||23|| Hopeless

8.3K 506 33
                                    

Happy reading and be happy
🤭


Rica memandang tubuh tegap pria yang sedang meringkuk di sofa. Terlihat gurat lelah begitu terpancar dari wajah mantan kekasihnya itu. Seharian ini, Rio memang sering mengunjunginya---kebetulan rumah sakit yang menjadi tempatnya dirawat merupakan tempat koas pria itu.

Rio memaksa agar dirinya yang menjaga Rica malam ini. Awalnya, wanita hamil itu menolak, tetapi Rio memaksa. Dani dan Rosa harus beristirahat di rumah. Lalu Ferdinan dan Rosa telah memutuskan untuk pulang terlebih dahulu.

Rica menghela napas gusar, suaminya bahkan belum sama sekali muncul. Wanita itu tidak tahu harus melakukan apa, ingin menghubungi ponselnya sempat dititipkan pada Rosa siang tadi.

Tangannya terulur, hendak mengambil gelas yang berada di nakas. Sayangnya, Rica malah tak sengaja menyenggol gelas itu hingga jatuh pecah. Tentu saja, membangunkan Rio yang terlelap.

"Kamu kenapa?" tanya Rio panik.

Rica menggeleng. Dia merasa lemah dan tak berdaya sama sekali.

"Kalau kamu butuh bantuan, panggil saja aku." Rio menunduk, memungut pecahan gelas dan membuangnya ke tempat sampah. Hal itu tidak lepas dari pandangan Rica yang merasa sikap mantan kekasihnya itu masih seperti dulu. Memperlakukan dirinya lembut sebelum semuanya berubah.

"Kamu haus?"

Melihat anggukan Rica, pria itu membukakan botol air mineral dan memberikan kepada wanita itu.

"Setelah ini kamu tidur, ya." Rio meletakkan kembali botol air itu ke atas nakas. Merapikan dengan hati-hati selimut yang membungkus tubuh, wanita yang masih dicintainya.

"Em ... makasih, Kak."

Rio tersenyum tipis. "Apa pun itu untuk kamu, Rica."

Rica hendak menyanggah, tetapi Rio segera menggeleng kecil.

"Tidur dan beristirahat, ya!"

Meksipun terpaksa, Rica berusaha memejamkan mata. Sebuah elusan lembut mendarat di rambut hitamnya, membuat kantuknya pun perlahan hadir menjemput.

"Have nice dream, Rica," gumam Rio, sambil mengusap sudut matanya yang basah.

*****
Abi mengemudikan mobilnya, menuju rumah sakit. Di tengah malam yang kian larut, pria beristri itu baru memutuskan untuk pulang dari rumah Felly. Butuh perjuangan yang ekstra agar gadisnya itu mau membiarkan dirinya pergi.

Sebenarnya, Abi bisa saja langsung pergi saat itu. Apalagi saat tahu kalau ketakutan Felly hanya karena seekor cicak yang jatuh ke rambutnya. Namun, Felly dan Yanti terus memaksa agar dirinya menemani dua wanita itu.

Mobil Abi tiba di pelataran rumah sakit. Menemui resepsionis dan menanyakan kamar sang istri, yang ternyata berada di lantai tiga, ruang VIP.

Membuka pintu, pemandangan Rica yang sedang tertidur membuat Abi tersenyum tipis. Wajah pucat istrinya bisa terlihat walau dia masih berada di pintu. Namun, keberadaan sosok tak asing di sofa, membuat tangan Abi terkepal. Dia masuk dan menutup pintu dengan pelan agar tak membangunkan kedua orang itu.

Ingin sekali Abi membangunkan dan menyeret Rio, agar segera keluar dari ruangan ini. Namun, dia tidak ingin melakukan keributan di tempat seperti ini. Jadi, sebuah ide yang melintas di otak, membuatnya tersenyum puas.

Pria itu mendekati brankar Rica, dan memutuskan untuk tidur di samping istrinya. Syukurlah, tempat tidur Rica cukup luas sehingga tubuhnya masih muat. Perlahan, Abi memindahkan kepala Rica pada lengan kanannya, dan menarik selimut agar menutupi tubuh keduanya. Dia yakin besok saat Rio bangun dan melihat posisi keduanya, pasti pria itu akan diselimuti cemburu.

Abi mengecup kening dan bibir Rica lalu ikut memejamkan mata. Dia jujur jika hampir seharian ini begitu merindukan dan mencemaskan istrinya, tetapi semuanya akan kalah dengan keberadaan Felly, cinta masa lalunya.

*****

Hal pertama yang dilihatnya saat bangun adalah keberadaan sosok suami yang seharian kemarin menghilang. Rica melirik ke sofa dan tidak ditemukan keberadaan Rio. Mungkin, pria itu telah memutuskan untuk pergi.

"Kak, bangun!" Rica menepuk pipi Abi berulang kali. Dia ingin ke kamar kecil, tetapi pelukan suaminya begitu erat melilit pinggangnya.

Abi menggeliat, mengusap kedua matanya.

"Udah pagi, ya?" tanya Abi.

"Iya, Kak. Aku mau ke toilet dulu."

Abi mengangguk, membantu Rica untuk ke toilet. Setelahnya, pria itu membuka ponselnya---menemukan puluhan pesan dan panggilan dari gadisnya.

Suara pintu dibuka, membuat Abi segera menyimpan kembali benda dengan logo apel digigit itu ke saku. Pria itu mengamati wajah istrinya yang masih pucat, sehingga rasa bersalah kembali hadir menyapa. Menelantarkan Rica demi gadis lain.

"Semalam datang jam berapa?" tanya Rica pelan. Dia ingin mengajak Abi bicara tentang kesibukan pria itu kemarin.

"Udah tengah malam banget. Aku datang disuguhkan pemandangan kamu Kak Rio."

Abi menjawab dengan ketus. Wajah pria itu terlihat tak suka, tetapi Rica tak mau ambil pusing.

"Sibuk banget, ya, sampai lupa kalau istrinya masuk rumah sakit."

Abi menggeleng, mengambil tempat di samping brankar Rica. Pria itu menggenggam tangan istrinya, lalu berujar, "aku ada urusan."

"Lalu si ...." Ucapan Rica terputus saat panggilan masuk dari ponsel Abi.

Abi segera melepas genggaman tangannya, dan mengambil ponsel. Pria itu melirik Rica sekilas, yang mendapat tatapan selidik dari wanita hamil itu.

"Kenapa enggak diangkat?"

"Aku angkat telepon dulu." Abi segera keluar, semakin membuat Rica curiga. Tidak biasanya, Abi mengangkat telepon menjauh seperti itu.

Di luar, Abi memijit pelipisnya. Rengekan Felly dari seberang, membuatnya pusing seketika. Gadis itu menagih janji untuk diajak keliling kota dan Abi sudah terlebih dahulu mengiakan.

Tak ingin memperpanjang masalah, Abi segera pergi tanpa berpamitan pada Rica, yang sedang menunggunya di dalam.

"Kok, lama, ya?" gumam Rica pelan, bertepatan dengan pintu yang kembali dibuka.

Dia kira yang membuka pintu adalah suaminya. Namun, sosok Fadli muncul sambil membawa makanan yang dibuatkan Anin.

"Kok, lihatnya gitu banget," ucap Fadli bingung.

"Enggak, kok."

"Tadi, kakak lihat Abi di depan. Dia kayaknya buru-buru gitu mau pergi."

"Kak Abi pergi?" tanya Rica.

Fadli mengangguk, meletakkan makanan ke atas nakas.

"Emangnya enggak pamitan sama kamu?"

Rica tak menjawab. Perubahan sikap suaminya itu, sungguh membuatnya bingung. Entah apa yang terjadi pada Abi sehingga bisa berubah dalam waktu sekejap.

"Kok melamun?"

"Kakak enggak kerja?" Rica mengalihkan pembicaraan, tidak ingin Fadli mengetahui lebih jauh masalah rumah tangganya.

"Kakak libur hari ini. Jadi, kakak putuskan buat temani kamu aja."

"Mbak Yanti?"

"Dia masih sibuk katanya. Nanti dia bakalan jengukin kamu, kok," sahut Fadli ringan.

Selanjutnya, kedua kakak adik itu saling bercerita tentang masa kecil keduanya. Rica banyak terhibur dengan kedatangan kakaknya itu. Setidaknya, dia bisa melupakan sejenak permasalahan rumah tangganya yang memusingkan. Rica berharap rumah tangganya akan tetap baik-baik saja, apalagi dia sudah mencintai pria itu.

Jangan kecewakan aku, Kak, batin Rica.

Yuk, komen banyak-banyak 🤣
Kalian tim siapa
Rica-Rio?
Or
Rica-Abi?
Aku bakalan buat ending yang enggak bakal ngecewain kalian.
Masih ada beberapa part menuju ending, ya

Hopeless TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang