Hari Ketiga Tanpamu : Alur Cerita Sebenarnya

1.1K 136 0
                                    

Selepas salat Asar aku kedatangan tamu dari kantor pembiayaan yang menjadi mitra kantor suami. Ada kurang lebih sepuluh orang. Tidak ada satu pun yang aku kenal. Dulu sebelum bekerja di perusahaan dealer sepeda motor suamiku memang bekerja di perusahaan pembiayaan sehingga temannya masih banyak di sana.

Salah satu tamu yang akhirnya kuketahui bernama Pak Wijaya mewakili teman-temannya menyampaikan belasungkawa. Setelah saling memperkenalkan diri baru kuketahui ternyata ada beberapa orang dari tamu tersebut yang mengikuti touring bersama suamiku. Bahkan ada yang berada di belakang suamiku persis.

"Mohon maaf sebelumnya, apakah saya bisa mendapat informasi bagaimana kejadian sebenarnya pada saat kecelakaan menimpa Pak Fatih?" tanyaku pada mereka.

"Iya, Bu, kebetulan Mas Dendi ini yang berada di belakang Bapak persis. Mungkin Mas Dendi bisa cerita," kata Pak Wijaya sambil menepuk pundak orang yang berada di sebelahnya persis.

"Iya Bu. Nama saya Dendi," katanya. Dia mengambil napas sejenak.

"Waktu itu setelah sarapan di Gudeg Merakmati kita melanjutkan perjalanan lagi menuju Bandungan."

"Kira-kira jam berapa lepas dari Gudeg Merakmati, Mas?" potongku. Dia kelihatan jauh lebih muda dariku jadi kupanggil 'mas' untuk kesopanan.

"Karena jam setengah delapan Pak Fatih masih mengirimkan kabar ke grup keluarga."

"Jadi begini Bu, memang kita sampai di Gudeg Merakmati sekitar jam setengah delapan, tetapi rumah makannya belum buka. Jadi kita menunggu di situ sampai rumah makannya buka. Kira-kira bukanya jam delapan. Karena rombongan kita banyak, sekitar dua puluhan orang jadi kita sarapan di sana lumayan lama kurang lebih satu jam. Mungkin sekitar jam sembilan kita lepas dari Gudeg Merakmati, Ibu," jelas Pak Wijaya. Ternyata dia juga termasuk rombongan touring tersebut.

Aku mengangguk-angguk. Mencoba memahami jalan cerita 'Sabtu Kelabu' itu.

"Ayo, Den, dilanjutkan," kata Pak Wijaya kepada Dendi.

"Ah iya Bu. Jadi setelah sarapan kita lanjutkan touring menuju Pondok Kopi di Sidomukti Bandungan. Nah, setelah turun dari Pasar Bandungan menuju Pondok Kopi ada jalanan turun dan menikung. Sebetulnya karena jalanan menikung saya juga tidak terlalu jelas proses jatuhnya Pak Fatih. Tiba-tiba saja begitu melewati tikungan tersebut Pak Fatih sudah jatuh. Sehingga kami yang di belakang berhenti semua. Padahal waktu itu kita tidak ngebut, Bu. Yang ikut touring juga bukan anak-anak muda yang gemar kebut-kebutan. Apabila dilihat dari bekas rodanya sepertinya tidak ada upaya pengereman dari Pak Fatih. Seharusnya dalam posisi menikung dan jalanan turun otomatis mengerem," jelas Mas Dendi panjang lebar. Dia berhenti sejenak.

"Ada kemungkinan Pak Fatih ngantuk ya, Mas," tebakku lirih.

"Betul, Bu. Dan saya dengar Jumat malam itu Pak Fatih main bulutangkis sampai malam. Mungkin kecapekan," sambung Pak Wijaya.

"Waktu itu Pak Fatih masih bisa duduk bersandar di jembatan kecil dekat lokasi kecelakaan. Kalo Bahasa Jawanya 'buk'. Beliau bahkan masih sempat bilang mau duduk dulu sebentar. Mungkin mau menenangkan diri dulu. Sampai beberapa saat karena sepertinya tidak kunjung membaik akhirnya diputuskan Pak Fatih dibawa ke rumah sakit memakai safety car yang memang ada di belakang rombongan. Tidak ada darah yang keluar dan tidak ada yang luka, Bu," jelas Dendi. "Makanya kami tidak menyangka Pak Fatih sampai meninggal," sambungnya pelan sambil menunduk.

"Kira-kira jam berapa, ya, kecelakaan itu terjadi?" tanyaku.

"Kurang lebih dua puluh menit dari kita sarapan di Merakmati. Sekitar pukul sembilan lebih dua puluh menit, Bu," jelas Pak Wijaya.

Aku jadi bisa memahami alur ceritanya. Malam Jumat suamiku memang tidur di Salatiga. Pagi-pagi dia berangkat ke kantor Semarang. Dia bilang pulangnya malam karena mau badminton dulu. Aku sudah wanti-wanti jangan ikut main karena dia punya riwayat sakit saraf kejepit. Dia berjanji hanya datang sebagai solidaritas terhadap teman-temannya.

Setiap Jumat malam kantor suamiku memang memiliki jadwal badminton bersama teman-teman main dealer. Suamiku rajin datang meskipun dia tidak main. Namun aku tidak percaya kalau dia tidak main sama sekali. Pastilah ikut main.

Jadi ketika Jumat sore aku pulang ke rumah di Semarang aku tidak menjumpai suamiku. Aku hanya tahu dia pulang jam setengah sebelas malam karena waktu dia masuk kamar aku yang sudah tertidur terbangun dan melihat jam dinding.

"Kok, sampai malem banget, Yah?" tanyaku sambil memejamkan mata lagi.

"Iya. Tadi jam sembilan sudah selesai, sih. Cuma tadi nongkrong dulu sama temen-temen," jawabnya yang kudengar sayup-sayup.

Malam itu aku tidak tahu dia tidur pukul berapa. Aku perkirakan setelah mandi dan bersih-bersih dia tidur mungkin sekitar pukul sebelas malam. Seperti biasa pukul tiga pagi, aku dan suamiku sudah bangun untuk salat Tahajud lanjut salat Subuh. Setelah itu tanpa tidur lagi suamiku berangkat ke kantor pukul 5.30 pagi. Total dia tidur malam itu hanya empat jam. Bisa jadi penyebab kecelakaan tersebut karena mengantuk dan kecapekan. Aku menghela napas dalam-dalam. Ya, sudahlah. Memang takdirnya begitu.

Seperti yang disampaikan Mas Dendi tadi. Tidak ada luka di badannya. Hanya memar di lengan sebelah kanan dan lecet di pipi mungkin terkena helm dan kacamata yang memang bengkok. Badannya mulus tidak ada luka sedikitpun, tetapi ponselnya bengkok rusak parah. Kemungkinan ponsel yang dia taruh di saku jaket sebelah kanan yang menghantam stang motor sehingga rusak parah tetapi badannya terhindar dari luka.

Menurut catatan dari dokter, suamiku meninggal karena trauma abdomen dan anemia berat. Anemianya dikarenakan pendarahan hebat. Setelah aku googling trauma abdomen merupakan cedera yang terjadi pada organ dalam perut seperti lambung, usus, pankreas, hati, empedu, ginjal, dan limpa. Trauma ini bisa terjadi akibat benturan benda tumpul. Jadi meskipun di luar tidak ada yang terluka, tetapi bagian dalamnya terluka parah. Aku ngilu membayangkan mungkin suamiku merasakan sakit yang amat sangat sebelum menemui ajalnya. Ada hal yang membuatku tenang, kata temannya selama dibawa ke rumah sakit sampai meninggalnya tangan suami tidak berhenti bergerak seperti sedang zikir.

"Ibu, kami mohon pamit dulu. Semoga ibu dan keluarga diberi ketabahan dan kesabaran menghadapi cobaan ini," kata Pak Wijaya membuyarkan lamunanku.

"Terima kasih juga atas perhatian bapak-bapak semua. Dan saya mohon maaf karena tidak bisa menyambut dengan selayaknya. Monggo diminum dulu. Hanya air putih," tawarku.

Setelah minum barang seteguk sebagai sopan santun, mereka semua berdiri mohon pamit.

"Foto Bapak terakhir di sini ya, Bu?" tanya salah satu tamu tersebut yang aku belum tahu namanya sambil menunjuk lokasi carport.

"Betul, Pak. Saya yang mengambil gambarnya. Bapak yang minta difoto. Ternyata itu jadi kenangan terakhir," jawabku sambil tersenyum pilu.

"Foto itu langsung viral, Bu," ucap salah satu tamu. Aku tersenyum.

"Apalagi pagi itu saya posting di Fb dan Ig serta nge-tag Pak Fatih. Awalnya komen teman-teman masih ceria. Begitu jam dua belas siang komennya langsung berubah. Teman-teman saya juga kaget semua, Pak," jelasku.

Tak lama Pak Wijaya dan teman-temannya mengakhiri kunjungan dan berlalu keluar halaman. Aku tersenyum dan mengantar mereka sampai hilang dari pandangan.

#Selasa, 8 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang