15. Mawar Putih

18 6 22
                                    

Nala memanjangkan leher ke dalam ruangan berlantai dua itu. Ke tujuh anak grupnya sedang sibuk mendengarkan arahan seorang pemuda yang berprofesi sebagai arkeolog. Menggunakan kesempatan itu, Nala mengambil gawai di tas dan mencari kontak sahabatnya.

Win, gue ketemu Ken di Pasific Place.  Kafe Rose, besok sore. Bisa?

Nala mengembuskan napasnya kuat, seiring pikirannya yang berkelana tentang peluang mereka berpapasan lagi.

Ah, itu nggak mungkin. Ken pasti udah sibuk sama urusannya.

Dengan perkataan itu, Nala kembali mengawasi aktivitas anak didiknya yang kini mencari bukti keberadaan dinosaurus dari peta di layar komputer.
**

Nala memilih dress selutut dengan motif floral dan sepatu balet hitam untuk menemui Dwina. Ia sudah menyentuh handle pintu saat matanya tertumbuk pada gelas plastik di meja belajar. Benih itu sudah bertumbuh dengan munculnya kecambah. Wanita itu mendesah pelan, teringat ia belum menyiramnya. Dwina pasti akan menanyakannya nanti seakan ia adalah titisan Bima. Dengan berat hati, ia mengambil air dan menuangnya sedikit demi sedikit.

Kafe Rose terletak tidak jauh dari pusat perbelanjaan yang ramai. Nala harus bersabar menjalankan motornya karena antrian kendaraan yang hendak memasuki supermarket menguar hingga ke jalanan. Lima belas menit berkutat dengan kemacetan, ia tiba di tujuan.

"Ah, akhirnya lo datang juga," ujar Dwina setelah Nala menjejakkan kaki di hadapannya. 

"Makasih udah mau nungguin gue, ya."

Dwina mengibaskan rambut indahnya sebelum menarik tangan Nala agar duduk di sampingnya.

"Ah, bukan masalah. Jadi, lo ngapain Ken? Tampar, pukul, atau malah lo gemetaran?"

Nala menoleh. "Seandainya gue bisa ngeluarin semua yang gue rasa ke dia, Win."

"Eh, emangnya kenapa?"

Nala memilin jemarinya. "Ada murid gue. Nggak mungkin gue bersikap kayak yang lo bilang tadi."

Dwina menyesap teh chamomile nya sebelum kembali menatap wanita itu. "Gue sempat nggak percaya kalau lo ketemu Ken karena gue kirim pesan ke dia dan nggak dibalas."

Nala mengernyitkan kening. "Buat apa lo kirim pesan?'

"Ya, gue mau info biar dia nggak ganggu hidup lo. Apalagi lo udah punya Bima. Eh, tapi Ken nggak ngejar lo dan minta maaf, kan?"

"Untungnya nggak. Kayaknya dia juga punya kerjaan yang harus diselesaikan. Tapi, gue nggak nyaman, Win. Apa mungkin ini tanda kalau dia akan mengusik gue lagi?"

Dwina menggeleng pelan. "Nal, please. Dia nggak tahu dengan detail tentang lo. Dan lo harus sadar kalau Ken itu hanya hidup di masa lalu. Pertemuan itu kebetulan. Ken akan menyesal kalau dia berani deketin lo lagi."

"Kok, lo bisa ngomong gitu?"

"Gue akan berdiri paling depan buat menghadang Ken kalau dia berani nyakitin lo lagi. Ditambah, Papa gue punya power dan bisa melakukan apa pun buat keselamatan gue dan sahabat anaknya," ujarnya, penuh penekanan.

"Oh, Win. Itu berlebihan. Lagian, lo lupa kalau pernah suka Ken?"

"Hey, itu dulu pas awal dia masuk kampus dan jadi primadona. Sekarang kita udah tahu keburukannya. Buat gue, orang yang udah menyakiti dan minta maaf buat kembali mengulang momen, nggak pantas diberi kesempatan kedua." Dwina menggigit potongan roti manisnya.

Nala mendesah. Ada satu hal yang pernah terjadi di antara gue dan Ken. Dan lo belum tahu itu.

"Win, lo percaya sama takdir?"

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang