8. Permintaan Mama Arum

15 4 9
                                    

Laju mobil yang mereka tumpangi melambat di pertigaan yang mengarah ke Kalimalang. Bima menoleh sekilas pada Nala yang memandang lurus ke jalan di depannya. Sebelah tangannya bertumpu pada pinggiran jendela.  Wanita itu seperti tengah memikirkan sesuatu.

Kalau saja kamu mau jujur, Hon. Aku pasti siap jadi tumpahan semua sedihmu.

"Bim, makasih ya, karena udah meluangkan waktu jemput kami. Kamu pasti sibuk 'kan di kantor?" ujar Tino, memecah keheningan.

Lelaki itu tersenyum simpul. "Ah, biasa saja, Pa. Kebetulan kerjaan hari ini nggak terlalu banyak."

"Baguslah. Tapi bisnismu lancar, 'kan?"

Bima menjalankan mobilnya lagi setelah menengok wajah ayah Nala  dari kaca di atasnya. Sebagian rambut Tino yang memutih terlihat di sana. "Setiap bulan selalu ada perkembangan signifikan, Pa. Doakan saja biar makin berkembang."

"Tanpa kamu minta pun, Papa pasti mohon yang terbaik."

"Bisa dibilang, kamu udah siap buat melamar Nala," sela Arum sambil tersenyum manis.

"Hmm, ada rencana ke sana, Ma. Tapi belum dalam waktu dekat ini."

Arum menepuk - nepuk jemari Tino di sampingnya. Matanya bersinar seperti bintang. "Menurut mama, kalian harus menyiapkan semua dari sekarang. Mama pingin cepat punya cucu. Bisa menimangnya dan kalau udah bisa jalan, dia bisa main sama mama," lanjut Arum penuh keceriaan. Perjalanan jauh sepertinya tidak mengurangi semangatnya.

Nala menegakkan duduknya sebelum menoleh pada Arum.

"Ma, aku dan Bima masih mau fokus kerja. Nanti juga ada masanya."

"Kami juga masih perlu waktu buat saling mengenal lebih dalam. Ya kan, Bim?" Nala melembutkan nada suaranya dan mengedipkan mata pada Bima. 

Lelaki itu mengerti maksud Nala yang belum ingin membahas hal serius ini. "Nala benar, Ma. Meski ada rencana, itu semua harus disiapkan dengan matang."

"Mama setuju, tapi ingat umur kalian juga. Nanti Nala kesulitan buat melahirkan kalau udah di atas tiga puluh. Mama berharap, Nala lahiran normal saja."

Tino menyentuh tangan istrinya, berkata dengan nada lembut namun tegas. "Ma, hal seperti itu nanti akan kita rasakan. Mereka masih mau mengembangkan diri dalam karier. Kita dukung saja, ya."

Arum tersenyum simpul pada suaminya. "Mama ngerti, Pa. Mama cuma nggak mau kalau Nala patah hati lagi. Papa ingat 'kan, waktu dia putus sama Ken?"

Bima menaikkan alisnya sambil melirik Nala. Wanita itu sadar akan pandangan Bima tapi dia memilih menatap pepohonan besar nan tinggi yang berbaris rapi di sepanjang sungai. Sejenak, keberadaan pohon itu mampu menaungi setiap yang melintas tapi ia tidak mampu menenangkan hati Nala.

Duh, Mama kenapa harus bahas Ken? Bima pasti double curiganya.

"Nala sampai nggak mau keluar kamar, menolak makan dan cuma nangis. Mama sempat takut dia nggak bisa move on, tapi beruntung anak mama ini ketemu Bima yang lebih dewasa," lanjut Arum.

Bima menjalankan mobilnya perlahan namun matanya terarah pada Nala. Kepala wanita itu tertunduk dengan jemari yang ia pilin di pangkuan.

"Ma, setiap lelaki yang Nala pilih pasti sesuai sama kata hatinya. Nggak perlu dibandingkan begitu."

Arum memutar bola matanya. "Mama cuma memberi arahan sama mereka, Pa. Mama masih ingat saat Nala hampir drop out karena kelamaan cuti kuliah. Mama juga ikut hancur, Pa." Arum mengembuskan napas dengan pandangan menerawang.

Nala menggeleng ketika kilasan yang menyakitkan itu Arum hadirkan lagi.
Wanita itu tak mengerti dengan jalan pikiran ibunya yang mendadak membahas masa tersulit hidupnya.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang