5. Senja itu.. (Part 2)

19 7 20
                                    

Setelah sambungan telepon itu terputus, Nala segera masuk ke salah satu bilik yang kosong. Menutup pintu dan bersender di baliknya, wanita itu membiarkan air mata yang tertahan kini mengalir bebas, seperti hujan deras. Mungkin dengan cara ini, Nala akan merasa lebih baik dan bisa membersihkan ruang ingatannya dari lelaki bernama Ken Rahmanto.

Padahal peristiwa itu udah lama tapi kenapa gue lemah banget hanya karena kalung yang Bima kasih?

Nala menghela napas berkali-kali setelah dirasa cukup menangisi kenangan. Wanita itu melangkahkan kaki dengan mantap menuju pintu keluar saat manik hitamnya bersirobok dengan seorang lelaki yang bersender ke dinding sambil menyilangkan kedua lengan di dada.

Bima? Sejak kapan dia berdiri di sana?

Sepasang mata Bima yang lekat memperhatikan setiap mereka yang keluar dari toilet wanita, kini tertuju pada Nala.

"Hon, akhirnya. Are you okay?" Bima menarik tangan Nala agar mendekat padanya.

Nala pikir akan mudah baginya menghadapi Bima yang pasti akan mengerti keadaannya, tapi sepasang manik lelaki itu seperti menyimpan rasa penasaran yang dalam. Nala menundukkan kepala, menatap ujung stiletto miliknya. Wanita itu belum siap untuk menceritakan semua yang menimpa dirinya barusan. Sentuhan di dagu Nala memaksanya untuk menatap lagi wajah Bima.

"Sebenarnya ada apa, Hon? Apa tadi perkataanku menyinggungmu atau hadiahnya kurang berkesan?"tanya Bima dengan pandangan khawatir yang meningkat.

Nala terdiam. Ia belum mampu mengucapkan satu patah kata pun. Entah kenapa kenangan itu begitu kuat dan menghancurkan sebagian pertahanannya.

Bima mengembuskan napas.
"Aku tahu kamu pasti capek. Udah lima belas menit kamu di dalam tanpa memberitahuku kamu lagi antre atau apa."

Bima meraih tangan kekasihnya dan mengajaknya kembali. Nala menarik ujung jas Bima, memberi alasan yang akhirnya terucap. "I am really sorry, Bim. Aku tadi mau touch up tapi bedaknya malah jatuh ke wastafel dan basah. Aku harus membereskan kekacauan itu. Aku cuma nggak mau kelihatan buruk di depanmu, Bim."

Lelaki itu membelai pipi kanan Nala, tersenyum simpul. "Mau bagaimana pun rupamu sekarang, yang terpenting kamu bisa sama aku dalam keadaan baik. Kita pulang, okay?"

Maafin aku karena belum bisa jujur soal ini, Bim.

**

Di mobil, Bima belum memulai pembicaraan lagi. Kedua tangannya fokus memegang setir dengan pandangan lurus ke depan. Jalan masih bisa dikategorikan padat merayap dengan volume kendaraan yang banyak tapi masih terkendali. Seharusnya hal ini bisa Nala manfaatkan untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi,  tapi lidahnya kelu untuk memulai semua. Dwina juga belum menghubunginya lagi sejak ia mendengar isak tangis Nala di telepon. Nala hanya berharap ia bisa cepat tiba di tujuan.

Rumah minimalis dengan cat warna ungu muda menyambut Nala yang seketika menjadi lebih tenang. Wanita itu melepas sabuk pengaman sebelum menoleh pada Bima yang sedang memperhatikannya.

"Hon, sorry kalau acara hari ini nggak sesuai sama ekspetasimu," ujar Bima mantap.

Cepat, Nala menggeleng."Bukan karena itu, Bim. Aku sangat bahagia dengan semua kejutan di hari spesial kita." Nala menambahkan senyum terbaik untuk meyakinkan lelaki itu.

"Sure?"

Nala tentu mengiakan, mengesampingkan rasa tak nyaman yang bercokol di hati.

"Okay. Kalau gitu, keberatan kalau aku pakaikan kalungnya?"

Nala tercekat saat Bima kembali merogoh saku jasnya. Nala pikir ia tak akan lagi berhubungan dengan kalung itu. Namun, wanita itu salah karena Bima punya ingatan panjang dan terperinci.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang