18. Gadis Kecil yang Lucu

13 6 10
                                    

"Kita beremu karena takdir." --- Sthira Falling in Love

__________




"Kamu beneran mau tinggal di sini sendiri?" tanya Dimas setelah membantu Sthira mengangkat barang-barangnya.

Sthira menepuk tangan mengibas debu yang ada di tangannya, lalu berkacak pinggang. "Iya, aku mau tinggal di sini, untuk sementara waktu."

"Kamu tidak takut?" tanya Dimas.

"Gaklah, kenapa harus takut? aku udah pernah tinggal di sini, gak ada apa-apa."

"Iya, bisa aja ada yang gangguin kamu, sesuatu makhluk." Dimas terkekeh.

Sthira bergeming, seakan tersindir dengan ucapan Dimas. Nyatanya benar di sini ada pengganggu, tetapi bukan makhluk astral melainkan pengganggu berwujud manusia playboy. Mungkin kali ini Sthira tidak perlu khawatir pengganggu itu sudah pergi berfokus pada prioritasnya.

"Oh, tapi kau sendiri juga pengganggu, Sthira," sambung Dimas.

Sthira mengerutkan kening. "Maksudmu?"

"Pengganggu hatiku," jawabnya.

"Selain masuk akmil, kamu juga masuk ke komunitas gombal, yah." Sthira tertawa.

Dimas tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya tak gatal. "Oke, semua barang kamu aku udah turunin, jadi sudah selesai 'kan?"

"Iya, udah maksih, yah udah bantuin."

"Iya, sama-sama, maaf yah aku gak bisa bantuin kamu beres-beres rumah."

"Iya, gak apa-apa. Kamu bantuin segini aja udah cukup, kok."

"Kalau gitu aku gak bisa lama, aku pamit yah."

"Iya, hati-hati." Sthira tersenyum ramah.

Dimas mengusap puncak kepala Sthira yang tertutup hijab. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumus salam," balas Sthira.

Sthira menatap Dimas naik ke mobilnya hingga mobil itu hilang dari pandangannya. Sthira yakin bahwa Dimas adalah lelaki yang baik. Namun, masalahnya Sthira masih belum memiliki perasaan yang pasti kepadanya, rencananya Sthira akan tunangan dengan Dimas, tetapi Sthira masih belum yakin tentangnya.

"Apakah dia tidak akan memberi harapan palsu?"

Pertanyaan seperti itu selalu ada di otaknya, sulit bagi Sthira untuk percaya akan janji dari orang lain. Sthira mengembuskan napas, sebaiknya dia harus cepat-cepat ke tempat bu Dian---guru kursusnya. Terpaksa Sthira menyanggupi permintaan beliau karena bu Dian membutuhkan guru untuk tempat kursusnya. Mengingat semua jasa bu Dian, Sthira tidak bisa menolak permintaannya.

***

Setelah beberapa jam, akhirnya Sthira pulang ke rumah, sampai sekarang motor matic pemberian ayah angkatnya masih Sthira pakai untuk bekerja, walaupun terkadang motor ini mogok dan rusak lagi. Maklum saja motor ini ada dan menemani Sthira selama hampir sepuluh tahun, Sthira memarkirkan motornya di halaman rumah. Ketika akan masuk ke rumah langkahnya terhenti karena Sthira mendengar seseorang bernyanyi.

Sthira sedikit merinding pasalnya hari sudah mulai sore dan langit pun mendung, ditambah lagi suara itu berasal dari balik pohon.

"Bunga matahari sangat cantik kembang di waktu pagi ... daunnya hijau bunganya kuning memikat kumbang lalu!"

Sthira mengernyit, terdengar seperti anak kecil. Namun, sedang apa anak kecil itu di sana, di waktu sesore ini. Sthira mendekati pohon dan melihat di baliknya. Dia mengembuskan napas lega, dikira itu adalah hantu anak kecil, ternyata memang benar ada anak kecil sedang bernyanyi dengan mata menatap ke tanah.

"Dek," ucap Sthira lembut. "Ngapain di sini?"

Anak itu menatap Sthira, lalu memiringkan kepalanya ke kiri. Gadis ini sangat lucu sekali. Sthira berjongkok agar dia bisa berbicara dengan anak sekitar empat tahunan ini.

"Dek, ini udah mau malem kenapa kamu masih di sini?" tanya Sthira.

"Aku mau lihat bunga ini tumbuh," jawabnya polos.

Sthira tersenyum gemas dengan anak ini. "Rumah kamu di mana?"

"Di situ." Dia menunjuk ke bangunan di samping rumah Sthira.

Sthira melihat arah telunjuk anak itu, dia tertegun menyadari sesuatu, bukankah rumah itu rumahnya Raga? Terus anak ini?

Pikiran Sthira menjadi tak karuan, hatinya tiba-tiba merasakan sakit. Sthira menatap anak itu dengan seksama, dilihat dari wajahnya mirip sekali ayahnya, dari mata dan juga hidung yang membuat familier di netra Sthira.

"Apakah anak ini ..." batin Sthira.

"Cerry!"

Teriakan itu berhasil membuyarkan lamunan Sthira, sontak Sthira menolah ke sumber suara.

"Cerry, cepat pulang udah mau maghrib ini!" teriak seorang wanita paruh baya.

Sthira ingat wanita itu adalah ibu kandungnya Raga---ibu Putri, jadi bisa dipastikan bahwa anak ini, anak dari Raga dan Praya. Memikirkan itu membuat Sthira ingin menendangnya, tetapi tertahan bagaimana pun gadis kecil ini tidak bersalah.

"Gak mau, aku mau liat bunga aku tumbuh," rengek gadis bernama Cerry itu.

"Ayo, sini besok lanjutin!" teriak bu Putri.

Sthira masih mematung memandangi Cerry.

"Ayo sini, Nak kita liat ayah di TV, jam segini pasti ada di TV," bujuk bu Putri, bahkan dia tidak memedulikan Sthira yang berada di samping Cerry.

Cerry beranjak dengan antusias. "Beneran, Nek?"

"Iya, ayo sini! Tuh, liat udah mulai." bu Putri sembari menunjuk sesuatu di dalam rumahnya.

"Iya, aku ke sana, Nenek!" serunya dengan antusias.

Sthira menatap kepergian anak itu, tak terasa air matanya menetes. Dia ingat di tempat inilah kenangan menyenangkan terjadi walaupun pada akhirnya sangat menyakitkan. Sthira berbalik dan menatap beranda rumahnya, dulu di sana terdapat dua kursi dan satu meja. Di sana, Raga selalu menggoda Sthira, ketika pertama kali bertemu Raga duduk di sana memakai kaus putih polos dan boxer hitam.

Sthira tahu sangat menyakitkan jika berada di sini, jika saja bukan permintaan bu Dian dia tidak akan pernah ke sini lagi. Terpaksa Sthira harus di rumah ini lagi, di satu sisi Sthira juga merindukan mbak Vita yang selalu ada ketika dia sedih mau pun senang. Sekarang orang itu sudah tidak bersama Sthira, dia sudah berumah tangga dan berhenti bekerja.

Sthira cepat-cepat masuk ke rumah, dia tidak mau bertemu dengan Raga, seberusaha mungkin dia tidak akan melihat Raga. Namun, satu hal yang membuat Sthira bertanya-tanya.

"Lihat ayah di TV?" gumam Sthira. "Cerry ini anak siapa?" batinnya.



TBC....

Sthira Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang