Hari Kedua Puluh Enam Tanpamu: Nusakambangan

224 28 0
                                    

Nyanyian ombak berbisik merdu di telingaku

Mengalunkan nada indah dalam aliran nadi

Jangan bimbang dan ragu akan sumpahku

Hanya kau terkasih yang ada di kisi hati


Liburan tahun baru aku sengaja pulang ke Cilacap. Tahun ini aku belum pernah pulang kampung karena terkendala pandemi. Kali ini aku nekat pulang tentu saja dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Lagian aku datang naik kereta api dan sudah melakukan swab antigen terlebih dahulu, padahal untuk turun di Stasiun Purwokerto sebetulnya tidak wajib swab. Aku berjaga-jaga agar merasa aman saja. Karena ibuku juga sudah berumur. Kasihan jika aku membawa virus Covid-19.

Turun di Stasiun Purwokerto semalam kurang lebih pukul 10.00, aku dan Dek Sefa dijemput sopir dan langsung membawaku ke Cilacap. Mas Anif tidak ikut karena persiapan mau ujian.

Perlu waktu satu jam perjalanan dari Purwokerto ke Cilacap. Selalu ada perasaan sedih setiap pulang ke sana. Orang mungkin akan bahagia kalau pulang ke kampung halamannya. Kalau aku tidak. Aku selalu merasa sedih. Entahlah. Terlalu banyak kenangan indah di sana sehingga membuatku menyadari bahwa kenangan indah itu adalah masa lalu.

Setelah sampai di rumah, aku disambut Ibu dengan sukacita. Sudah disiapkannya masakan khas Cilacap seperti soto Sokaraja, mendoan, dages dan kering tempe pesananku. Meskipun semuanya sudah dingin, aku tetap memakannya dengan lahap karena lapar sekali. Pandemi menyebabkan di kereta tidak menyediakan makanan untuk penumpang.

"Bu, Mas Santoso jadi, kan, antar Rini ke Nusakambangan besok?" tanyaku semalam

"Jadi. Besok jam enam pagi kita sudah harus sampai di Dermaga Wijayapura, ya. Di tunggu Mas Santoso di sana," jawab ibuku.

"Kita?" tanyaku menoleh ke Ibu.

"Iya. Ibu akhirnya ikut. Nanti Ibu dan Mbak Siti ikut. Kasihan kalo kamu sendiri," jawab Ibu tersenyum. Mbak Siti adalah orang yang menemani Ibu sehari-hari di rumah.

"Alhamdulillah. Rame-rame lebih asyik," ucapku.

*****

Hari ini pukul enam pagi aku, Dek Sefa, Ibu, dan Mbak Siti sudah berada di Dermaga Wijayapura. Mas Santoso sudah menunggu kami di sana. Beliau adalah saudaraku yang bekerja di Lembaga Pemasyarakatan Permisan Nusakambangan. Orang luar tidak boleh masuk tanpa izin karena pulau tersebut adalah penjara bagi narapidana kelas berat sehingga dijaga sangat ketat. Apabila ingin ke sana harus ada izin resmi atau memiliki kerabat yang bekerja di sana.

Setelah naik kapal feri kurang lebih lima belas menit, sampailah kami di Pelabuhan Sodong Nusakambangan. Semua penumpang turun begitu pun dengan rombonganku. Gapura bertuliskan 'Pemasyarakatan Nusakambangan' dengan gagah menyambut kami. Menginjakkan kaki di pulau ini, mengingatkanku pada Fatih, suamiku.

*****

"Akhirnya setelah lima belas tahun punya istri orang Cilacap, sampai juga aku di Pulau Nusakambangan," kata suamiku begitu kami sampai di Pulau Nusakambangan.

Aku hanya menyengir. Kata-katanya penuh sindiran karena sudah lama suamiku ingin pergi ke sini belum pernah aku ajak juga. Kalau ke Pulau Nusakambangan di ujung timur yang bisa diakses dengan kapal dari Teluk Penyu sudah sering. Namun, itu hanya untuk wisata dan tidak ada yang bisa dilihat di sana. Hanya pantai biasa dan kalau mau naik sedikit ada Gua Belanda. Selebihnya adalah hutan belantara.

Kalau pergi ke Pulau Nusakambangan melalui Pelabuhan Sodong memang tidak semua orang diperbolehkan masuk. Prosedurnya rumit membuatku malas untuk mengajak suamiku ke sana. Selain itu suamiku jarang sekali bisa meluangkan waktunya untuk mengambil cuti dan liburan beberapa hari. Setiap menemaniku ke Cilacap biasanya ketika lebaran saja. Tentu saja kalau lebaran akses umum untuk bisa masuk ke Pulau Nusakambangan tertutup.

Karena disindir terus oleh suami, aku minta dia ambil cuti pada hari-hari kerja biasa sehingga aku bisa minta tolong saudaraku Mas Santoso untuk mengantar kami ke Nusakambangan. Di sinilah kami sekarang.

Setelah puas berfoto di tugu Nusakambangan kami melanjutkan perjalanan menuju Pantai Permisan yang berada di bagian selatan Pulau Nusakambangan. Dari Pelabuhan Sodong bisa menggunakan mobil untuk mencapai pantai ini. Mas Santoso meminjamkan mobilnya untuk transportasi selama kami di Pulau Nusakambangan.

"Indah banget, Nda. Subahanallah. Ini baru namanya pantai," katanya setelah kami sampai di Pantai Permisan.

"Kalau mau nanti kita ke Pantai Kali Kencana, Mas. Njenengan pasti takjub. Pantainya betul-betul masih perawan, tetapi lokasinya sulit, kita harus jalan kaki kurang lebih satu setengah jam," kata Mas Santoso menawarkan.

"O, ya? Oke deh nanti sekalian kita ke sana," jawab suamiku. Lalu menoleh ke arahku. "Bunda pernah ke Pantai Kali Kencana?"

"Belum pernah," jawabku singkat.

Anak-anak sudah berlarian bermain air. Suamiku seperti biasa mengambil foto dari berbagai sudut. Di Pantai Permisan ini banyak sekali batu-batu besar. Di salah satu batu besar yang agak ke tengah dari bibir pantai terdapat monumen berupa pisau besar yang tertancap. Monumen itu dinamakan Monumen Pisau Komando, yang menyimbolkan kekokohan para prajurit Kopassus. Karena pantai ini memang digunakan sebagai tempat berlatih pasukan Kopassus. Di sebelah pisau komando tersebut terdapat pohon kelapa yang berdiri kokoh di atas bebatuan. Perpaduan yang sangat indah.

"Indah banget begini kalau dikelola dengan baik pasti banyak pengunjungnya, Nda. Sayang banget tidak dimaksimalkan pengelolaannya," kata suamiku.

"Ya, enggak bisa lah, Yah. Ini kan pulau terisolir. Untuk narapidana kelas berat. Tidak sembarang orang bisa masuk," jawabku.

"Oh iya ya," komentar suamiku setelah menyadari kenyataan yang ada.

Setelah setengah jam puas bermain air, kami sepakat untuk melanjutkan perjalanan menuju Pantai Kali Kencana. Untuk menuju ke sana kami harus berjalan kaki kurang lebih satu setengah jam membelah hutan Nusakambangan. Jalan setapak sangat ekstrim. Aku sebetulnya agak takut, tetapi Mas Santoso menenangkan kami dan mengatakan bahwa perjalanan aman sehingga aku menjadi lebih berani. Apalagi Mas Santoso juga mengajak temannya sesama petugas lapas yang membuatku lebih tenang lagi.

Suamiku terlihat tidak takut sama sekali. Bahkan anak-anak sangat menikmati perjalanan yang penuh petualangan ini. Mereka terlihat begitu gembira. Bahkan Dek Sefa yang masih berusia delapan tahun tidak terlihat capek setelah berjalan cukup jauh.

Masyaallah, subhanallah, Allah Mahabesar. Aku betul-betul takjub menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah di depan mata. Seperti sebuah surga tersembunyi. Pantai yang begitu elok dengan batu-batu besar. Pasirnya putih dan banyak kerang cantik di sana sini. Suasana sepi, hanya ada deburan ombak yang terdengar.

"Subhanallah, ini adalah pantai terindah yang pernah aku lihat, Nda," puji suamiku takjub.

"Aku kira dulu pantai terindah di dunia adalah Belitung. Ternyata masih kalah dengan pantai ini."

Kami sama-sama takjub menyaksikan lukisan alam yang begitu sempurna. Alhamdulillah diberi kesempatan bisa menyaksikannya.

*****

Hari ini aku kembali ke Pantai Permisan ini. Tanpa dirimu, Yah. Semua masih tampak sama. Pemandangannya masih indah. Pantainya masih sepi. Hanya deburan ombak yang memecah kesunyian. Membuat suasana semakin syahdu. Pisau komando itu masih tertancap di bebatuan itu dengan gagah perkasa, tetapi sayang pohon kelapanya sudah tidak ada. Entah sejak kapan pohon kelapa itu menghilang. Aku ke sini untuk mengenang perjalanan kita, Yah. Aku rindu.

Setelah puas menikmati pemandangan laut yang indah serta bercerita apa saja dengan ibu dan Mas Santoso kami memutuskan pulang menggunakan kapal dengan jadwal penyeberangan pukul satu siang. Hanya sebentar saja di sini. Mumpung di Cilacap. Melepas rindu pada tempat-tempat yang unforgettable.

#Kamis, 31 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang