16. Mawar Putih 2

9 4 14
                                    

"Hon, mawar itu juga tanda keseriusanku dengan hubungan kita. Aku harap kamu jadi yang terakhir buatku." Bima merapikan poni rambut Nala yang mencuat sebagian ke mata.

Wanita itu memandangi kelopak mawar segar di tangannya. Mungkin seperti inilah bentuk hati Bima padanya. Suci dan tulus. Hal yang sangat berbeda dengannya sebagai si penerima pasif. Nala pikir sebelum Bima melangkah lebih jauh, ia perlu menegaskan satu hal.

"Bim, tanpa kamu ngasih bunga, aku tahu kalau cintamu besar. Aku kadang merasa nggak pantas buat dicintai dengan cara yang sehebat itu."

Bima berdecak, menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Nala. "Kamu bicara apa, sih?"

Nala mendesah pelan. "Selama tiga tahun kita pacaran, aku belum pernah membalas kebaikanmu. Bukannya hubungan itu harus timbal balik, Bim?" lanjut Nala.

"Terus, maksudmu gimana?"

Nala meletakkan buket itu di meja. "Kenapa kamu bisa setahan dan sesabar itu menghadapiku, Bim?"

Lelaki itu meraih jemari Nala, membawanya ke pangkuan. "Kamu pasti kecapekan, ya. Hon, dengar ya. Aku nggak pernah jadiin masalah kalau kamu belum membalas rasaku. Nanti pasti ada waktunya."

Nala teringat kalau Mama Bima, Fanya, menikah tanpa didasari cinta dengan suaminya. Mereka bisa bertahan karena kehadiran buah hati. Bima pernah mengatakan kalau ia bercermin dari kedua orang tuanya yang menjalin rasa dari saling tidak cinta hingga sanggup saling memberi.

"Tapi, apa kamu nggak bosan, Bim?"

Bima mengelus kepala kekasihnya, lembut."Hatiku bilang kamu wanita yang mampu mendampingiku,"ujarnya dengan binaran di mata.

Nala mengembuskan napas. Ia sudah terlalu lelah menjalani hubungan searah ini. Ingin ia mengakhiri saja, tapi tidak pernah sanggup melihat sinar mata Bima redup dan akhirnya mati. Sama seperti dulu ia menerima cinta Bima. Nala tidak tega melihat semua pengorbanan Bima berakhir percuma.

"Aku akan tunggu kamu siap sampai kapan pun. Sekarang kamu istirahat, ya."

Pada akhirnya, Nala hanya bisa mengangguk. Ia belum mau mengambil sikap sesuai kata hatinya.

**
Bias sinar mentari muncul dari balik gedung pencakar langit di salah satu kawasan elite di pusat Jakarta. Puluhan kendaraan sudah memadati jalan, dengan para pengendara yang siap berpacu dengan kemacetan untuk tiba di tujuan. Tak terkecuali Ken. Dari balik kemudi, lelaki itu mengikuti alunan lagu jazz dari Blake Shelton. Ia mengetukkan jemarinya sambil sesekali menganggukkan kepalanya.

Ya, sejak Suryo mendukung langkahnya untuk kembali mendekati Nala, ia tidak punya alasan untuk bermuram durja. Namun, bukan berarti segala pekerjaannya selama ini menyusahkan. Ia hanya merasa segalanya menjadi indah sejak pertemuannya dengan wanita pilihannya.

Lima belas menit kemudian, Ken keluar dari mobil dan berjalan menuju ruangannya. Beberapa orang menyapanya dan Ken membalasnya dengan sopan. Langkahnya sudah tiba di depan lift saat seseorang memanggilnya. Ken menoleh dan mendapati sekretaris bos, Vita, berlari tergopoh-gopoh ke arahnya. Di tangannya ada beberapa dokumen yang ia letakkan dalam map plastik warna merah.

"Kenapa, Vita?"

"Ken, aku baru saja dapat telepon dari Mr. Caleb kalau beliau ingin bertemu. Jam sepuluh di ruangannya."

Pasti soal surat resign kemarin.

"Okay, thanks infonya. Mau sekalian naik?" Ken menunjuk ke fasilitas kantor itu.

"Sure." Vita melangkah masuk, bergabung dengan karyawan lain. Karena sudah penuh, mereka memilih untuk berdiri di bagian depan.

"Ken, apa kamu beneran mau resign? "

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang