23. Bogor dan Mereka yang Menunggu

8 1 0
                                    

Ken dan Nala sudah memasuki mobil saat gawai lelaki gondrong itu berdering, menampilkan nama Ayahnya. Cepat ia menggulir tombol terima ke atas. Namun, ia mengernyitkan kening saat   mendengar suara cempreng tetangganya, Teh Yuni.

"Ken, cepetan ke rumah. Ini Ayahmu nggak bisa jalan."

Lelaki itu menegakkan tubuhnya. Suryo biasanya akan menelponnya langsung saat ada masalah. Kalau dia meminta tolong orang lain, apa mungkin keadaannya sangat parah?

"Maksudnya, Teh?"

Ia lalu menceritakan dengan singkat apa yang terjadi beberapa jam lalu.

Ken mematikan sambungan telepon sebelum menoleh pada wanita di sebelahnya yang menatap penuh tanya.

"Nal, sorry banget, tapi kita harus nemuin Ayah sekarang. Di Bogor. Ayah lagi benerin genting karena bocor. Pas Ayah mau turun, dia malah jatuh," ujarnya cepat.

Wanita bermata almon itu terkesiap. "Terus? Ah, maksudku Ayah pasti lagi perlu kamu jadi mendingan aku pulang sendiri. Di depan sana banyak bus."

Ken menahan lengan wanita yang hendak membuka pintu. "Dan ninggalin kamu lagi sementara aku lagi kalut? Sekali-kali itu nggak akan terjadi, Nal."

Wanita itu tak mengerti kenapa Ken harus melibatkannya dalam urusan keluarganya seakan ia adalah bagian darinya. Ya, wanita bermata almon itu belum memiliki ikatan lebih dalam dengannya.

"Tapi Jakarta-Bogor bukan perjalanan yang singkat apalagi kalau macet. Ini akhir pekan, Ken. Mau sampai di sana jam berapa? Aku nggak mau Mama sama Papa curiga. Tolong kamu pikirin hal itu baik baik."

Ken meletakkan gawainya di dashboard sebelum menatap manik hitam itu. "Iya, aku ngerti, tapi aku perlu kamu buat dampingin. Sunny, Ayah itu orang yang selama ini dukung aku dan nggak mungkin aku biarin dia dalam keadaan sakit."

Nala menatap manik cokelat lelaki itu yang menyorot gelisah. Duduknya pun tidak tenang. Sesekali ia menggeser posisinya.

"Aku bawa mobil dan bisa aja nanti aku ngebut karena panik. Aku perlu kamu supaya ingetin aku."

Wanita itu mengembuskan napas. Ken begitu yakin kalau keberadaannya sangat penting hingga ia berani membuat pernyataan seperti tadi. Lalu haruskah ia bersikap sama? Ah, tapi sebagian hati Nala masih terluka dengan perbuatan Ken di masa lalu. Meski alasan itu sudah jelas, ia perlu waktu untuk menentukan pilihannya.

"Lagipula kamu juga pernah sempat ketemu Ayah saat kita pacaran. Apa salahnya kalau kamu sekalian jenguk dia? Siapa tahu keadaannya membaik."

Nala memilin tali tasnya sambil pandangannya terarah pada kesibukan orang yang berlalu-lalang.
Lelaki itu tahu kalau wanita kesayangannya sedang bimbang.

"Aku janji ini akan cepat. Percaya sama aku, Sunny."

Demi nama kemanusiaan, sepertinya tidak ada salahnya untuk mengiakan ajakan lelaki masa lalunya.

"Okay, tapi sebelum jam sebelas malam, kita harus udah di rumahku."

Tangan kanan Ken reflek mengacak rambut wanita itu, menimbulkan serangan kupu-kupu di perutnya.

Apa lagi ini, Ken? Aku makin nggak ngerti dengan semua perlakuanmu.

"Makasih, Sunny," ujar lelaki bermanik cokelat itu sambil tersenyum simpul. Dengan perasaan lebih lega, ia melajukan Sirionnya menuju rumah Suryo.
**

Ken memilih tol Jagorawi untuk bisa tiba di sana dengan cepat. Suryo adalah pria lanjut usia, tapi ia tidak pernah bisa tinggal diam. Ia akan sibuk melakukan banyak hal dan sanggup menyelesaikan beberapa pekerjaan seorang diri. Namun, ini kali pertama ia terjatuh hingga seorang lain menolongnya.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang