12. Magic Love Bean

30 4 10
                                    

Selepas pekerjaan yang menumpuk dan menguras tenaga, ada saatnya seseorang harus memberi jeda untuk menjernihkan pikiran. Sesuatu yang menyenangkan tapi tetap dalam batas aman sehingga ketika kita kembali menjalani rutinitas, energi baru mengaliri hati. Seperti malam Sabtu ini. Tiga wanita itu berjalan berdampingan menuju satu restoran Italia di dekat bioskop. 

"Jadi, Bima udah tahu siapa Ken? " Dwina menghempaskan tubuh di sofa berwarna merah. Mata biru mudanya lekat menatap Nala yang duduk di depannya. 

"Hmm, secara garis besarnya aja. Itu juga karena Mama sebut nama Ken."

Dwina tersenyum simpul. "Gue berani tebak kalau Bima pasti nggak akan melepas lo abis ini."

Nala mendongak, menatap wajah bulat sahabatnya."Kenapa bisa gitu?"

Dwina mengibaskan rambut panjang indahnya yang tergerai melewati punggung. Menurutnya, lebih baik membiarkan mahkota itu tanpa ikatan karet. Itu akan menyakiti rambut dan membuat tampilan wajah menjadi berbeda.

"Nal, kalau dia tahu lo masih keingat mantan, posisinya bisa terancam dan dia pasti ngelakuin sesuatu buat mempertahankan hubungan kalian."

Nala menarik napasnya. "Let us see. Oh ya, kita mau pesan apa?" 

"Hmm, gue mau spaghetti carbonara sama pizza," balas Dwina yang lalu menoleh pada Rara. "Kalau lo? Mau disamain aja?"

Wanita berambut bob itu mengiakan dengan cepat.

"Enaknya temenan sama Rara itu, simple dan nggak banyak mau kayak lo, Nal," lanjut Dwina seiring tawanya yang renyah.

Nala memajukan bibirnya sambil tangannya menepuk pelan lengan sahabatnya itu.

Rara hanya tersenyum simpul pada keduanya. Walau ia harus menahan sakit saat perbincangan barusan, bisa bersua lagi dengan sahabatnya adalah kesempatan berharga bagi wanita itu. 

"Ra, kalau gue tebak, Bima pasti mau melamar Nala dalam waktu dekat. Soalnya dia nggak mau Nala makin hanyut mikirin Ken."

"Oh ya? Aku ikut senang kalau gitu. Selamat ya, Nal," ujar Rara dengan senyuman simpul.

"Ra, itu cuma dugaan Dwina aja. Kamu nggak perlu ngucapin selamat,"balas Nala, lembut.

Rara memang jarang berkomentar tentang hubungannya dengan Bima. Ia akan menunggu giliran untuk ikut dalam perbincangan. Selebihnya, ia akan duduk manis dan mendengarkan.

Nala kini berpaling pada wanita dengan lensa mata biru muda itu. "Win, gue udah cukup lega karena Mama udah nggak minta Bima mempercepat hari itu. Udah, ya, nggak perlu ngebahas lamaran."

Dwina mengerling. "Nala, gue hanya mention. Kalau dibahas tuh, gue bakalan ngasih tahu di mana event organizer terbaik, kebaya yang harus lo pilih dan konsepnya apa. Tolong dibedakan, ya."

Nala mengembuskan napas. "Itu tadi barusan lo perjelas, Win. Ah, lupakan," balas Nala, melambaikan tangan pada seorang pelayan yang berdiri di dekat meja kasir.

"Eh, Nal, tapi kalau misalnya Bima beneran melamar, kira - kira lo akan terima nggak?"lanjut Dwina, setelah si pelayan itu menyiapkan pesanan mereka.

Nala membulatkan mata pada sahabatnya yang balas menatapnya dengan polos. "Win, please."

"Bisa aja makan malam kemarin itu awal dari rencana Bima buat menyatukan hubungan kalian."

"Lo udah bilang itu dari awal tapi belum terwujud. Jadi, biar gue menjalani dulu hubungan ini."

"Memang, tapi apa salahnya bersiap? Ra, lo setuju sama gue, 'kan?"

Rara membuka mulut tapi semua kata seperti tertelan kembali. Ingin ia menghilang dari pembicaraan yang menyangkut hubungan Bima dan Nala. Sejak awal, dada Rara sakit mendengar kabar kedekatan dua sejoli itu yang merambah ke arah serius.

My Way Home is YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang