13. Benci tapi Rindu

11 4 14
                                    

Lampu di pertigaan itu kini berganti warna hijau, mempersilakan para pengemudi melajukan lagi kendaraannya. Deru mesin yang menggebu kembali terdengar, tapi segera lesap saat mobil Bima memasuki komplek perumahan Nala.

Bima menoleh sejenak pada wanita di sampingnya yang memutar gelas plastik di pangkuannya.

"Hon, nggak ada pertanyaan soal tanaman itu?"

Nala menoleh. "Aku udah ngerti apa yang harus kulakukan, Bim."

"Hmm, itu bagus tapi aku cuma mau ingatkan biar kamu bisa anggap tanaman itu kayak hubungan kita. Makin kamu rawat, hasilnya pasti bikin bahagia."

Wanita itu mengangguk singkat. Ia tidak mau terlalu memikirkan pesan apa yang Bima beri lewat tanaman di tangannya ini.

Bima menginjak rem dan seketika mobil berhenti. Ia mengayunkan kaki kanannya sebelum berlari ke pintu sebelah.

"Silahkan, Tuan Putri."

Mengambil tasnya, Nala segera keluar dari mobil, menyambut udara malam yang dingin.

"Aku langsung masuk, ya," ujar Nala, matanya tertuju pada pagar rumahnya.

"Jangan lupa siram dia setiap hari," balas Bima, sedikit menunduk untuk mencium kening kekasihnya.

Nala mendesah pelan. Selalu begini rasanya. Getaran cinta yang menggebu itu seakan bersembunyi di sudut bumi. Entah apa yang harus ia perbaiki untuk bisa sungguh menerima lelaki itu sebagai kekasih seutuhnya. Terlebih dengan apa yang sudah Bima perbuat hingga detik ini.

"Sweet dream dan sampai ketemu lagi."

Nala baru bisa bernapas lega setelah mobil itu hilang dari pandangan. Perlahan, wanita itu melepaskan sepatu baletnya dan berjalan menuju kamar di dekat ruang tengah.
Arum dan Tino sudah pasti tertidur, hal yang membuatnya bersyukur. Setidaknya, Arum tak akan mengajak Bima mampir dulu.

Nala meletakkan gelas plastik itu di meja dekat tempat tidurnya sebelum langkahnya tertuju ke jendela yang tirainya terbuka setengah.

Kerlipan bintang yang berpadu dengan kelembutan bulan setengah sabit menyergap mata hitamnya.
Di sana, yang terlihat orang biasa pasti kemulusan permukaan bulan, tapi malam itu Nala seakan bisa menggambarkan wajah Ken dengan jelas. Seperti menghirup oksigen di udara, semudah itu Nala kembali merangkai kisah yang dulu pernah terjalin.

Nala memejamkan mata, berusaha terlelap agar besok pagi tidak terlambat untuk mengikuti acara penutupan study tour. Tak lama, ia mengganti posisi tidur dan saat itulah ia melihat siluet Ken. Memakai sandalnya, ia menghampiri lelaki itu.

"Nal, kenapa nggak tidur?"

Ia mengangkat bahu. "Mungkin karena ini bukan kamarku," katanya, menatap lurus ke depan. Dari balkon, mereka bisa memandang sebagian kota Bali yang berselimut cahaya lampu.

Ken mengusap pelan lengan Nala. "Masih marah sama dua sahabatmu itu?"

"Nope. Tadi Dwina udah ngabarin kalau dia lagi belanja dan mau lanjut ke klub."

Nala mendongak, menatap wajah Ken yang masih asyik memandang langit. "Aku nggak nyaman berduaan sama kamu di sini, Ken."

Ken tadi meminta satu teman lelakinya untuk mengungsi ke kamar lain agar Nala bisa tidur di tempatnya. Kartu kamar Nala tidak bisa digunakan sementara dua sahabatnya belum pulang. Pasti mereka mau memanfaatkan waktu sebelum kembali ke Jakarta.

"Selama kita bisa menjaga diri, semua akan baik-baik aja, Nal," ujar Ken, menunjuk ke atas.

"Bulan selalu bisa buat aku tenang, Nal." Sebelah tangan Ken menarik tangan wanita itu hingga tubuh keduanya begitu dekat. Nala menikmati perlakuan itu, seakan ketidaknyamanan barusan tak lagi berarti.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang