4. Senja Itu..

29 8 36
                                    

"Nala, kita duduk di sana," tunjuk Bima pada sebuah meja bulat yang ditutup taplak putih. Di atasnya terdapat aneka seafood yang  menggoda mereka buat segera mencicipinya. Bunga aster merah muda yang diletakkan di vas nampak mempercantik tampilan meja.

"Ini kamu juga yang request? Ah, maksudku nggak mungkin cuma kita berdua di balkon, kan?"

Bima mengangkat bahunya.

"Mereka memang punya satu tempat eksklusif buat pengunjung yang mau menikmati sunset. Percaya atau nggak, ada satu orang yang sudah memesan tapi dia membatalkan sehari sebelum aku pesan."

Nala tersenyum manis pada lelaki di depannya yang kini menuntunnya menuju kursi.

"Silakan, Tuan Putri Nala. Semua sudah siap."

Wanita itu memperhatikan lagi setiap detail yang ada di meja. "Wah, kepiting dan cah kangkung ini makanan kesukaanku. Udah lama banget nggak makan karena setiap mengolah sendiri pasti rasanya beda sama yang di restoran."

"Menurutku itu sugesti kamu aja, hon. Di setiap hasil karya yang udah kita lakukan pasti ada sesuatu yang membuat kita menghargai usaha tadi," balas Bima.

Ada pancaran kehangatan serupa mentari pagi dari sepasang manik hitam Bima. Tidak ada unsur menggurui dalam setiap perkataan Bima yang membuat Nala perlahan menyadari kelebihan kekasihnya itu.

"Ya, kurasa begitu. Aku akan masak seafood kalau senggang. Kamu cobain ya, nanti?"

Bima mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum. "Sekarang waktunya kita makan," ucapnya senang seraya mengambil nasi.

"Cukup segini aja. Nanti kalau kurang aku bisa nambah."

Lelaki itu mengernyitkan kening. "Hon, kamu nggak lagi program diet, kan?"

Nala tertawa. "Sejak kapan aku pilih makanan atau takut timbanganku naik?"

"Nggak salah keputusanku ajak kamu kemari karena kamu pasti bisa ngabisin semua ini."

Nala membulatkan matanya. "Kamu sering ngabisin makananku kalau ada sisa. Lupa, ya?"

Bima terkekeh geli. "Itu karena aku ingat salah satu lirik lagu ini, hon. Kamu pasti familiar."

Lelaki itu berdeham sebelum bernyanyi dengan suara yang sengaja dibuat seperti seorang anak berumur satu tahun.
"Banyak - banyak makan. Jangan ada sisa. Makan jangan bersuara."

Bima memang jago bermain piano dan pasti ia tahu bagaimana mengolah nada tapi ia jarang menunjukkan itu di hadapan Nala akhir akhir ini.

"Bim, apaan sih. Udah, lanjutin makannya."

Detik selanjutnya mereka melanjutkan makan dengan diselingi tawa dan pembicaraan ringan. Satu hal yang kini berarti buat Nala karena ia bisa perlahan belajar buat mengenal Bima lebih dalam. Selama ini mereka memang sering bertukar pesan tapi kebanyakan hanya membahas pekerjaan atau cuaca yang sering berubah. Kedengarannya membosankan tapi Nala menyukainya karena ia tak perlu khawatir bagaimana seharusnya menjalin hubungan yang baik. Bima juga tak pernah memusingkan hal itu.

Tak lama, Bima melambaikan tangan pada salah satu pelayan yang bergegas pergi.

"Mau apa kamu, Bim?"

Dua orang pria dengan biola berjalan mendekat. Mereka membungkuk hormat sebelum memulai pertunjukan. Refrein lagu itu memenuhi ruang dengar Nala.

Kamu adalah bukti dari cantiknya paras dan hati. Kau jadi harmoni saat ku bernyanyi.

Bima berdiri dari kursinya dan meraih tangan kekasihnya. "Hon, dansa, yuk."

Nala membulatkan matanya tak percaya dengan ajakan Bima.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang