Happy reading and be happy
📍Setelah menikmati makan malam paling terakhir, Rica menuju kamar dengan segelas susu di tangan. Sudah ada Abi yang sedang bermain ponsel sambil bersandar di kepala ranjang. Wanita itu mengambil bagian di sisi kanan dan meletakkan susu di nakas. Tubuhnya masih terasa lelah, mengingat sore tadi dia telah membereskan semua pakaiannya dan Abi ke dalam koper untuk pindahan besok siang.
Rica sendiri yang mengaturnya, tanpa dibantu Abi sama sekali. Calon ayah itu hanya sibuk bermain game dan tiduran di ranjang tanpa beban. Abi dan sikap pemalasnya ternyata masih masih mendominasi. Pantas saja saat masih berpacaran dengan Rio, dia sering mendengar kekasihnya mengeluhkan sikap anak kedua keluarga Alexander itu.
"Em ... Kak Abi," panggil Rica ragu.
Tidak ada jawaban, membuat Rica menghela napas berat. Sehina itukah dirinya, hingga saat dia ingin berbicara pun tak ada yang menanggapinya. Wanita itu mengambil susu dan meneguknya hingga tandas. Lalu menarik selimut dan berbaring membelakangi Abi. Dia bersyukur setidaknya Abi memberi izin untuk keduanya tidur bersama, mengingat pria itu tak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Beda lagi jika sang buah hati telah lahir, mungkin Rica akan diminta tidur di sofa atau berakhir tragis di atas lantai yang dingin.
"Kak Abi, apa Papa dan Mama tahu kita akan pindah?" tanya Rica lagi, berusaha mencari jawaban atas rasa penasarannya.
Hening. Rica merasa dirinya membuang waktu saja melempar pertanyaan dan selalu berakhir dengan kebungkaman. Dia memilih memejamkan mata, membawa rasa sakit di dalam lelapnya dan seperti biasa menganggap semuanya segera berakhir saat terbangun nanti.
Abi mengalihkan atensi dari ponsel ke punggung yang telah berbalut selimut cokelat tebal itu. Di tengah-tengah keduanya ada guling sebagai pembatas. Pria itu membuang napas kasar, memejamkan matanya sesaat. Melirik sekilas kembali ke arah istrinya dan juga segelas susu kosong di nakas.
Dia beranjak, menuju ke atas sofa di mana terdapat tas milik Rica. Dengan berani, dia membuka dan mengeluarkan dompet milik wanita itu. Tidak ada yang ditemukan, kecuali selembar uang dua puluh, kartu pelajar dan tanda pengenal. Ada juga foto pas Rica yang memakai seragam sekolah. Abi kembali menyimpannya, beralih pada hasil belanjaan Rica. Ada dua susu ibu hamil dengan rasa vanila dengan harga yang lumayan mahal. Wanita itu juga membeli beberapa makanan ringan serta kebutuhan wanita itu lainnya.
Pria itu menatap Rica yang telah tertidur pulas dengan napas teratur. Dia mengambil ponsel mengirimkan sesuatu kepada Tian sahabatnya itu dengan rahang mengeras.
[Gue takut dan Lo paham apa maksud gue ini.]
*****
Rio keluar kamar untuk makan siang. Tidak ada jadwal kuliah hari ini sehingga dia punya waktu banyak di rumah, meskipun tidak merasa betah sama sekali dan alasannya karena Rica. Pria yang sebentar lagi akan meraih gelar dokter itu, menghentikan langkah. Matanya menajam melihat di ruang tengah sudah ada beberapa koper dan juga keberadaan Bi Retno. Lalu muncul Abi diikuti Rica di belakangnya.
"Ada apa, Kak?"
Rio menoleh menemukan Siska yang juga baru keluar dari kamar. Pria itu tak menjawab dan segera turun dari tangga, diikuti Siska yang terkejut melihat apa yang terjadi.
"Mau ke mana kalian?" tegur Rio datar.
Abi melirik kakaknya. "Pindahan."
Rio menatap Rica yang berdiri di samping Retno. Wanita itu menunduk dengan tangan saling bertaut.
"Apa Papa dan Mama tahu kalian akan pindahan?"
"Gue bakal bilang setelah Papa dan Mama kembali!" bentak Abi kesal.
Suasana di ruangan itu berubah menegangkan, apalagi melihat jika Abi sudah menaikkan suaranya.
"Lo enggak bisa pindah tanpa persetujuan Papa dan Mama!"
"Siapa bilang? Gue bisa pindah dan Lo enggak boleh ikut campur!" Abi menunjuk Rio dengan jarinya. Tidak terbesit rasa takut kepada kakaknya itu.
Rio tersenyum miring. "Lo lupa jika gue anak sulung di rumah ini? Lupa kalau Papa pernah bilang semuanya bakalan jadi tanggung jawab gue, semisal Papa dan Mama sedang keluar."
Abi mengepalkan tangan tidak terima dengan ucapan Rio, meksipun ucapan itu memang benar adanya.
"Lo udah merasa hebat, ya, sampai mau bawa Rica keluar dari rumah ini. Emang udah punya apa, Lo?"
Bugh!
Abi sudah tidak bisa menahan emosi. Sebuah pukulan mendarat tepat di pipi kanan calon dokter itu. Ucapan Rio seolah menyudutkannya dan dia tak bisa menerimanya. Siska berteriak histeris, segera memanggil Pak Tono untuk memisahkan putra keluarga Alexander itu. Rica menangis, memeluk Retno yang juga sama paniknya.
Pak Tono berhasil memisahkan kedua kakak beradik itu. Abi segera pergi begitu saja dengan wajah memarnya. Begitu juga dengan Rio yang langsung ke kamar.
"Semua gara-gara kamu!" Siksa menampar Rica dengan amarah menggebu. Syukurlah, Bi Retno bisa menahan tubuh rapuh itu sebelum terjatuh.
"Seandainya kamu tidak pernah hadir, semua tak akan pernah terjadi! Seandainya kamu tidak pernah menjadi kekasih Kak Rio, Kak Abi tidak akan seperti itu!" Siska menuju kamarnya, meninggalkan Rica yang bergeming dengan rasa perih di pipi. Namun, ucapan Siska membuatnya dipenuhi tanya tentang maksud adik iparnya itu.
"Non, enggak apa-apa?"
Rica menggeleng, beralih ke kamarnya dengan bantuan Bi Retno. Wanita itu kembali menangis dengan hati yang kian dipenuhi luka. Rica sadar jika hubungan Rio dan Abi tak sedekat kakak adik pada umumnya. Saat keduanya masih berstatus kekasih, Rica sering dibawa ke rumah ini. Dia bisa melihat sendiri, hubungan Rio dan Abi terlihat renggang dan dia tak tahu itu sejak kapan. Ucapan Siska tadi seolah menyiratkan jika keberadaan dirinya yang menjadi penyebabnya. Namun, apa salahnya? Apa yang diperbuatnya?
Wanita itu memeluk lututnya. Semuanya semakin membuat kepalanya kian dipenuhi rasa penasaran. Selain itu luka batinnya pun kian menganga, entah kapan bisa sembuhnya. Rica merindukan pelukan sang mama, hanya wanita itu yang bisa membuatnya nyaman. Namun, kenyataan menamparnya jika dia bukanlah lagi milik keluarganya. Rica sudah diusir dan tak dianggap. Dia hanya memiliki calon buah hati serta orang tua Abi yang masih menganggapnya.
*****
Rio menatap wajahnya di cermin. Bekas luka lebam hasil perbuatan Abi membekas indah di wajah. Hingga saat ini dia tak paham apa yang membuat Abi berubah kepadanya. Dulu keduanya sangat dekat bahkan walaupun telah beranjak remaja, masih sering tidur bersama. Namun, sikap Abi perlahan berubah dan entah sejak kapan, Rio sendiri tak paham.
Adiknya itu terkesan menjauhinya. Hanya akan bersikap baik-baik saja di meja makan, dan itu pun jika ada kedua orang tuanya. Rio sering mengajak Abi untuk bicara, tetapi pria itu selalu menolak. Namun, keduanya tidak pernah bertengkar atau beradu jotos seperti tadi dan kejadian tadi menjadi pertama kalinya. Rio ingin menyimpulkan sesuatu, tetapi dia masih tidak yakin jika itu adalah sebuah kenyataan.
Bubuhkan tanda bintang, yak. Kalau komen juga enggak apa-apa. Udah enggak mau pksa kaleannn🙄
KAMU SEDANG MEMBACA
Hopeless Tamat
Chick-LitSYORY 6 Tentang dia yang harus berjuang setelah dijebak dalam sebuah insiden oleh seseorang. Kehidupannya jauh berubah dan dibenci semua orang termasuk keluarganya hingga sang kekasih yang berakibat pada putusnya hubungan keduanya. Dia harus berhent...