Jujur saja, aku belum pernah menjejakkan kaki di Korea Selatan. Aku selalu berpikir jika negara ini overrated di media. Untuk destinasi berlibur pun aku selalu memilih negara-negara Eropa. Mungkin karena aku sudah terlalu terbiasa dengan budaya kebaratan, sehingga merasa lebih nyaman apabila aku dikelilingi hal-hal yang menyimpang jauh dari budaya Asia sekalipun aku lahir dan besar di Indonesia.
Kendati demikian, setelah melihat pemandangan Pulau Jeju dengan kedua mataku sendiri, mungkin negara ini populer untuk sebuah alasan. Banyak pria dan wanita berparas menawan yang berlalu lalang di sini. Hal itu membuatku sedikit relaks. Memang apa yang jauh lebih menenangkan selain dikelilingi oleh hal-hal yang enak dipandang?
"Excuse me," seorang pelayan bar menggugah lamunanku. "Here is your drink."
Ia menyodorkan segelas Manhattan ke atas mejaku. Aku tersenyum ke arahnya. "Thanks."
Pemandangan sore itu betul-betul indah. Lokasi bar ini pun bisa dibilang begitu strategis karena langsung menghadap ke laut. Jingga matahari membias menembus jendela mati bar, membuatku mendadak saja dirundung melankoli.
Sama sekali tidak ada yang tahu mengenai kepergianku ke Korea Selatan. Teman-teman terdekatku--Sabrina, Nathan, Geo, dan Abigail--pun tidak akan pernah mengira jika aku memilih negara ini sebagai tempat untuk melarikan diri. Mungkin mereka akan mengira kalau aku sedang berada di Jerman. Aku sering bergurau akan membeli rumah di sana dengan identitas baru kalau Papa berani mengusikku lagi. Jerman pun menjadi negara pertama yang harus kucoret dari destinasi pelarianku. Disusul dengan Australia, Amerika Serikat, dan Inggris--negara-negara di mana aku menempuh pendidikanku 10 tahun belakangan.
Namun, Korea Selatan? Tidak pernah sekali pun negara ini terlintas di benakku. Semoga tidak akan ada yang menyadari keberadaanku. Semoga.
"What the hell is wrong with this drink?"
Suara pekikan terdengar dari balik punggungku. Aku menoleh cepat dan menyaksikan seorang wanita berkulit putih yang sedang mengacungkan gelasnya tinggi-tinggi ke udara di hadapan barista.
Si Barista tergagap, "Is there anything wrong, Miss?"
"Your alcohol tasted like shit, do you even know that?" sergah wanita itu. Ia menyerahkan gelasnya ke tangan barista. Si Barista mencecap alkohol di tangannya dan dahinya segera berkerut.
"You see what I'm saying?" pekik wanita tadi. "What the hell did you put in my drink?! Answer me!"
"Miss, my apologies. But I did not put anything into your drink!"
"If you didn't then how would it taste like that?!"
Keributan itu segera memancing kerumunan. Beberapa pelanggan yang tertarik segera beranjak dari sofa dan mengitari orang-orang yang terlibat dalam perselisihan tersebut. Mereka memerhatikan dari jauh selagi membawa gelas mereka di tangan. Termasuk aku.
Aku tidak tahu jelas apa yang terjadi, tetapi sepertinya Si Barista memanggil seorang pelayan dari dapur dan mulai memarahinya dengan Bahasa Korea yang tidak kumengerti.
"Dang, Jesus, that's fucked up," gumam seseorang di sebelahku.
Aku segera menoleh. Seorang pria Asia berkulit gelap mendadak menjulang di sampingku. Aku pun memanfaatkan kesempatan dan bertanya, "Bisa beritahu saya apa yang sedang terjadi?"
"Wanita ini bilang kalau barista itu sengaja memasukkan sesuatu ke dalam minumannya. Tapi, baristanya malah bilang kalau yang melakukan itu, pelayan yang itu," jelasnya sambil menunjuk seorang pria berpakaian pelayan yang beberapa saat lalu mengantarkan minumanku.
"Does he even have any proof?" tanyaku.
"Not sure," jawabnya sambil mengidikkan bahu. "Tapi saya yakin kalau pelayan itu dalam masalah besar."
Menuduh orang sembarangan tanpa bukti yang konkrit? Ini jelas tidak benar.
Pria di sebelahku mendadak memekik lirih, "Jesus, the waiter is apologizing!"
Aku tercenung.
"Menurut kamu memang betul-betul dia pelakunya?" ia bertanya. "I honestly think the otherwise, but--hey! Where are you going?"
Dengan langkah percaya diri, kujejakkan langkah menuju ke tengah-tengah kerumunan tersebut. Menyaksikan sosokku yang tiba-tiba hadir tanpa diundang, ketika pihak yang berseteru mendadak mengunci mulut.
"Can I please have a word?" kataku tenang.
Wanita yang tadi berkoar-koar seenak jidat, akhirnya buka suara, "This is not your business, stay out of it."
"It's not, indeed," kataku ringan. Kemudian kedua mataku jatuh ke Si Barista. "Tapi kamu sudah menuduh orang sembarangan. Dan saya enggak bisa biarkan itu."
Si Barista menyanggah, "Saya lihat dia masukan sesuatu ke dalam minuman itu!
"Terus kenapa enggak kamu setop?" tantangku. "Kenapa enggak kamu tegur?"
Pria Korea itu tergagap-gagap mencari kata-kata. Namun, aku tidak berniat menunggunya selesai bicara. Tatapanku beralih ke pelayan yang dituduh.
"And you," panggilku, "kenapa minta maaf padahal kamu enggak salah?"
Kedua bibirnya terbuka, tetapi wanita tadi sudah menyambar duluan, "You don't know that for sure. He can still be the one who did it!"
"I know this for sure. Tapi saya melihat dia berlalu lalang dari tadi," jawabku. "Based on my observation, he didn't do anything."
"You're lying," ujar Si Barista penuh dendam kesumat. "You two are planning this together!"
"Why don't we go check the CCTV, then?" Aku mengangkat kedua alis. "Who's with me?"
Aku menatap ke sekeliling dan tiba-tiba saja satu bar dipenuhi oleh sorak-sorai para pelanggan yang menyetujui gagasanku. Aku tersenyum puas selagi berjalan ke arah pelayan yang malang itu. Aku menepuk pundaknya selagi tersenyum tipis.
"Don't worry, I've got your back," kataku. "I know you didn't do it."
Ia tidak mengatakan apa-apa. Wajahnya yang pucat mendadak berubah masam. Hal itu membuatku tercenung sesaat. Apa yang salah dari apa yang kulakukan? Ia menepis uluran tanganku dan bergegas membalikkan badan.
Sekalipun terdengar seperti suara angin yang lirih, aku bisa mendengar ia membisikkan sesuatu dalam napasnya, "Bangsat. Masalah apa lagi kali ini?"
Jantungku mencelus. Bahasa Indonesia?
*
Saya memutuskan untuk mengganti beberapa bagian percakapan di bagian ini (yang awalnya Bahasa Inggris menjadi Bahasa Indonesia) untuk memudahkan para pembaca dalam memahami alur cerita.
- Kaia K xoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
[18+] DIRTIEST SCANDAL
RomanceTOP 8 in #Explicit Category Kabur dari tanggung jawab sebagai penerus perusahaan ayahnya, Lexa Cohen-dominatrix dunia malam ibu kota-malah dipertemukan oleh seorang bocah kemarin sore yang membutuhkan bantuan. Tanpa campur tangan Lexa, Nara sudah da...