Bidadari, Rindu, Serena Petita, Adelia, Ayu Green, Dona Carmen, Romeo, Dut Anzamani, Emerald, Sultan Brunei, Kochin Pink, Moonlight." Masih yang dia sebutkan, tetapi aku tidak ingat.

"Kok, nama cewek semua, sih? Jangan-jangan Ayah yang kasih nama, ya? Nama mantan-mantan Ayah?" sungutku karena baru tahu ada nama daun kok cantik-cantik seperti nama gadis remaja saja. Dia pun terbahak.

"Aku kemarin posting di Instagram juga banyak yang komen dikira aku ngarang sendiri nama-nama itu," jelasnya sambil terus tertawa geli.

Sering juga aku membuat video berbagai tip menanam aglaonema. Tentu saja dengan bintang utamanya suamiku. Ada beberapa video yang aku buat dan sudah aku uanggah di YouTube, antara lain "Cara Membuat Media Tanam Aglaonema", "Cara Pemisahan Anakan Aglaonema", "Cara Perbanyakan Aglaonema", "Cara Menyiram Aglaonema yang Benar".

Semua video tersebut masih amatiran. Aku buat hanya dengan kamera ponsel biasa. Rencananya apabila nurseri yang dibangun suamiku sudah jalan, kami ingin memiliki kanal khusus mengenai aglaonema. Ternyata, cita-cita itu harus kandas di tengah jalan.

Sebetulnya banyak yang menyayangkan cita-cita pembuatan nurseri yang sudah dirintis suamiku akhirnya tidak kulanjutkan. Namun, saat ini aku belum sanggup. Entah nanti setelah beberapa waktu kemudian. Saat ini aku baru bisa merawat yang sudah ada.

Ada lagi teman-teman yang ingin membeli tanaman-tanaman itu karena merasa yakin aku tidak akan mampu merawatnya. Merawat aglaonema dan anggrek memang membutuhkan keahlian khusus, kemauan kuat, dan kesenangan.

Terus terang aku juga tidak yakin bisa merawat mereka dengan baik. Namun, aku tidak tega menjual tanaman-tanaman cantik kesayangan suamiku itu. Biarlah mereka mati dalam perawatanku daripada aku harus menjualnya dengan alasan menyelamatkan mereka agar tetap hidup. Maafkan aku ya, Yah. Doakan agar aku bisa merawat semua tanaman kesayangan Ayah.

#Kamis, 10 Desember 2020


Tiga Puluh Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang