Aku memutuskan untuk membawa Nara ke apartemenku. Sejatinya aku bisa saja memboyongnya ke rumah Erick untuk kedua kalinya, tetapi setelah apa yang terjadi aku kini merasa segan—aku tidak ingin menjadi beban bagi Erick terutama setelah apa yang sudah dia lakukan untukku sejauh ini.
Oleh sebab itu, kugendong Nara yang setengah tidur di punggungku. Dia sudah mengigau tidak jelas sepanjang jalan bahkan terkadang menendang-nendangkan kakinya ke udara selagi menyanyikan salah satu lagu band Korea yang sedang hits dengan suara yang sumbang.
"LO BISA DIEM GA SIH?!" aku menjerit begitu sampai di tangga apartemenku.
Nara masih menggumamkan hal-hal tidak jelas. "Pokemon... buntutnya panjang...."
Apa-apaan yang dia bicarakan?!
Karena betapa hebatnya dia melonjak-lonjak, aku kini tak sanggup lagi menggendongnya di punggung. Aku—secara harfiah—menyeret bagian belakang kerahnya di atas lantai apartemen hingga akhirnya kami sampai di depan pintuku. Dengan sisa napas yang kupunya, kutarik ia ke dalam dan segera menutup pintu rapat-rapat. Nahasnya, ketika aku membalikkan tubuh, tanpa sengaja salah satu kakiku terantuk betis Nara yang sudah K. O. di atas lantai. Tubuhku pun terjun bebas ke bawah, tepat menindih lelaki yang saat ini setengah tertidur lantaran mabuk.
Jika bukan karena kedua tanganku yang menumpu tubuh bagian atasku, aku yakin kini aku pasti telah mengecupnya untuk yang kesekian kali.
Menyadari separuh badanku yang kini tengah menindihnya, kedua mata Nara mengerjap terbuka. "Kamu... ngapain?"
Aku tak mampu menjawab. Aku malah sibuk memerhatikan betapa rupawannya Nara di bawah cahaya apartemenku yang remang-remang. Kedua pipinya bersemu kemerahan dan bibirnya seolah memanggilku agar aku segera mencumbunya. Matanya yang sayu pun menatapku dengan cara yang telah lama tak kujumpai: keingintahuan malu-malu yang entah mengapa malah membuatku semakin menginginkannya.
Aku ingin menyudahi pemikiran absurd tersebut, tetapi sebelum aku bisa enyah dari tubuhnya, Nara tiba-tiba meraih salah satu pipiku. Dibelainya pipiku dengan lembut selagi berkata lirih, "Mata kamu... biru sekali."
Aku terkejut, tetapi berusaha untuk tak menunjukkannya. Oleh karenanya aku hanya terkekeh. "Kamu baru sadar?"
Ia tertawa kecil. "Saya selalu pingin lihat kamu dari dekat," desahnya. "Soalnya kamu cantik banget...."
Aku menelan ludah. Ocehannya yang polos tersebut membuatku tak tahan lagi. Seolah bisa membaca pikiranku, tiba-tiba saja ia menyapukan kedua ibu jarinya ke atas bibirku, yang seketika mengirim geletar gairah ke sekujur tubuhku.
"Bibirmu juga," katanya, "cantik banget."
"Kamu juga...," lirihku, "cantik sekali."
Dengan akal yang tinggal seujung jari, kudekati wajah Nara perlahan-lahan—tak ingin merusak momen intim ini. Kedua matanya masih memancarkan rasa penasaran polos. Ia tak gentar dengan napasku yang kini telah menggelitik hidungnya. Begitu aku begitu dekat dengannya, ia memejam, seolah menungguku untuk mengambil alih.
Tidak usah diminta dua kali, kukecup lembut bibirnya yang ranum. Dan yang paling membuatku terkejut, Nara membalas ciumanku. Sekalipun gerakannya malu-malu, aku tak keberatan. Menyadari bahwa dia tidak mendorongku menjauh saja sudah lebih dari cukup.
Kusudahi kecupan tersebut dan memandangnya lurus-lurus. Dan untuk pertama kalinya aku menemukan sesuatu yang tak pernah kulihat di dirinya: tatapan penuh gairah, penuh insting manusia yang paling alamiah.
Hela napasnya bak aprodisiak yang secara perlahan mengikis akal sehatku yang tinggal seujung jari.
Aku tak tahan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[18+] DIRTIEST SCANDAL
RomanceTOP 8 in #Explicit Category Kabur dari tanggung jawab sebagai penerus perusahaan ayahnya, Lexa Cohen-dominatrix dunia malam ibu kota-malah dipertemukan oleh seorang bocah kemarin sore yang membutuhkan bantuan. Tanpa campur tangan Lexa, Nara sudah da...