"Gak bisa jadi dokter, ya semoga
bisa jadi suami dokter."
-Anak SMA yang udah mikirin nikah.-***
Setelah sarapan bubur di Gambir, kini Rigel sedang menanti Gilly yang berganti pakaian. Bolos kali ini memang sangat terencana. Gilly keluar dengan kaos putih polos dengan tulisan I Love Jakarta dan celana training hitam list putih, sedangkan Rigel sudah mengenakan kaos bergambar Monas tanpa tulisan bewarna hitam. Rigel sudah memesan grab karna malas untuk jalan kaki ke Perpusnas. Monas ini sangat luas, dan Rigel cukup kekenyangan untuk berjalan kaki.
"Udah dateng belum?" Tanya Gilly menyandang tasnya.
"Udah," ujar Rigel berjongkok. Tali sepatunya lepas, "Eh, rambut lu benerin dulu, Ly. Udah kaya cewek habis di perkosa aja lu!" ujar Rigel fokus mengikat tali sepatunya.
Bugh
"WOI!" pekik Rigel yang sudah terjungkal akibat tendangan Gilly.
"Jaga omongan lu ya!" kesal Gilly segara naik ke dalam mobil sedan yang ia yakini sebagai grab yang Rigel pesan.
Rigel mengeram tak tertahan, untung saja sepi. Ia segera berdiri lalu membersihkan celananya yang kotor. Tangannya bahkan lecet akibat Gilly. Sialan emang wanita itu.
Rigel mengambil ponselnya yang berdering, supir driver menghubunginya dan mengatakan bahwa ia ingin di cancel. Lalu Rigel memperhatikan Gilly yang sudah masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam, segera pria itu berlari, "WOY GILLY!" pekik Rigel.
Gilly kembali keluar, membuat Rigel menempelkan wajahnya di depan kaca mobil, "PAK MAAF!" pekiknya.
"Kenapa?" tanya Gilly panik.
"Lu lagi naik mobil siapa anjer! Itu bukan grab yang gue order."
"Ha? Serius?"
"Ha ha aja lu! Lu pikir gue siput yang harus di ha ha in? Makanya jangan sok tau, udah ayok!" kesal Rigel menarik tangan Gilly.
"Ya lagian lu bilang udah dateng, gue pikir itu," ujar Gilly membela diri.
"Ya emang gue udah spill nama mobilnya?" Gilly mengaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu mereka masuk ke dalam gerbang perkarangan Monas.
"Jadi jalan kaki nih ceritanya?" tanya Gilly.
"Drivernya minta cancel. Kita naik sepeda aja," ucap Rigel.
"Emang boleh di bawa ke perpustakaan?" tanya Gilly.
"Gue gak tau. Udah kita coba bawa dulu, kalo ada petugas yang nyetop, ya pura-pura bego aja."
Gilly tertawa lagi, "Bayar ya Gel? Sini gue aja yang bayar," ujar Gilly menyusul Rigel yang sedang memilih sepeda.
"Kagak. Gratis. Yang penting kita punya aplikasi gowes, terus scan barcode di sepeda, nih kaya gini," ujar Rigel mempraktekkannya.
"Emangnya negara gak takut sepeda di bawa kabur?"
"Gak heran kenapa lu selalu berada di belakang gue," ujar Rigel.
"Terus aja terus!" kesal Gilly.
Rigel menatapnya, "Negara tuh gak bodoh-bodoh amat lah, Ly. Ada fitur IoT di dalam sepeda ini. Tau IoT gak? Internet of Things. Dia bisa lacak keberadaan nih sepeda. Teknologi udah canggih elah, makanya kita sebagai manusia jangan mau kalah sama teknologi, lama-lama tenaga manusia di ganti sama teknologi, makanya kita harus sama-sama maju," ujar Rigel.
"Terus ini cuma bisa satu kali scan?" tanya Gilly.
"Lah elu udah download belum?" tanya Rigel.
"Belum, gue nunggu lu nyuruh," ujar Gilly dengan wajah polosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sky Rigel [Bukan langit Bebas]
Teen Fiction*** Konon katanya, ia di beri nama Sky Rigel karna berhasil memberi kebebasan untuk Daddynya yang trauma untuk kembali memiliki anak. Tapi, yang terjadi malah sebaliknya. Ia sendiri terikat, terpenjara dan belum menemukan pembebasan dari hal yang me...