13. Cintamu Bukan Untukku

15 6 7
                                    

"Rasa yang takku harapkan datang di saat yang tidak tepat." --- Sthira Falling in Love

______

Suara ayam jantan berhasil membuat Sthira terbangun, setelah bangun subuh untuk melaksanakan kewajibannya, dia malah tidur lagi. Padahal kebiasaan itu tidak boleh dilakukan, mungkin Sthira kelelahan dan tidur terlalu larut.

Terdengar suara ketukan dari jendela, walaupun gorden masih tertutup, orang aneh itu selalu mengetuk jendela pagi-pagi.

Sthira menggapai kerudung dan memakainya, kemudian membuka jendela dengan lebar. Seperti biasa Raga menampilkan raut wajah yang ceria dengan mata hampir tertutup karena senyumnya yang lebar. Namun, berbanding terbalik dengan Sthira dia malah memasang wajah datar dan tak peduli.

"Selamat pagi, Sayang," ucapnya dengan semringah.

Sthira melipat tangan di dada dan menatap Raga tajam, dia heran dengan laki-laki ini. Apakah dia tidak kelelahan? Dia selalu mengganggu Sthira setiap harinya ditambah pasti dia punya banyak tugas dari kampusnya pasti sangat letih.

"Sthira, lo gak sakit 'kan?" Raga menempelkan tangannya ke dahi Sthira.

Sthira bergeming, tetapi jantungnya yang kini tidak bisa diam. Seperti ada sengatan listrik yang menyentil hatinya, hingga dalam sekejap Sthira memandang Raga dengan jantung yang berdebar kencang.

Dia menggeleng dan menepis tangan Raga, lalu berdeham. "Eng-engak, gak sakit, kok."

"Ya, mastiin aja gue takut lo kenapa-napa," ucap Raga. "Lo jangan bikin gue khawatir, lo jangan begadang terus, istirahat yang cukup, lo juga jangan sakit, nanti ... gue juga ikut sakit."

Sthira masih diam tidak berniat untuk membalas ucapan Raga.

"Ya, udah gue mau berangkat dulu, jangan lupa sarapan yang banyak, oke?" Pesannya, lalu Raga mengusap puncak kepala Sthira.

Sthira mematung, pipinya merona dan jantungnya kembali berpacu. Nyali Sthira menciut entah mengapa kali ini rasanya berbeda ketika behadapan dengan Raga.

Sthira menutup jendelanya, lalu duduk di tepi ranjang dengan mata menatap nanar. Rasanya aneh, kemudian netranya menangkap sebuah pensil 2B di meja belajar.

"Ini gue bawa pensil punya lo, kemarin gak sengaja gue injek." Raga menyimpan pensil itu di meja.

Sepenggal kejadian itu membuat Sthira mengingat betapa cueknya dia, sekarang Sthira menyadari bahwa Sthira kurang feminin untuk laki-laki. Dia menggeleng menghempas semua ingatan itu, lagi pula mana ada laki-laki yang benar-benar menyukai perempuan cuek seperti Sthira.

Namun, Sthira kembali teringat kata-kata Dion.

"Lo jangan deket lagi sama si Raga."

"Dia kurang baik buat lo."

Kini hati dan pikirannya tidak sejalan. Yang pasti hati tidak bisa dipaksakan jika sudah menyimpan perasaan pada seseorang, walaupun tersakiti pun tidak masalah hanya saja resikonya yang tidak mengenakkan.

"Ah, apaan sih kenapa mikirin itu, udahlah jangan dipikirin, lagian juga dia bukan siapa-siapa!" ujar Sthira.

***

Raga itu memang manusia pengganggu, bahkan menjadi pengganggu di pikiran Sthira, sedari tadi Sthira terus memikirkan Raga, ketika dia tertawa, wajah yang gugup, dan perilaku tidak tahu malunya itu, tidak bisa Sthira hilangkan dari pikirannya.

Mungkin dari luar Sthira terlihat datar-datar saja. Namun, dalam hatinya Sthira luluh dengan semua godaan Raga. Perempuan mana yang tahan dengan wajah tampan dan sifat yang peka seperti Raga. Sthira sama seperti wanita kebanyakan, dia masih normal untuk menyukai lawan jenis.

Hanya saja Sthira lebih suka memendam dan menjaga image. Mbak Vita saja sampai menyuruhnya untuk ke psikiater untuk memeriksa keadaan psikologisnya, bukankah itu terlalu berlebihan?

Sthira menuliskan sesuatu di sebuah kertas. Namun, kembali merobek dan membuang ke tempat sampah seperti sebelumnya. Sthira mengembuskan napas berat, sore-sore seperti ini pasti Raga akan pulang dan seperti biasa akan singgah dulu ke rumah Sthira.

Namun, setelah beberapa jam berlalu Raga belum juga datang padahal waktu sudah menunjukkan malam.

"Apa dia lagi sibuk, yah?" gumam Sthira.

Sthira membuka pintu rumah, lalu celingak-celinguk berharap orang yang ia tunggu muncul, tetapi hasilnya nihil tidak ada siapa pun di luar, hanya suara jangkrik yang mengisi kekosongan. Sthira kembali lagi ke kamarnya sembari mengepalkan kertas yang dia lipat-lipat.

Tok tok ...

"Assalamu'alaikum,"

Sthira terenyak, dengan cepat dia keluar kamar dan membuka pintu rumah, dia tahu orang itu.

"Wa'alaikumus salam," ucap Sthira tergesah-gesah.

Benar. Orang itu Raga dengan memasang wajah yang sangat bahagia.

"Sthira gue punya kabar bahagia!" serunya.

Sthira mengerutkan kening. "Apa?"

"Sini, sini gue ceritain." Raga menarik Sthira dan duduk di kursi. "Lo tahu? Gue bahagia banget!" serunya.

"Emang apa?"

Raga menatap Sthira, memejamkan mata dan membukanya kembali, kemudian dia menghela napas. "Gue dijodohin Sthira."

Seketika senyuman yang mengembang di bibir Sthira hilang, dia menatap Raga sendu. Sthira tidak mengharapkan itu, kali ini mungkin ucapan Dion beberapa waktu lalu memang benar.

"Lo tahu, gue bakal langsung nerima perjodohan itu karena ... cewek yang bakal jadi calon istri gue itu gebetan gue waktu SMA, gue gak nyangka dia juga mau nerima gue."

"Apakah sebahagia itu? Jika kau tahu akan seperti ini mengapa kau terus memberi harapan yang tidak pasti, kau jadikan wanita lain sebagai permainanmu. Ini salahku juga karena dengan mudahnya mempercai orang sepertimu dan menyimpan hati di tempat yang salah. Mengapa rasa ini datang hari ini?" batin Sthira.

"Dia cantik banget Sthira!" serunya menceritakan wanita lain dengan bahagia.

Sthira menghela napas. "Tapi ... kamu masih kuliah, masa mau nikah."

Wajah Raga sedikit murung. "Nah, itu ... gue masih sayang sama pendidikan, tapi gak tahu ortu gue malah jodohin, katanya kalau belum mau nikah ... tunangan aja dulu."

Sthira menunduk. "Oh, gitu."

"Besok gue bakal kenalin sama lo, dia cantik banget."

"I-iya." Sthira tersenyum getir.

"Ya udah, gue balik dulu, yah gue ada urusan," ucapnya, lalu pergi meninggalkan Sthira sendiri.

Sthira mengepalkan tangannya yang sedang memegang secarik kertas, hatinya mencelus air matanya seakan ingin tumpah saat ini juga. Namun, Sthira enggan menumpahkannya sekarang. Rasanya tidak bagus jika dia menangis hanya karena seorang laki-laki.

"Aku pikir kamu orang yang dapat aku percaya, mungkin hidupku akan dipenuhi dengan air mata. Semua isi hidupku dipenuhi dengan hal yang menyakitkan, apa pantas jika aku menginginkan kebahagiaan?"

Kertas yang sedari tadi ia kepal menjadi berbentuk bulatan, dengan amarah dia melempar kertas itu asal dan entah ke mana kertas itu jatuh. Sthira tidak peduli itu, dunianya saja tidak bisa memedulikannya.

TBC  ....

Sthira Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang