Happy reading and be happy
Mendapat kabar bahwa Rica kembali dilarikan ke rumah sakit, membuat Anin dilanda kecemasan. Fadli berusaha menenangkan, tetapi wanita paruh baya itu kian terisak.
"Kita harus segera ke sana!" Anin beranjak keluar kamar, bertepatan dengan Ferdinan yang berdiri di pintu.
"Kamu mau ke mana?" tanya Ferdinan sambil memandang penuh wajah sang istri yang berurai air mata.
Anin memegang tangan Ferdinan, menatap penuh harap untuk permintaan yang akan diajukannya. Di belakangnya ada Fadli yang hanya bisa diam, tanpa melakukan apa pun.
"Aku mohon sama kamu, Mas. Izinkanlah aku bertemu Rica, saat ini dia sedang dirawat di rumah sakit," lirih Anin sendu.
Ferdinan menegang. Ada perasaan khawatir yang tiba-tiba menyapa hati. Sudah lama sekali, dia tak mendengar kabar apa pun dari putrinya itu. Memilih membenci dan melupakan Rica, ternyata tidak semudah dibayangkan. Sebegitu bencinya terhadap Rica, tidak bisa mematahkan takdir bahwa gadis itu adalah putri kecilnya yang saat ini sedang mengandung. Tanpa Anin dan Fadli tahu, selalu ada nama Rica yang tersemat dalam doa pria berkacamata itu.
"Mas!" bentak Anin yang sudah tak tahan dengan sikap Ferdinan.
"Baiklah." Satu kalimat yang meluncur dari bibir Ferdinan, membuat ibu dan anak itu saling berpandangan. Namun, tidak punya waktu untuk bertanya lagi. Selain segera menuju rumah sakit untuk bertemu dan melihat keadaan Rica.
*****
Disuapi Rosa, Rica menikmati bubur ayam tanpa selera. Pandangannya kosong, memikirkan masalah rumah tangganya yang sudah tak terarah. Hingga menjelang malam, sosok Abi belum juga menunjukkan batang hidungnya. Hanya ada Dani, Rosa serta Rio yang berjaga bergantian.
"Sebentar lagi Abi bakalan datang, kok," ujar Roda kesekian kalinya.
Rica tak menjawab, hanya melempar senyum tipis sambil mengusap perut buncitnya.
Suara pintu dibuka menarik perhatian kedua wanita beda generasi itu. Rica terkejut melihat kedatangan Anin, tetapi lebih terkejut lagi saat ada sosok yang paling dirindukan berada di tempat ini.
"Kenapa bisa seperti ini, Sayang?" Anin mengambil tempat di samping brankar, setelah Rosa berpindah.
Rica memeluk Anin dari samping. Dia tak menjawab, karena terlalu bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Dia butuh ketenangan saat ini dan memeluk Anin saat ini merupakan pilihan terbaik. Bukan dalam artian dia tidak membutuhkan Rosa, hanya saja untuk saat ini dia lebih membutuhkan pelukan ibu kandungnya.
"Rica, mama keluar dulu, ya."
Rica dan Anin mengangguk kecil, saat mertuanya berpamitan keluar. Tinggal ketiganya yang masih dibalut keheningan.
"Gimana keadaan kamu sama calon cucu mama? Baik-baik saja kan?" tanya Anin lembut.
"Baik-baik saja, Ma," sahut Rica pelan.
Anin mengangguk, melirik Ferdinan yang masih berdiri di dekat pintu. Suaminya itu memasang wajah datar dengan memaku pandang, pada kedua wanita yang paling berarti dalam hidupnya.
"Mas, katanya mau ketemu Rica. Kok, malah diam," celetuk Anin, membuat Ferdinan menghela napas gusar.
Anin melepas pelukannya, lalu menghampiri Ferdinan. Sudah saatnya, dia menyatukan kembali suami dan putrinya itu.
"Bicara sama Rica, Mas. Dia sedang sakit dan butuh kita saat ini," ucap Anin lalu keluar dari ruangan itu.
Rica menatap kepergian Anin dalam diam. Hari kecilnya ingin berteriak agar ibunya itu tak meninggalkan dirinya bersama Ferdinan sendirian. Dia belum berani berbicara dengan ayahnya, apalagi mengingat fakta Ferdinan begitu membencinya.
Langkah Ferdinan mendekati brankar. Rica menunduk dengan kedua tangan bertaut. Dia sudah siap mendapat amarah atau cacian dari ayahnya lagi. Namun, dalam hitungan detik, ayahnya belum bersuara sedikit pun. Saat ingin mendongak, sebuah pelukan hangat mendarat di tubuh mungilnya.
Rica terkesiap, air matanya menetes deras. Tanpa ragu, wanita itu membalas pelukan sang ayah yang begitu dirindukannya.
"Papa, maafkan aku," lirih Rica.
Ferdinan mengangguk, menyalurkan kerinduan yang sudah lama sekali dirasakan. Putri kecilnya telah beranjak dewasa dan sebentar lagi, akan segera memberikan cucu untuknya.
"Papa yang minta maaf untuk semuanya. Tidak seharusnya, papa bersikap seperti itu sama kamu. Papa memang kecewa, tetapi rasa sayang papa ke kamu tidak akan luntur sedikit pun. Kamu tetap putri kecil papa meskipun saat ini, kamu sudah menikah dan akan segera memiliki anak."
Rica terharu mendengar ucapan Ferdinan. Akhirnya, keadaan bisa kembali seperti semula di mana dirinya telah diterima lagi oleh ayahnya.
"Makasih, Pa. Aku sayang, Papa."
Ferdinan mengangguk, segera mengusap sudut matanya yang basah. "Kamu mau berjanji satu hal sama papa."
Rica mengurai pelukan, dan mengangguk kecil. Manik calon ibu itu menatap tanya pada sang ayah.
"Kalau suatu saat kamu terluka karena Abi, berjanjilah untuk kembali ke papa. Bukan maksud papa mendoakan hubungan rumah tangga kamu hancur atau apa pun itu. Papa hanya ingin melindungi kamu dan calon cucu kami. Jadi, kamu paham kan?"
Yang dilakukan Rica hanya menangis, dan kembali berhambur dalam pelukan Ferdinan. Entah kenapa ucapan ayahnya, terasa seperti ultimatum tegas yang kapan saja bisa terjadi. Abi sudah menyakiti hatinya, tetapi Rica masih berusaha bertahan dengan semua. Dia masih ingin berjuang dan menemukan titik terang dari permasalahan yang baru melandanya saat ini.
*****
Abi tiba di apartemen dan menemukan unitnya itu dalam keadaan gelap. Menyalakan lampu dan beberapa kali memanggil Rica, tetapi wanita itu tak kunjung muncul.
Memasuki kamar, Rica juga tak ditemukan. Dia memerhatikan sekeliling yang tampak berantakan, membuatnya merasa panik dan cemas.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Panggilan masuk dari Siska untuk kesekian kalinya.
"Kak Abi di mana, sih?" Suara Siska terdengar dari seberang.
"Di apartemen. Emangnya kenapa?"
"Istri kamu masuk rumah sakit!"
Tubuh Abi menegang, bertepatan dengan panggilan yang dimatikan Siska begitu saja. Pria itu mengerjab, lalu segera keluar dari apartemen dengan tergesa. Namun, langkahnya kembali terhenti saat ponselnya berdering lagi. Kali ini panggilan masuk dari Felly.
"Halo," ucap Abi sambil menaiki mobilnya.
"Kamu ke rumah sekarang! Aku takut, Abi."
Suara Felly yang terisak dan terdengar ketakutan, membuat Abi mengusap wajahnya kasar.
"Kamu kenapa? Coba bilang sama aku."
"Papa Dan Mama belum pulang. Aku sendirian dan aku aaaaaa!"
"Felly!" teriak Abi, tetapi sayang panggilan telah terputus begitu saja.
Abi mengemudikan mobilnya ugal-ugalan. Tujuannya saat ini ke rumah Felly karena gadisnya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Dia lebih memilih Felly karena tahu gadis itu masih sendirian di rumah sedangkan istrinya pasti ditemani orang tuanya.
Ketika tiba di rumah Felly, bertepatan dengan Yanti yang turun dari mobil. Dokter muda itu mengamati wajah Abi yang diselimuti kecemasan.
"Kamu kenapa?" tanya Yanti.
"Felly dalam keadaan tidak baik-baik saja."
Keduanya segera masuk, menemukan Felly yang sedang menonton sambil menikmati camilan.
"Felly!"
Satu kata buat Felly, yuk!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Tamat
ChickLitSYORY 6 Tentang dia yang harus berjuang setelah dijebak dalam sebuah insiden oleh seseorang. Kehidupannya jauh berubah dan dibenci semua orang termasuk keluarganya hingga sang kekasih yang berakibat pada putusnya hubungan keduanya. Dia harus berhent...