||13|| Hopeless

8.5K 516 6
                                    

Happy reading and be happy
📍
Semoga Suka

Rica merasa bosan sendirian di apartemen, setelah melakukan bersih-bersih dan juga memasak. Jam masih menunjukkan pukul 12.33 dan Abi belum pulang karena jadwalnya sampai sore.

Mengusir rasa bosan, Rica membuka TV, mencari Channel memasak untuk melihat resep-resep baru yang dibagikan para chef seperti biasanya. Kebetulan salah satu channel sedang menyiarkan acara memasak. Tiba-tiba Rica menginginkan udang asam manis seperti yang dibuat oleh Chef tersebut.

Tangannya mengambil ponsel, guna mengirimkan pesan untuk sang calon ayah.

[Aku mau makan udang asam manis, Kak. Masalahnya persediaan udang habis di kulkas, boleh aku ke pasar?]

Rica menggigit bibirnya, menunggu balasan dari Abi yang telah membaca pesannya. Terlihat pria itu sedang mengetik.

[Tunggu aku pulang! Kita belanja bareng!]

Wanita hamil itu menghela napas. Dia tak bermaksud meminta Abi menemaninya melainkan meminta izin. Namun, pria itu malah menawarkan diri dan berniat mengantarnya pergi ke supermarket.

Rica memutuskan mematikan TV dan mulai bersiap. Calon ibu itu memakai kaus putih serta legging katun yang longgar agar tidak melukai anak di perutnya. Tak lama setelahnya, suara pintu kamar dibuka membuat Rica segera keluar dari kamar mandi. Sudah ada Abi yang membuka jaket, menyisahkan kaus hitam membalut tubuh atletisnya.

"Enggak kuliah? Padahal aku tadi ...."

"Aku udah selesai kuliah. Habis ini mau ke bengkel ada urusan. Mau ikut enggak?"

"Kan kita mau beli udang dulu." Rica duduk di tepi ranjang, memerhatikan Abi yang mengeluarkan kaus serta celana dari lemari. Pria itu memutuskan untuk mandi karena tubuhnya terasa lengket.

"Setelah itu, Sayang."

"Kamu mau mandi, Kak?"

Abi mengangguk, meletakkan handuk di lehernya.

"Ini udah siang, Kak. Enggak baik buat kesehatan."

"Aku udah biasa. Tungguin, ya." Setelahnya, Abi segera masuk untuk mandi. Rica yang melihat itu hanya menghela napas lalu memutuskan untuk menunggu Abi di ruang tengah.

*****
Fadli memandang Yanti yang terlihat tak bersemangat. Sejak tadi, kekasihnya hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa mau menyentuhnya. Pria itu terlalu peka mengamati perubahan terhadap sikap kekasihnya itu. Yanti lebih banyak diam dan melamun sehingga kadang terlihat kurang fokus.

"Kamu mikirin apa, sih, Sayang?" tanya Fadli.

Seperti biasa, Yanti hanya menggeleng sambil tersenyum. Dokter muda itu tersentak saat Fadli menggenggam tangannya.

"Jangan bohong, Sayang. Apa yang sedang kamu pikirkan?"

"Aku memikirkan adikku, Sayang."

"Si Fely? Gimana sekarang? Apa ada kemajuan?"

"Dia memang sudah mengalami kemajuan," jawab Yanti. "Namun, Fely akan kembali drop jika mengetahui tentang Abi," lanjut Yanti dalam hati.

"Terus kapan balik? Aku enggak sabar mau ketemu sama adik ipar." Fadli tersenyum senang dibalas senyuman tipis Yanti.

Berat bagi Yanti untuk menerima hal ini, apalagi jika hal ini menyakiti hati adiknya. Betapa tak inginnya Yanti jika melihat Fely terluka karena dia begitu menyayangi adiknya itu.

"Aku belum tahu kalau soal itu. Namun, Fely udah enggak sabar mau balik ke Indonesia, Sayang."

"Aku do'akan, ya, semoga Fely segera kembali ke Indonesia buat kumpul lagi sama kamu," ungkap Fadli tulus.

"Aku juga berharap demikian," balas Yanti.

*****

Rica duduk di samping Abi yang sedang menghitung hasil pemasukkan bengkel bulan ini. Di depan keduanya sudah ada meja serta beberapa makanan ringan hasil belanja Abi untuk Rica agar istrinya tidak merasa bosan.

"Gimana pembicaraan sama Mama kamu?" tanya Abi. Sejujurnya sejak kedatangan sang mertua dan iparnya, Abi penasaran terhadap pembicaraan ibu dan anak itu. Namun, dia selalu lupa menanyakan sehingga saat ini Abi mengajukan rasa penasarannya tersebut.

"Mama minta aku dan calon anak kita selalu sehat-sehat."

"Mereka udah enggak marah sama kamu?"

"Aku enggak tahu soal itu. Namun, dari awal aku yakin Mama enggak marah karena hal itu. Di sini hanya Papa yang kecewa banget dan membuat Mama sama Abang ikut kecewa sama aku," jelas Rica sambil bersandar di pundak Abi.

Setelah hubungannya membaik dengan Abi, Rica sering bersikap manja pada suaminya itu. Bahkan kontak fisik hingga olahraga malam sering keduanya lakukan. Wanita itu sudah terbiasa dengan keinginan Abi yang biasanya tidak akan puas jika hanya sekali. Permintaan Abi akan berulang-ulang hingga Rica kelelahan, tetapi wanita itu tak pernah mengeluh. Kewajibannya pada sang suami, membuatnya tahu hormat dan tunduk kepada Abi.

"Kapan-kapan kita ketemu Papa kamu, ya, Sayang. Biar aku yang minta maaf sama Papa kamu."

Rica menggeleng. "Enggak usah, Kak. Semua ini salah aku dan harusnya aku enggak ngelibatin Kak Abi."

Abi terdiam. Dalam batin, dia merutuki perbuatannya. Namun, dia mencintai Rica dan sudah sepantasnya dia melakukan hal itu. Apalagi seperti kata orang jika cinta butuh perjuangan. Tugasnya hanya tinggal menutup rapat rahasia itu sehingga Rica dan yang lainnya tidak tahu tentang perbuatannya.

"Aku yakin suatu saat sikap Papa akan berubah nantinya meskipun aku tak tahu itu kapan. Jangan dipikirkan, Kak, Papa akan menerima keluarga kecil kita," ujar Rica tersenyum.

Tidak ada alasan bagi Abi untuk tersenyum. Pria itu meletakkan laptop di meja, lalu memeluk Rica dari samping. Beberapa kali juga mengecup seluruh wajah sang istri membuat Rica merasa geli.

"Main, yuk!" ucap Abi tiba-tiba.

Rica bukan lagi gadis polos yang tidak tahu dan paham maksud kata main yang dimaksudkan Abi. Wanita itu mengamati ruang kerja Abi lalu meringis kecil.

"Enggak mungkin di tempat ini, Kak," tolak Rica halus.

"Why? Kita perlu coba suasana yang baru."

"Enggak nyaman. Aku lagi dan hamil dan lebih nyaman jika kita melakukannya di kasur," jawab Rica sambil menutup wajahnya karena malu. Sungguh, membahas hal itu selalu membuat Rica merasa malu meskipun keduanya sering melakukan hal itu.

Abi mengulum senyum. "Di sini ada kamar khusus buat aku, Sayang." Abi menggendong Rica dengan bridal style, membawa sang istri ke sebuah ruangan yang ditutupi pintu cokelat.

Wanita dalam gendongannya terkejut saat menyadari kamar Abi di tempatnya bekerja cukup luas lengkap dengan kamar mandi serta toilet di bagian dalam.

"Kamu yakin melakukannya di sini?" Rica menahan tangan Abi yang hendak membuka kausnya. Pria itu sudah di atasnya, dengan wajah yang telah diselimuti kabut gairah.

"Iya, Sayang. Kenapa, sih?" tanya Abi bingung.

"Aku takut ada yang lihat. Kenapa enggak di rumah aja, sih?"

Abi menghela napas gusar. Dia sudah tersiksa saat ini dan kenapa Rica harus memberondong dirinya dengan berbagai pertanyaan. Tidak tahukah jika dirinya sudah merasakan sesak saat ini?

"Sayang, aku udah enggak tahan, loh."

Rica meringis pelan. Matanya melirik bukti gairah Abi yang membuatnya segera memalingkan wajah. Abi tertawa pelan, lalu mulai menjalankan kegiatan keduanya yang menghasilkan keringat.

Hopeless TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang