"SOS versi Ara itu bukan selamatkan dirinya, tapi selamatkan diri gue sendiri. Alias, gue sedang dalam bahaya."
-Rigel kang minta uang jajan-
***
Rigel menguap beberapa kali, entah mau berapa kali guru di podium sana mengulang kalimatnya. Hampir setiap upacara di hari senin ceramah ini terus yang di bahas. Rigel jamin, semua penghuni Lentera Bangsa bosen mendengarnya."Habis ini pasti bakal di suruh mengharumkan nama Lentera," ujar Deden malas. Pria itu berdiri di sisi kanan Rigel dengan posisi istirahat di tempat.
"Anak-anakku yang kucintai, yang sedang duduk di bangku kelas tiga, tentu akan selalu ada pertemuan dan perpisahan," ujar kepala sekolah.
"Gue sampe hapal anjir ini ceramahnya Pak Rudi," celetuk Rigel jengah. Pandangannya terus menatap ke depan.
"Pasti bakal masuk ke pembahasan ujian nasional," ujar Yangzheng malas. Mereka berbisik pelan.
"Berisik," ujar Lia.
"Sebentar lagi, kalian akan mengahadapi ujian nasional. Ini adalah penentu kelulusan untuk kalian. Sudah berulangkali saya katakan, tidak ada yang bisa kalian harapkan selain kerja keras kalian. Dari dulu, Lentera Bangsa memegang tegas kejujuran dalam ujian."
"Untuk itu anak-anakku, selain semangat dan doa yang akan mengiringi langkah kalian, alangkah baiknya kalian juga pergi dari sekolah ini dengan meninggalkan kebiasaan dan teladan yang baik untuk adik-adik kalian. "
"Di suruh jadi teladan mulu, berasa di suruh jadi nabi gue," ujar Rigel kesal. Yang mendengarnya tertawa kecil. Lia bahkan sudah mengulum bibirnya, tidak kuat dengan lelucon Rigel.
Jika Pak Rudi sudah berbicara, maka tidak ada yang namanya amanat 15 menit, akan molor menjadi 45 menit, dan itu sangat membosankan.
"Jangan kecewakan kami sebagai guru kalian, dan orangtua kalian. Kami mau dengar bahwa angkatan ke 27, lulus seratus persen. Setuju?" pekik Pak Rudi. Dengan semangat anak-anak menyahuti setuju.
Rangkaian acara akhirnya selesai. Mereka berhamburan. Rigel sudah melepaskan topinya dan menjadikannya kipas. Dasinya sudah ia longgarkan, helaan napas kepanasan keluar dari bibirnya.
"Untung udah kelas tiga, kagak perlu naik-naik tangga," ujar Deden.
Rigel menatap ketua osis dengan microfon yang menggantung di lehernya, lalu ia teringat sesuatu.
"Den, pinjem microfonnya dong. Bawa ke kelas kita."
"Lah, buat apa?"
"Ceffat!" titah Rigel berjalan meninggalkan Deden di lapangan.
"Muncrat, Jingan!" maki Deden.
Karna waktu belajar kelas pertama sudah tersita banyak oleh ceramah Pak Rudi, maka tak lama bel istirahat berbunyi.
"Lu mau ngapain sih anjer?" kesal Deden.
"Udah ayo ikut gue," ujar Rigel berlari. Deden, Joko dan Yangzheng ikut menyusul, yang lain di buat kebingungan.
"Hukuman aja belum kelar, tuh anak mau buat keributan lagi?" celetuk Lia.
"Kayanya enggak deh, dia mau ngasih peringatan," ujar Risa.
"Peringatan apa?" tanya Ari.
"Kemarin kan gue tinggalin Gilly sama Rigel buat bersihin toilet yang masih ada tainya."
"Jadi kalian berdua sengaja milih closet sebelah karna tahu di situ gak ada tai?" tanya Gilly.
Risa tertawa kecil, "Ide Joko sumpah, Ly. Gue mah udah nyuruh buat tunggu Rigel, dia kekeh buat ngerjain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Rigel [Bukan langit Bebas]
Teen Fiction*** Konon katanya, ia di beri nama Sky Rigel karna berhasil memberi kebebasan untuk Daddynya yang trauma untuk kembali memiliki anak. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Ia sendiri terikat, terpenjara dan belum menemukan pembebasan dari hal yang me...