Undressing The Truth

426 24 5
                                    

Untuk kedua kalinya, kusaksikan hidup Nara sedang berada di ujung tanduk.

Tanpa pikir panjang, aku melompat keluar dari tempat persembunyianku.

"STOP!" pekikku.

Mata seluruh pria di hadapanku tertuju padaku. Para preman itu tampak terganggu, sedangkan Nara memasang raut wajah terkejut yang baru pertama kali aku lihat.

"You...," lirih Nara.

Si Bos menyahut dengan Bahasa Korea yang tidak kuketahui artinya. Yang jelas dia memekik-mekik keras selagi mengacungkan jari telunjuknya ke udara. Seluruh anak buahnya jadi terlihat waspada mendengar teriakan itu. Dapat kusaksikan bahasa tubuh mereka yang mendadak saja tegang. Dari jarak sedekat ini pun aku baru menyadari satu hal: pria-pria ini tidak terlihat seperti orang Korea. Aku menarik napas dalam-dalam.

Berteriaklah aku, "I don't understand what you're talking about, but if you are mad at this guy, trust me, so am I."

Si Bos melotot. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan Bahasa Inggris berlogat kental. Begitu mulutnya terbuka, barulah aku menyadari dari mana ia kemungkinan berasal. Itu aksen Singapura.

"This jerk," kataku sambil menunjuk Nara tepat di hidung, "owns me money. A ton shit of money."

Nara berteriak, "What the hell are you---"

"Udah ngutang masih pura-pura nggak paham!" teriakku. "Just admit it, if I haven't been so merciful, you would have been dead by now. You know the consequences of our contract, yeah? No money equals death."

Nara tergagap. "I--"

Aku mendahuluinya, "Jadi, saya punya pertanyaan,"--kutatap pria di depanku satu per satu--"kalian ini siapanya Nara? Teman? Saudara? Kalau ya, kalian harus bayar utang yang dia punya. Karena kalau enggak, saya bisa tuntut kalian semua."

Si Bos tertawa sarkastik. "Kamu pikir kamu siapa?" Ia menghunus pisaunya. "Kamu bakalan habis sebelum kamu sempat lapor ke siapa-siapa."

"Oh, kalian nggak ingin melakukan itu," kataku selagi melipat tangan ke dada. "Mungkin kalian nggak sadar kalau saya lagi diikutin drone dari perusahaan saya yang kami gunakan untuk mendokumentasi pembelotan kreditur."

Sekonyong-konyong para preman tersebut sibuk menengok ke udara, mencari-cari. Hanya Nara yang masih menatapku dengan sorot mata tak percaya. Kedua matanya seolah berteriak, "What the fuck are you doing?" Oh, percayalah. Aku pun tak tahu. Akan tetapi, improvisasi adalah salah satu bakat yang kumiliki.

"Jadi, kalau kalian nggak ada urusan lagi sama Nara, bisa tinggalkan kami sendiri?" kataku tak sabaran. "Kalian bisa balik besok, saya nggak peduli. Yang penting saya harus ngobrol sama bocah ini atau bos saya akan amat sangat marah."

Si Bos mendengus. "Lalu kenapa kalo dia marah?"

"Skenario terburuknya dia bisa aja deportasi imigran gelap seperti kalian," jawabku tenang sambil tersenyum. "Jadi, bagaimana? Apa harus saya yang pergi?"

Seorang anak buah Si Bos kurasa sedang meyakinkan bos mereka untuk pergi meninggalkan tempat. Setelah beradu pandang denganku dengan sengit, Si Bos akhirnya menyerah. Dia sempat memaki-maki Nara sejenak sebelum setelahnya berjalan menjauh dengan enggan.

Tinggallah aku dan Si Bocah. Aku menghirup udara dalam-dalam, menenangkan detak jantungku yang bertalu-talu di dalam relungku. Kedua mataku mendarat ke wajah Nara, yang masih menatapku dengan penuh kecurigaan. Aku memutar bola mata.

"Apa? Kamu bilang terima kasih? Iya, sama-sama," kataku sarkastik.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya.

Inilah ultimatum yang sudah kutunggu.

Aku mengidikkan bahu.

"Kamu pasti salah satu bagian dari mereka, kan?" tanyanya menghakimi. "Kamu pasti termasuk salah satu dari imigran gelap itu yang--"

"Oh, jadi mereka beneran imigran gelap," selaku. "Right, memang apa urusanmu dengan mereka?"

Nara tergagap.

Aku memiringkan kepala selagi menatapnya intens. Pria ini... benar-benar.

Kulangkahkan kakiku mendekatinya. Dengan setiap langkah yang kuambil, dia menjejak mundur. Tanpa ragu, kutiadakan jarak di antara kami untuk pertama kalinya. Kusaksikan teror yang berusaha dia sembunyikan di balik raut wajahnya yang tenang dan cenderung datar.

Ia pikir dia tak terbaca, tanpa menyadari bahwa seluruh tubuhnya bicara.

Selagi masih menjaga kontak mata, aku berbisik di depan wajahnya, "Kamu... juga salah seorang imigran gelap, kan?"

Pupil mata Nara melebar, mengonfirmasi hipotesis yang kupunya.

Ia mendorongku menjauh. "Jangan asal bicara."

Nara membungkuk dan mulai memunguti pakaiannya yang tercecer di tanah. Tak tahu malu, kutapakkan hak tinggiku ke atas pakaian yang ia pegang.

"Semua ini mulai masuk akal," kataku. "Dari alasan kenapa kamu menolak menuntut Song ke pengadilan, dan alasan kenapa semua orang nggak ada yang tahu pasti kamu siapa. Ternyata kamu memang sedang berusaha menyembunyikan identitas kamu, ya? Karena kamu imigran selundupan?"

Nara tak menjawab. Ia masih sibuk memunguti sisa pakaiannya dengan tergesa-gesa.

"Kamu asli dari negara mana?" tanyaku, mengetes apakah dia akan memberitahuku yang sebenarnya. "Jujur saja awalnya saya pikir kamu lokal."

Pria itu masih tak mengindahkan pertanyaanku. Dia membuka pintu rumahnya dan melangkah masuk dengan ember di tangan. Aku tertawa pahit. Inikah caranya berterima kasih setelah kuselamatkan untuk kedua kalinya?

Ini keterlaluan.

Sebelum pintu terayun menutup, bahasa ibuku mengalir dengan fasih dari kedua bibirku, "Cuaca hari ini cerah banget, ya?"

Sosoknya membeku. Seonggok pakaian basah yang ia bawa mutlak lolos dari genggamannya. Perlahan, Nara menoleh ke arahku dengan kedua mata terbelalak. Dua kali terlihat lebih gentar daripada ketika ia menghadapi todongan pisau para begundal tadi. Aku melempar senyum keindahan menyadari bahwa siasatku kali ini berhasil mengejutkannya.

Aku mengangkat alis, seolah-olah menunggu respon. "Ya, kan?" tanyaku, yang tak membutuhkan jawaban.

*

Belakangan saya dapat DM cute dari kalian para pembaca. Saya pun memutuskan untuk update because yall are just too precious. Terima kasih sudah menjadikan Woman on Top bagian dari ruang pengalaman kalian.

And, out of curiosity (just like Lexa, so you now know who this character is based on 👀) what is your wildest fantasy with a dominatrix? Inspire me, will you? Siapa tahu bisa saya jadikan inspirasi chapter selanjutnya di cerita ini :) DM me the answer.


Kaia K.
xoxo

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang