A Drunken Confession

45 1 0
                                    

Seperti yang bisa diduga, setelah Nara lari dari rumah Erick, dia memaksakan diri untuk tetap bekerja sekalipun dia sedang mengalami flu berat. Aku yang tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti khawatir pada akhirnya tetap memutuskan untuk mengikuti Nara ke Cassanove walaupun kali ini aku memilih untuk duduk di luar—mungkin agar aku tak terkesan seperti seorang penguntit.

Nara melakukan tugasnya seperti biasa, hanya saja dia mengenakan masker kali ini dan berulang kali terhuyung saat berjalan. Aku masih tidak memahami mengapa dia sangat bersikeras untuk pergi bekerja. Aku mengerti bahwa mungkin para preman kapan hari masih memerhatikannya, tetapi bukankah hal itu tidak relevan selama dia mendapatkan gaji? Tentu saja kecuali jika dia tidak dibayar jika tidak datang. Pemikiran tersebut membuat darahku mendidih. Yang bisa kubayangkan hanyalah Si Menyebalkan Cassandra. Berani-beraninya dia tidak membayar para pekerjanya dengan layak? Apa dia tahu bahwa Nara tinggal di area kumuh yang rentan penyakit?

Malam merayap dengan cepat ketika kau marah kepada dunia. Tahu-tahu saja ini sudah jam 9 malam dan shift Nara berakhir. Ia keluar dari dalam bar dan menuju ke salah satu toko kelontong yang tak jauh dari sana. Tak ingin ketinggalan, aku segera menyusul dengan berjalan kaki.

Ia membelikan dirinya sendiri beberapa botol minuman keras yang ia tegak sembari melalui jalanan sepi menuju ke halte bus terdekat. Saat dia duduk di salah satu bangku kosong yang ada, aku bersembunyi di balik salah satu tiang lampu merah—berusaha dengan seluruh kemampuanku untuk menyembunyikan diri. Hingga tiba-tiba Nara berceletuk, "Kamu pikir kamu bisa sembunyi dengan cara seperti itu?"

Aku langsung tersedak air liurku sendiri.

Lelaki itu memutar bola mata selagi menyandarkan punggung ke bangku halte bus.

"Jangan GR, saya cuma mau...," aku tergagap, "naik bus."

Dengan matanya yang setengah menutup karena mabuk, dia menatapku skeptis. "Sekalipun kamu punya mobil?"

"Mobil itu cuma mobil rental," jawabku ala kadarnya. "Jadi saya harus naik bus buat pulang."

"Emang rumahmu di mana?"

Lagi-lagi aku dibuat memutar otak. Sejatinya apartemenku hanya beberapa menit jauhnya dari Cassanove, tetapi tidak mungkin aku mengutarakan hal itu di hadapan Nara.

Aku bergumam tak jelas, "Err, anu, di...."

Lelaki itu mendengus, seolah sudah menduga reaksiku. Namun, ia tak mengatakan apa-apa. Dia mulai memejamkan mata begitu seluruh botol sojunya kandas, sedangkan aku masih memerhatikannya dari jauh seakan aku tidak punya pekerjaan lain yang lebih baik—mungkin secara teknis memang seperti itu.

"Saya enggak tahu motif kamu untuk melakukan ini semua," tutur Nara tiba-tiba. Karena jarak yang ada, aku terpaksa mendekat agar bisa mendengarnya dengan lebih baik. "Tapi selama kamu ga gangguin saya, saya enggak peduli."

"Apa selama ini saya ganggu kamu?" tanyaku, memutuskan untuk duduk di sebelahnya.

"Well, kamu membuat saya ga jadi dipenjara."

Aku seketika menyernyit. "Gimana bisa itu terhitung mengganggu?"

"Sudah saya bilang,"—ia mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan—"hidup di penjara akan jauh lebih aman daripada di luar sini."

Aku langsung memiringkan kepala. "Bagaimana bisa kamu yakin kalau kamu bakal aman di penjara?" todongku. "Siapa tahu sindikat yang kamu maksud itu bisa mengutus seseorang untuk menghabisi kamu di lapas?"

"Setidaknya dengan cara itu saya masih akan punya kematian yang layak," desahnya.

Ada banyak pertanyaan berjejalan di dalam benakku begitu kalimat tersebut keluar darinya. "Gimana bisa mati dibunuh adalah kematian yang layak...?"

"Kamu tahu,"—ia tertawa ringan, seolah apa yang dia bicarakan bukan sesuatu yang serius sama sekali—"mati dibunuh sebenernya bukan ketakutan terbesar yang saya punya. Yang paling saya takutkan adalah mati tanpa nama."

Mendengar ucapannya, aku terdiam.

"Setiap hari saya bertanya ke diri saya sendiri... apakah saya masih bisa tetap hidup hari itu karena saya enggak akan tahu kapan orang-orang itu akan menyakiti saya," jelasnya. "Bisa aja mereka memutuskan untuk membunuh saya dan menjual organ saya ke Black Market. Dengan begitu saya hanya akan jadi salah satu korban tanpa nama lain yang kematiannya enggak punya arti apa-apa."

"Tapi hidupmu berarti," lirihku, separuh tercekat.

Untuk alasan yang tidak kupahami, dia malah terbahak. "Tidak di dunia saya," jawabnya. "Ini adalah dunia di mana berarti tidaknya seseorang bergantung kepada seberapa banyak uang yang bisa dia hasilkan. Kalau dia ga berguna ketika hidup, dia bakal berguna ketika mati. Peraturannya sederhana."

Sesuatu dari ucapannya membuatku mencecap pahit di mulut. Kami memang berasal dari latar belakang yang jauh berbeda, tetapi ucapan Nara barusan secara mutlak mendeskripsikan apa yang aku rasakan terhadap kehidupan korporat yang selama ini menjadi momok bagiku: alasan mengapa aku lari dari tanggung jawab yang Papa percayakan kepadaku.

Aku tidak ingin bangun di pagi hari dan mengulangi hari yang sama seumur hidupku. Aku ingin hidup untuk mengejar kepuasan, kebahagiaan, bukan hanya untuk uang dan status. Aku ingin melampaui batas; mencoba hal-hal baru; melakukan hal yang spontan dan tak terduga. Aku ingin petualangan dan adrenalin.

Oleh sebab inilah aku mendirikan kelab malam, sebab hanya di tempat seperti inilah aku merasa nyaman untuk menjadi diriku sendiri. Tempat yang membuatku merasa aman bukanlah di balik meja mewah seorang bos di sebuah gedung pencakar langit—aku diciptakan untuk berada di luar sana, melakukan hal-hal gila yang membuatku merasa hidup, dan aku tidak akan berhenti hanya karena Papa memaksaku, atau membekukan semua rekening yang aku punya.

Jika ada niat, pasti akan ada jalan.

Lalu mengapakah Nara dihadirkan oleh semesta di hidupku? Jalan apakah yang akan aku tempuh dengannya di sampingku?

Tiba-tiba saja Nara membuka maskernya dan terbatuk-batuk. Untuk sesaat aku melupakan fakta bahwa dia masih sakit keras. Keringat seukuran biji jagung membasahi wajahnya sekalipun malam ini cenderung dingin dan berangin.

Membayangkannya harus tidur di rumahnya yang reot membuatku bergidik ngeri. Apakah dia punya pemanas ruangan? Bagaimana kalau dia akan menjadi semakin sakit karena lingkungan hidupnya tidak mendukung?

"Nara," panggilku.

Lelaki itu mendongak.

"Kamu... mau nginep di apartemen saya?"

Ketika tidak mabuk mungkin dia akan langsung menyemprotku dengan umpatan, tetapi karena menegak minuman keras dia hanya bisa terkekeh dan tersenyum ke arahku. "Kenapa?" tanyanya. "Kamu naksir sama saya?"

Ingin sekali aku menjawab, Kalau iya, kamu mau apa?

Ketika aku masih tergagu mencari jawaban, tiba-tiba dia menyandarkan keningnya ke pundakku dan berkata lirih, "Kamu itu aneh."

Napasnya menggelitikku, tetapi aku berusaha untuk menahan diri agar tidak bereaksi. "Aneh kenapa?" tanyaku lirih.

"Apa yang menarik dari saya sampai kamu melakukan ini semua?"

"Apa yang menarik dari kamu?" ulangku. Kuraih dagunya agar dia menatapku. Dengan jarak yang begitu intim aku berbisik, "Memangnya apa yang enggak menarik dari kamu?"

*

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang