11. Antisipasi

15 6 7
                                    

"Jika diberi pilihan antara masa depan atau masalalu, maka aku akan memilih masalalu karena di sanalah kehidupanku yang sebenarnya." --- Sthira Falling in Love.

______

Seperti hari-hari biasa, tetapi terasa kosong padahal seharusnya bahagia karena Raga tidak datang  pagi ini. Semenjak pindah rumah Sthira mulai merasa berbeda, kata mbak Vita Sthira jadi banyak bicara, dan bahkan marah-marah.

Biasanya walaupun Sthira tersiksa atau pun sedang emosi, dia tidak menangis atau marah. Namun, ketika bertemu Raga, Sthira mulai banyak berekspresi walaupun marah, setidaknya Sthira menjadi manusia normal karena jika dia tidak meluapkan semua emosinya, pasti akan berdampak negatif.

"Ke mana pacar, Non?" tanya mbak Vita.

Sthira berdecak, ternyata mbak Vita masih mengira Sthira berpacaran dengan Raga. Sthira  menghela napas. "Dia bukan pacar aku, Mbak."

Mbak Vita duduk berhadapan dengan Sthira sembari menghidangkan lauk ke piring Sthira. "Masa, sih. Kemarin kenapa kalian bareng kalau bukan pacar?"

"Dia bukan siapa-siapa, Mbak dia itu pengganggu! aku gak suka!"

Mbak Vita mengembuskan napas. "Padahal dia itu cocok sama Non, ganteng, tinggi, anak kuliahan pasti pinter. Emang, Non Sthira gak naksir gitu?"

"Gak," ucap Sthira singkat.

Mbak Vita menatap Sthira tajam, menyelidiki sesuatu. Namun, orang yang dilihat diam saja sembari sibuk menyuap sarapannya, kali ini mbak Vita harus khawatir pasalnya Sthira tidak seperti wanita yang seharusnya. Apakah mbak Vita harus membawanya ke psikiater?

"Apa, Non butuh psikiater?" tanya mbak Vita terdengar prihatin.

Bagaimana mungkin ini terjadi pada anak majikannya, padahal dia itu cantik dan juga masih muda. "Semoga dia cepat diberi pacar agar seperti manusia normal." batin mbak Vita.

"Buat apa? Emang aku ini gila?" tanya Sthira sedikit tersinggung.

"Eh, Non bukan kesehatan tubuh aja yang perlu diperiksa, kesehatan mental juga penting!"

Sthira hanya bergeming sembari memikirkan perkataan mbak Vita, sejujurnya Sthira juga merindukan sifatnya yang dulu, berbeda dengan sekarang. Masa-masa SMA bermain sesuka hati, bercanda dengan teman-teman tidak memikirkan beban yang dipikul.

Namun, semenjak kejadian itu semua berubah. Bukan orang-orang yang berubah, tetapi keadaan yang membuat Sthira beralih, ketika Sthira masuk ke keluarga yang berbeda kasta, dalam semalam dan tanda tangan pengadopsian semua berganti dalam sekejap.

Seharusnya Sthira bahagia, semua keinginannya terpenuhi, hanya saja dia masih merasa kesepian. Dulu sejak bersama keluarga kandung, semua kebutuhannya tidak tercukupi bahkan Sthira harus berjualan keripik di sekolah untuk membantu ibu, tetapi Sthira bahagia walaupun seperti itu, ia bisa berkumpul dengan keluarga dan tidak ada kekerasan yang menimpa Sthira.

"Mbak, aku mau pergi dulu," ucap Sthira setelah menghabiskan sarapannya.

"Ke mana? Katanya libur."

"Hm, aku pergi sekalian cari kesibukan."

"Ya, udah kalau gitu, mbak juga mau berangkat ngasuh."

"Kalau gitu bareng aja sama aku naik motor Mbak."

"Wah, beneran? Gak ngerapotin, emang?"

"Gak apa-apa Mbak, aku gak buru-buru, kok."

"Oke, kalau begitu mbak ikut kamu."

***

Setelah beberapa menit mengantarkan mbak Vita, Sthira segera pergi. Namun, entah ke mana? Hari libur seperti ini seharusnya Sthira istirahat atau holiday mengistirahatkan pikiran setelah hampir satu bulan sibuk dengan perlombaan.

Sthira tidak tertarik untuk bertamasya, rasanya tidak menyenangkan jika berlibur sendiri. Andai saja ada ibu, bapak dan abangnya pasti Sthira akan mengajak mereka pergi rekreasi ke pantai, tempat bersejarah, dan lainnya.

Hanya saja Allah lebih menyayangi mereka, tak perlu Sthira mengajak mereka berekreasi karena mereka sudah bahagia di dunia yang lain. Sthira berharap dapat bertemu dengan mereka walau dalam mimpi.

Sthira berhenti di sebuah toko buku, sudah lama Sthira tidak ke sana. Terakhir ke sana itu ketika masa SMA di mana semua pelajar sibuk karena akan menghadapi ujian nasional. Sthira masuk setidaknya dia akan membeli satu atau dua buku.

Sthira masuk ke jajaran buku pengetahuan dan melihat-lihat sekeliling, Sthira sangat suka bau buku-buku ini. Sthira berencana jika dia sudah bisa mendirikan rumah sendiri dia akan membuat perpustakaan di rumahnya dan juga dipenuhi dengan berbagai macam buku.

Sibuk memilih buku, netranya menangkap seseorang yang familier di matanya. Jarak antara Sthira dan laki-laki itu tidak terlalu jauh dan sepertinya dia belum menyadari Sthira menatapnya dari jauh.

"Kenapa Raga di sini? Bukannya dia harus kuliah," batin Sthira.

"Sthira!" teriakan itu membuyarkan lamunan Sthira.

Raga mendekati Sthira yang masih mematung. "Hey, lo di sini?"

"Hay, Sthira." Dion juga menghampiri Sthira.

Sthira hanya tersenyum tipis sebagai jawaban.

"Ayo, gabung aja sama kita. Lo sendiri 'kan?" tanya Dion.

"Iya," jawab Sthira singkat.

"Ya, udah kalau gitu ayok!" ajak Raga ramah.

Tiba-tiba ponsel Raga berbunyi, lalu dia mengangkatnya. "Eh, gue nelpon dulu bentar," bisik Raga.

Raga segera pergi, sedangkan Sthira dan Dion duduk di kursi tempat membaca. Di toko ini ternyata menyediakan tempat khusus membaca, rasanya bukan toko buku melainkan perpustakaan daerah, setahun yang lalu tidak ada tempat ini.

"Sthira," panggil Dion.

"Ya?"

"Lo beneran deket sama Raga?" tanya Dion selidik.

"Kenapa nanya gitu?" Sthira menanyakan balik.

"Gak gue cuman nanya aja." Dion membuka lembaran buku di hadapannya dengan cepat. "Gue khawatir aja."

Sthira mengerutkan kening. "Apa maksudnya?" batinnya

Dion mengembuskan napas, lalu menutup buku itu dengan keras seakan merasa kesal, kemudian menatap Sthira. "Gini gue cuman khawatir sama lo."

"Emang kenapa?"

"Lo jangan deket lagi sama si Raga," bisik Dion.

Sthira semakin penasaran. "Alasannya?"

Dion mendongak mendekatkan wajahnya pada Sthira, lalu berbisik, "Dia kurang baik buat lo."

TBC....

Sthira Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang