Hari Kedua Puluh Lima Tanpamu: Ibadah Haji

196 33 0
                                    


Mengenang kembali perjalanan haji bersama suami seperti mengisi daya baterai pada ponsel yang tinggal lima belas persen. Memberikan energi baru dalam hubunganku dengan Yang Mahakuasa.

Selama empat puluh hari menjalankan prosesi ibadah haji di tanah suci membuatku merasa lebih dekat dengan Allah. Selain itu juga semakin dekat dengan suami. Di tanah suci kami saling menjaga, mengingatkan, bekerja sama, dan hanya fokus pada ibadah. Bahkan kami berjanji saling mengingatkan untuk tidak sibuk belanja membeli oleh-oleh.

Satu minggu sebelum meninggalkan Kota Mekah dan bersiap ke Madinah kami berdua niatkan iktikaf di Masjidil Haram. Dari salat Magrib, Isya, Tahajud, Subuh, dan Duha tidak beranjak dari Masjidil Haram. Tidur pun di situ. Hanya keluar sebentar makan malam setelah isya. Kami pulang ke penginapan setelah salat Duha dan kembali lagi menjelang salat Magrib.

Selama 22 tahun berumah tangga, aku merasakan quality time kami paling baik ketika menjalankan ibadah haji itu. Kata orang godaan suami istri ketika melaksanakan ibadah haji adalah mereka jadi sering bertengkar. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada kami. Alhamdulillah. Aku malah merasakan kasih sayang suami menjadi berlipat-lipat.

"Bunda, mulai sekarang aku berjanji akan lebih menyayangi Bunda, lebih menyayangi anak-anak. Aku berjanji tidak akan marah-marah pada Bunda dan anak-anak. Insyaallah. Makanya agar bisa menepati janji, tolong ingatkan aku kalau sedang marah. Ingatkan aku kalau ingkar. Juga sebisa mungkin jangan membuat aku marah, ya," katanya dengan sungguh-sungguh.

Aku betul-betul terharu padanya.

"Ayah juga, ingatkan kalau aku buat Ayah marah. Ingatkan agar aku selalu sabar. Ingatkan aku untuk selalu hormat dan nurut sama Ayah," janjiku, juga harapanku.

Aku merasakan sejak saat itu suamiku memang berubah. Lebih sabar, ikhlas, dan lebih apa adanya. Yang jelas semakin sayang pada keluarga.

Bahkan ketika iPhone-ku hilang di Mekah, suamiku sama sekali tidak marah. Malah kasihan padaku. Coba dulu, aku pasti sudah diomeli terus.

"Ya, sudah mau diapain lagi. Jadikan itu sebagai pelajaran. Ingatkan? Dulu pertama kali aku belikan iPhone, Bunda malah mengeluh terus katanya iPhone sulit, lebih mudah Android. Nah, sekarang Allah menegur. Artinya, apa pun yang diberikan suami, terima dengan senang hati. Bunda tersenyum setelah aku beri sesuatu itu sudah buat aku bahagia, lo," kata suamiku panjang lebar.

Namun, aku masih kesal dengan diriku sendiri yang lalai menjaga barang.

"Ponsel lamanya Bunda yang Note 5 dibawa juga, kan? Sekarang pakai itu dulu. Kan Bunda penginnya Android. Itu sudah dikabulkan oleh Allah. Enggak usah disesali. Nanti kalau ada rezeki lebih, aku belikan Note yang terbaru. Yang penting sekarang bisa komunikasi dulu," lanjutnya.

Duh, gimana enggak tambah sayang sama suami model begini, sih.

"Ayah, kok, baik banget, sih, aku jadi terharu," ujarku dengan tingkah dibuat manja. Dia malah terpingkal.

"Enggak usah diimut-imutin. Geli tau!" katanya sambil terkekeh.

Aku mencibirnya. Memegang lengannya erat.

"Bener, ya, besok sampai Indonesia belikan Note terbaru, janji, lo," rayuku sambil mengedipkan mata. Dia menghela napas dan berdecak heran.

"Yang diinget, kok, bagian itu sih? Kok, enggak yang Allah sedang menegur Bunda agar lebih menghargai pemberian suami?" sindirnya.

"Yang itu aku udah menyesal, Yah. Masa harus diingat-ingat terus. Yang lalu biarlah berlalu. Yang penting kita hadapi masa depan dengan Note baru," ucapku riang tak menghiraukan cibiran suami.

*****

Ketika wukuf di Arafah setelah mendengarkan khotbah dan berdoa, suami mengajakku ke luar tenda. Kami menghubungi anak-anak di Semarang, orang tua di Kudus dan Cilacap untuk meminta maaf dan berdoa bersama yang dipimpin oleh suami. Setelah saling bertukar kabar kami matikan sambungan telepon tersebut.

Tiba-tiba saja suamiku memelukku dengan erat dan menangis. Aku sampai bingung.

"Aku minta maaf ya, Nda. Aku punya banyak banget salah sama Bunda. Maafkan aku yang pernah khilaf. Maafkan aku yang sering tidak sabar. Maafkan aku yang selalu marah-marah. Maafkan aku yang sering lalai dengan kewajibanku terhadap Bunda. Maafkan aku yang belum bisa menjadi suami yang baik dan ayah yang membanggakan. Maafkan aku ya," katanya penuh maaf dan air mata.

Aku bingung. Tidak menyangka akan menghadapi situasi seperti ini. Aku pun jadi ikut menangis haru.

"Iya, Ayah. Sama-sama. Aku juga punya banyak salah sama Ayah. Aku juga sering bikin Ayah marah. Aku juga belum bisa menjadi istri dan ibu yang baik. Aku juga minta maaf ya, Yah," pintaku tulus.

Lalu kami berdoa bersama meminta ampunan dan magfirah dari Allah. Berdoa agar keluarga kami menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah, anak-anak menjadi birrul-walidain dan kami selalu diberi kesehatan, keselamatan, dan dijauhkan dari segala marabahaya.

#Rabu, 30 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang