Obsessive Curiosity

684 24 1
                                    

Tampaknya, apa yang menjadi dugaanku terbukti: barista Song dan wanita berkulit putih bernama Addy ternyata menjebak seorang pelayan bar. Rekaman CCTV menunjukkan semuanya. Dari adegan ketika Addy memasuki ruangan dan mulai bertukar bahasa tubuh mencurigakan dengan Song; hingga momen di mana Song memasukkan semacam bubuk putih dari vial yang ia keluarkan dari dalam kantung celananya. Sudah jelas siapa tersangkanya di sini. Namun, yang menjadi pertanyaanku hanya satu: mengapa mereka mengkambing hitamkan pelayan malang itu?

"Kamu itu sebenarnya siapa, sih, Lex?" tanya Erick, pria blesteran Amerika-Korea yang kutemui di bar kemarin. "Identitas kamu enggak jelas; baju kamu gembel; tapi bisa-bisanya nyogok polisi buat usut kasus sepele kayak gini. Kamu ini imigran gelap, ya? Ayo ngaku!"

Singkat cerita, setelah mengetahui kebenaran yang ada, aku menelepon polisi agar Song dan Addy segera dihakimi dengan hukum yang ada. Namun, pelayan pria lembek itu malah berkata jika dia bersedia memaafkan tuduhan itu dan mencabut seluruh tuntutan hukum. Pertanyaanku kembali bermunculan: mengapa ia membebaskan kedua orang brengsek itu, dan mengapa dia bersikap seolah ini semua bukan apa-apa? Maksudku, jika aku tidak maju untuk membelanya, mungkin dia sudah ada di balik jeruji besi sekarang.

Mendengar celotehan Erick, aku menjawab, "Sekalipun betul saya imigran gelap, setidaknya saya punya uang untuk bayar informasi apa pun yang keluar dari mulutmu. Jadi, beritahu saya. Who the hell was that man?"

"Sebelum jawab pertanyaan kamu, saya juga punya pertanyaan," jawab Erick. "Kenapa kamu tertarik banget untuk mengetahui identitas Nara?"

Nara. Tidak terdengar seperti nama orang Indonesia.

Aku menggeleng. "I don't know, not gonna lie. Saya hanya ingin tahu siapa cowok yang 'terlalu baik' ini," jawabku. "I mean, you saw what he did, right? Apa coba yang jadi alasan dia untuk tidak menuntut secara hukum?"

"Dia salah satu pelayan baru di bar ini. Dan, berkaca dari desas-desus yang ada, memang sepertinya lebih untung bagi Nara untuk enggak macam-macam."

"Desas-desus apa yang kamu maksud?"

"Kalau Song is actually having an affair dengan pemilik bar ini," jawab Erick. " sudah dekat beberapa tahun belakangan. Tapi, begitu Nara kerja di sini, kayaknya Si Madam tertarik dan mulai lebih sering hang out dengan Nara."

Aku mengangguk-angguk pertanda mengerti. "Dan akhirnya untuk menyingkirkan Nara, Song harus bikin seolah-olah Nara melakukan sesuatu yang buruk, sehingga harus dipecat," gumamku. "Supaya enggak ada lagi yang bisa mengganggu hubungan Song dan Si Madam."

Erick memangutkan kepala. "Exactly," ujarnya selagi meneguk anggur merah. "Fucked up, right? Saya enggak nyangka kalau hal seperti ini bisa terjadi di dunia nyata."

Aku mendesah. "Real world is weirder than fictions, indeed," sahutku. "Lalu, apa lagi?"

"Tentang Nara?"

Aku mengangguk.

"Enggak banyak, honestly," jawab Erick. "Dia masih relatif baru di sini dan terkenal pendiam. What do you expect?"

"Is he a Korean?"

"Lho, memangnya bukan?"

"Lah, kan saya yang nanya," ujarku gemas.

"Itu menarik," komentar Erick dengan dahi . "Saya enggak pernah kepikiran kalau dia bukan orang Korea. Logat, wajah, dan tata kramanya, enggak ada bule-bulenya. Tapi, siapa yang tahu? Kalian berdua memang sama-sama enggak jelasnya."

Aku tertawa lepas. "Oh, Erick, thank you for this," kataku. "Saya jadi tahu harus ngapain selama saya di Korea."

"Which is?"

"Being a spy!"

*

Erick sama sekali tidak menyebutkan kata 'Indonesia' ketika kami membicarakan Nara. Apa dia blesteran seperti Erick? Apa dia hanya kebetulan saja bisa berbahasa Indonesia? Aku bersumpah aku tidak berhalusinasi ketika Nara mengumpatiku dengan bahasa ibuku. Dan, yang lebih mencurigakan: mengapa tidak ada yang tahu asal-muasal Nara?

Aku baru bertemu pria itu sekilas beberapa hari lalu. Akan tetapi, segala informasi yang aku dapat dari Erick mampu menyulut rasa penasaranku sampai ke ubun-ubun. Sejak itu pula aku mulai menjadi pelanggan tetap bar ini.

Aku sengaja menempati sebuah apartemen sederhana yang tidak jauh dari lokasi bar. Sekalipun perhatianku tercurahkan kepada pria misterius tersebut, aku tetap mengimbangi semua rutinitasku dengan misi besar yang aku punya: untuk tidak ditemukan oleh Papa. Jadi meskipun bar tempat Nara bekerja merupakan bar yang tergolong elit, aku hanya menggunakan sweatshirt dan sepatu kets untuk masuk ke sana. Bolak-balik aku menerima tatapan aneh, tentu. Namun, orang-orang skeptis tersebut terdiam begitu melihat kartu hitam di dompetku.

Inilah realita tragis dari kemanusiaan. Semua orang ingin terlihat kaya serta dipuja-puji dan bukannya memperkaya diri sendiri.

"Let me take another guess," ujar Erick selagi menyesap minumannya. "Kamu ingin kerjain Nara?"

"Bukan 'kerjain', lebih tepatnya, menyelidiki," koreksiku.

"Same thing for me," katanya ringan. "Kenapa?"

Aku tertawa lepas. Sialan, satu pertanyaan simpel itu mampu membuatku mati gaya.

Itu benar. Untuk apa aku melakukan ini?

"Out of curiosity," jawabku sekenanya. "Saya sudah kasih tahu kamu kapan hari."

"Dan kamu pikir saya percaya?" Erick mengangkat satu alisnya penuh curiga. "Lexa, saya enggak bodoh, oke?"

"Enggak ada yang bilang kamu bodoh, Erick," kataku. "Jeez, can you just let me be?"

"No way in hell!" serunya tertahan. "Kamu mungkin penasaran dengan Nara, tapi saya penasaran dengan kamu."

Aku membeku untuk sepersekian detik setelah mendengar ucapan Erick. Mendadak saja aku tahu ke mana percakapan ini akan mengarah. Oleh sebab itu, aku tersenyum miring.

"Oh, really?" tanyaku. "Why?"

"Siapa kamu sebenarnya?" ujar Erick dari seberang meja.

Kedua bola matanya yang kecokelatan menelusuri setiap inci wajahku, seakan mencari jawaban. Jawaban yang tidak seharusnya Erick cari karena ia tidak akan ada. Aku pun memandangnya tanpa gentar. Kuperhatikan garis wajahnya yang tegas dan guratan-guratan maskulin yang ia punya di kening dan sudut bibirnya. Terkadang aku lupa jika Erick nyaris 10 tahun lebih tua dariku. Namun, aku rasa itulah sebabnya aku betah bercengkrama dengannya untuk waktu yang lama: kedewasaan adalah salah satu kualitas seduktif yang selalu menjadi kelemahanku.

Hal itu kembali memberikanku pencerahan seketika: jika pria seperti Ericklah tipeku, mengapa aku malah...?

"Apa sebenarnya yang ingin kamu sembunyikan?" lirih Erick. "Kenapa kamu lari?"

"Apa kamu pernah berfantasi untuk memulai hidup baru?" aku malah balik bertanya. "Pergi ke suatu tempat yang jauh, yang tidak akan ada orang yang mengenal kamu, dan memulai segalanya di sana dari awal?"

Erick terlihat berpikir untuk beberapa saat. "Hmm... saya rasa pernah," katanya. "Tapi itu hanya imajinasi sementara yang saya pikirkan ketika saya lagi down."

"Bedanya," kataku, "dalam kasus saya, memulai kehidupan baru adalah satu-satunya hal yang bisa membebaskan saya."

"Membebaskan kamu?" ulang Erick. "Memang apa yang mengekangmu?"

Ayah kandungku sendiri.

Kutelan bulat-bulat jawaban yang ada di ujung lidahku. Aku mendesah lirih. "Saya akan jawab pertanyaanmu dengan satu syarat."

"I'm listening."

"Cari tahu alamat Nara untuk saya."

*

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang