Hari Pertama Tanpamu : Selamat Jalan Sayang

3K 232 6
                                    

Hari pertama bagiku tanpa kehadirannya. Aku sudah bangun sejak tadi. Tepatnya aku sama sekali tidak memejamkan mata dari semalam bahkan kemarin. Aku berusaha mencoba, tetapi tidak bisa. Kulirik ibuku yang tidur di sebelahku. Entah jam berapa semalam ibuku datang dari Cilacap. Semua terasa berlalu begitu cepat seperti gambaran-gambaran dalam sebuah film hitam putih zaman dulu.

Aku beranjak dari kasurku yang terasa dingin. Kulakukan dengan gerakan perlahan agar tidak membuat ibuku terjaga. Kamar terlihat sangat berantakan. Beberapa tas koper dengan berbagai ukuran tergeletak di sana sini. Itu milik ibuku, kakakku, dan saudara-saudara yang datang ke rumah dan tidur di mana saja asal bisa membaringkan tubuh.

Aku keluar dari kamar. Kupandangi kondisi sekitar yang tak jauh berbeda dengan kamarku. Mas Anif, anakku, tidur beralaskan karpet di ruang tamu. Di sebelahnya ada adiknya, Dek Sefa, yang terlihat kedinginan meringkuk merapatkan tubuh ke kakaknya. Di sebelahnya lagi ada adik suamiku. Mereka tidur di ruang tamu menunggui jasad suamiku.

Adik iparku datang dari Bekasi semalam. Adik-adik iparku yang lain ada yang pulang karena rumahnya dekat. Ada juga yang tidur di hotel. Kakakku dari Kalimantan juga datang dengan anaknya dan menginap di hotel karena rumahku memang kecil dan tidak mampu menampung semua saudara yang datang.

Suasana terasa mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Aku masuk ke kamar mandi. Mengambil air wudu untuk menunaikan salat Tahajud yang kali ini sepertinya berlalu begitu saja. Aku merasa kosong dan sendiri. Bahkan setelah salat yang seharusnya aku berdoa malah kulalui hanya dengan diam termenung. Kilasan-kilasan kejadian kemarin siang hilir mudik dalam ingatanku.

Kemarin pukul 07.30 suamiku masih mengirim foto deretan sepeda motor di grup WhatsApp keluarga. Tertulis ‘sarapan di gudeg Merakmati’ di bawah fotonya. Itu adalah kabar terakhir yang kuterima.

Pukul 09.30 ada telepon masuk ke ponselku dari teman suami menanyakan posisiku.

“Saya di Semarang, Mas. Kenapa? Mas Agus enggak ikut touring?” tanyaku setelah menjawab pertanyaannya. Sang penelepon menjawab tidak, kemudian mengucapkan terima kasih dan menutup teleponnya.

Aku berpikir agak aneh, tetapi kutepis begitu saja. Tak disangka, pada saat itu suamiku sedang kritis di sebuah rumah sakit di Ambarawa. Teman-teman suamiku menelepon untuk memastikan posisiku karena mereka akan datang menjemput.

Pukul 11.30 ada telepon lagi masuk ke ponselku. Waktu itu aku sedang belanja bulanan di supermarket di depan perumahanku. Nomor tidak dikenal, tetapi tetap kuangkat. Ternyata dari salah satu teman kantor suamiku juga. Lagi-lagi mereka menanyakan posisi.

“Saya berada di Semarang, Mas. Kenapa, ya?” Aku mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Ibu di rumah?’ tanyanya lagi.

“Saya sedang belanja, Mas, di supermarket depan perumahan. Ada apa, ya?”

Meluncurlah cerita itu. Ternyata suamiku mengalami kecelakaan tunggal. Sekarang teman kantor suami yang tidak ikut touring sedang berada di rumah untuk menjemput dan mengantarku ke rumah sakit di Ambarawa. Seketika itu juga belanjaan aku tinggal semua dan langsung pulang.

Sesampainya di rumah, aku melihat Pak Hendra dan Pak Willy sedang bercakap-cakap dengan anakku yang sulung.

“Bunda dari mana saja? Dari tadi dihubungi via WhatsApp enggak dibaca,” protesnya.

Sebenarnya dia sudah kuliah di Solo, tetapi karena pandemi, dia melakukan pembelajaran secara daring.

“Maaf, Mas, Bunda enggak dengar,” jawabku.

Setelah itu kejadian demi kejadian berlalu sangat cepat dan membingungkan. Aku diantar oleh dua orang teman kantor suami menuju rumah sakit di Ambarawa tempat suamiku mendapat pertolongan.

Percaya atau tidak selama dalam perjalanan aku merasa sudah bisa memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Aku merasa deja vu. Apakah aku pernah mengalami hal seperti ini? Aku takut sekali dengan semua pikiranku. Tanganku sudah mulai dingin. Aku berdoa semoga pikiran buruk ini hanya karena terbawa suasana. Tidak. Tidak akan terjadi apa pun seperti yang aku pikirkan. Begitu aku berusaha meyakinkan diri sendiri.

Namun, harapan tinggal harapan. Begitu suara telepon masuk di ponsel Pak Hendra, aku sudah bisa menebak. Sepertinya inilah saatnya berita buruk itu datang. Jari tangan dan kakiku sudah dingin semua. Akhirnya kabar itu terdengar juga, lirih di telingaku. Sabtu, 5 Desember 2020 pukul 12.00 suamiku tercinta dipanggil Allah Yang Mahakuasa. Sang Pemilik jiwa setiap manusia. Aku, apa yang aku rasakan? Tidak ada.

Mobil yang aku tumpangi hening. Aku menyandarkan tubuhku dan menghela napas panjang. Ternyata dari tadi aku duduk tegak dan kaku serta tidak bernapas selama beberapa detik saking tegangnya.

Jangan menangis … jangan menangis. Tetap saja air mataku keluar dalam diam. Aku harus bagaimana?

“Ibu, kita kembali ke rumah saja ya. Biar teman-teman di sana yang mengurus semuanya. Ibu tunggu di rumah saja,” tawar Pak Hendra.

Aku mengangguk pasrah.

Mobil pun berbalik arah menuju pulang. Aku harus berpikir cepat. Yang pertama, aku harus menghubungi anakku, Mas Anif di rumah, kemudian keluarga suami di Kudus dan Demak. Menghubungi keluarga Kendal dan meminta tolong untuk menjemput anakku yang bungsu, Dek Sefa, yang berada di pondok. Dek Sefa memang sekolah di pondok pesantren di Kabupaten Kendal. Setelah itu mengabari ibuku di Cilacap. Mengabari tetangga dan terakhir mengabari salah satu teman kuliahku.

Sepertinya sudah cukup beberapa orang saja yang aku kabari. Sudah cukup mewakili. Aku langsung memejamkan mata. Kepalaku pusing. Notifikasi ponselku berbunyi tiada henti. Hanya kuterima kalau dari saudara. Selebihnya aku diamkan.

“Sudah salat Tahajud, Rin?” tanya Ibu membuyarkan lamunanku.

“Sudah, Bu,” jawabku. “Ibu mau salat?”
Ibu mengangguk dan turun dari tempat tidur.
Menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Setelah itu aku bersiap-siap mandi sebelum orang-orang bangun dan berebut kamar mandi.

Pukul 07.00 suasana rumah sudah ramai. Saudara-saudara yang menginap di hotel berdatangan. Tamu-tamu juga sudah memenuhi halaman untuk mengikuti prosesi pemberangkatan jenazah menuju pemakaman.

Jenazah suamiku baru kemarin sore sampai di rumah. Jasadnya akan dikebumikan di pemakaman keluarga di Demak. Selain  membutuhkan persiapan lebih lama, kami juga harus menunggu adik-adik ipar yang datang dari Jakarta. Akhirnya diputuskan suamiku dimakamkan hari ini pukul 09.00.

Rencana diberangkatkan dari rumah duka pukul 07.00. Agak terlambat sedikit dari rencana. Tidak apa-apa. Masih ada waktu karena jarak rumahku ke pemakaman paling lama satu setengah jam.

***

Ditengah guyuran hujan, prosesi pemakaman suamiku berjalan lancar meskipun terasa haru. Seakan-akan alam ikut menangis menyaksikan teman kecilnya kembali selamanya di kampung halaman tercinta dalam keadaan sudah tiada.

Pemakaman ini memang berada di samping rumah masa kecil suami. Di sebuah desa di Kecamatan Guntur, Demak. Suara azan Mas Anif untuk ayahnya semakin menambah suasana syahdu dan pilu. Selamat jalan Ayah. Selamat jalan suamiku, Fatih Muhammad. Selamat jalan, Sayang.

#Minggu, 6 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang