The Madam and The Tough Thugs

518 24 2
                                    

Aku sempat bertemu dengan 'Si Madam' yang Erick bicarakan. Namanya Cassandra Lee, dipanggil Cassie. Wanita pemilik Cassanove yang menjadi alasan mengapa Song nyaris menjebloskan Nara ke balik jeruji. Dia adalah wanita Korea di awal 30-an, berambut cokelat atau kadang pirang--sudah entah berapa kali dia datang kemari dengan warna rambut yang berbeda. Dia bicara dengan intonasi yang menyebalkan: seolah-olah dia pengisi suara karakter animasi Jepang. Suaranya itu melengking lebih tinggi daripada Monas di Jakarta.

Tubuh Cassandra memampai dan kurus bagai model-model Korea pada umumnya: kedua kakinya itu terlihat seperti mereka akan patah menjadi dua. Aku terheran-heran. Sebagai seorang wanita yang terhitung berotot, aku tidak pernah melihat daya tarik dari wanita-wanita yang terlalu terobsesi dengan menjadi kurus. Kurus bukan berarti tubuhmu sehat.

"Correct me if I'm wrong," ujar Cassandra ketika dia bicara padaku, "are you a new regular?"

Logat Koreanya yang kental nyaris membuatku tersedak minuman. Jujur saja, tidak tahu mengapa aku diam-diam membandingkan diriku sendiri dengan wanita ini. Dari ukuran payudara--tentu saja aku pemenangnya--sampai ke bagaimana caranya bicara dengan para pria. Ada sesuatu darinya yang membuatku naik pitam tanpa sebab yang jelas.

Aku tersenyum simpul. "You can say that," kujawab pertanyaannya dengan logat Irish. Lagi-lagi, aku tidak tahu mengapa aku ingin memamerkan diri kepadanya. Ah, seharusnya aku mengenakan pakaianku yang paling senonoh. Jaket kedodoran ini tidak menunjang apa yang ada di baliknya. Tidak pula menunjang persaingan ketat antara aku dan Cassandra yang terjadi di alam bawah sadarku.

"Dari masa asalmu?" tanyanya lagi. "Logat kamu unik."

Aku tertawa merdu. "So is yours," jawabku. "Saya dengar kamu yang punya tempat ini."

Cassandra nyengir. "Kamu dengar dari mana?"

Aku mengidikkan bahu. "Truths travel fast," kataku singkat. "Even faster if it's bad news."

Ia menatapku penuh dengan tanda tanya. "Are you implying something?"

"Oh, enggak," jawabku disertai senyuman lebar. "Saya cuma mau bilang, nice place. Lebih bagus lagi kalo enggak ada pelayanmu yang nyaris masuk penjara gara-gara urusan pribadimu."

Wajah Cassandra pucat seketika. Kedua mulutnya yang mungil terbuka, tetapi ia tak bersuara. Aku masih menyeringai santai di depan wajahnya. Mengapa? Dia pikir aku tidak tahu apa yang terjadi? Aku berani jamin jika tidak tahu menahu jika akulah yang menyelamatkan Nara dari hukuman negara ini.

Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri meja kami berdua. Aku mendongak.

Nara.

"Satu gelas Martini," ujar pria itu selagi meletakkan segelas minuman beralkohol di hadapan Cassandra.

Wajah wanita itu langsung sumringah begitu melihat Nara. Nahasnya, Nara membalas hal tersebut dengan senyuman tipis.

Darahku mendidih. Oh, inikah bagaimana dia memperlakukanku setelah apa yang kulakukan untuknya? Kepada wanita ini dia tersenyum santai, tetapi ketika kuajak bicara dia menghindar? Ini betul-betul keterlaluan.

"Oh, Nara!" pekik Cassandra, masih dengan suaranya yang memekakkan telinga. "Lama enggak ketemu. Kamu apa kabar?"

"Saya baik," jawab Nara singkat. "Bagaimana dengan Ibu sendiri?"

"Sudah saya bilang jangan pakai honorifik," keluh Cassandra. "Panggil saja Cassie."

Nara mengangguk patuh sambil tersenyum sopan.

"Oh, Nara, kamu sudah kenalan dengan Lexa? Dia pelanggan baru kita." Cassandra menepuk pundakku sekilas. "Seharusnya kamu ingat siapa dia. Belakangan setiap kali saya mampir, dia selalu di sini."

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang