24. Bogor dan Mereka yang Menunggu 2

9 2 15
                                    

Nala menatap jam di pergelangan tangannya seiring angin lembut yang membawa aroma wangi jeruk. Untuk kali kesekian ia merasa begitu nyaman dengan apa yang tersaji di sini. Seperti ia menemukan bagian dirinya yang hilang.

Ah, tapi aku nggak boleh kebawa perasaan. Selesai urusan dengan Ayah Ken, aku harus pastikan dia nggak akan melibatkanku lagi dalam semua urusannya.

Nala mengambil gawainya yang sedari tadi bergetar dari saku dress dan menemui lima panggilan tak terjawab dari Arum dan satu pesan dari Bima yang dikirim pukul lima sore tadi.

Aku mau ajak kamu makan, tapi pas ke rumah Mama bilang kamu lagi sama Dwina.

Cepat, wanita bermata almon itu membalasnya dan mengatakan kalau ia sedang dalam perjalanan pulang. Satu hal sama yang ia lakukan pada Ibunya. Sejenak, Nala merasa makin lihai dalam berbohong dan itu sangat tidak nyaman, tapi seperti hanya ada satu pilihan yang tersisa.

"Sunny, gimana? Betah nggak di sini?"

Ia mendongak dan menemui Ken tengah menatap ke arahnya dengan binaran bintang yang sama seperti tadi.

"Ken, ayo pulang. Kita udah tahu keadaan Ayah dan itu udah selesai."

Lelaki bermata cokelat itu meraih tangan Nala yang hendak melewatinya. "Aku tahu, tapi Ayah mau ketemu kamu."

"Mau bicara apa? Bukannya tadi pas makan kita juga sambil ngobrol?"

Ken mengangguk. "Ya, tapi itu cuma tentang masalah umum. Sunny, sebentar aja," mohonnya dengan sangat.

Nala menutup kedua matanya dan sekali lagi demi sebuah simpati ia menurut.

"Thank you, Sunny. Kamu memang yang terbaik."
Ken menuntun wanita itu ke kamar Suryo yang sudah menanti dengan senyuman di wajah.

"Nala, Ayah ikut senang kamu mau jenguk kemari. Percaya atau nggak Ayah merasa lebih sehat. Mungkin karena ngelihat kalian bisa sedekat ini."

Wanita itu mengiakan, tersenyum simpul. "Aku ikut lega dengarnya. Semoga Ayah cepat pulih, ya."

Suryo menganguk. "Oh ya, kalau waktumu luang seringlah kemari. Siapa tahu kamu tertarik belajar nanam jeruk."

Ken merangkul bahu Nala yang sejenak tersentak, tapi ia tak bisa menepis tangan itu. Suryo pasti curiga dengan perlakuannya.

"Dia pasti akan kemari lagi kalau kami udah resmi nikah suatu hari nanti, Yah."

Nala membulatkan mata tak percaya pada Ken yang menaikkan sudut bibirnya dengan enteng.

Semudah itu kamu bilang hal yang belum tentu terjadi, batin Nala kesal.

"Oh, Ken. Kamu kadang terlalu yakin tapi Ayah suka semangatmu. Punya rencana itu baik, tapi kalian kan, belum lama pacaran lagi. Jadi, pakai waktu kalian untuk saling meyakinkan diri."

Ken kini meremas bahu Nala hingga wanita itu mendekat padanya. "Pasti, Yah. Ini kami lagi masa pendekatan sekaligus belajar buat saling mencintai."

Wanita penyuka salad itu, tanpa pikir panjang, mencubit lengan Ken. Ia tak tahan lagi dengan perkataan lelaki gondrong yang makin tidak tentu arah.

"Jaga bicaramu, Ken. Kita cuma temenan," desis Nala dengan mata membulat. Namun ia tersenyum simpul pada Suryo yang memerhatikan mereka.

Di atas semuanya, Ken tersenyum senang saat ia berhasil menggoda Nala dan membuatnya kesal. Menurut Ken, itu tanda keberadaannya mulai memasuki relung pikiran wanita itu. Walau banyak hal yang membuat Nala kesal, lelaki bermata sedang itu yakin perlahan ia akan mampu menjangkau hati si wanita sunset.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang