A Bad Habit that is So Hard to Quit

224 10 3
                                    

Ini adalah sebuah dilema yang tidak pernah kusangka akan kualami di dalam hidupku. Memangnya harus dengan cara apa aku harus membuat Nara bicara? Sekalipun aku ingin membantunya, ini membuatku sadar kalau aku sendiri juga sedang berusaha menghindari Papa dan apa pun yang berhubungan dengannya. Maksudku adalah... bagaimana aku hendak membantunya tanpa mengumumkan kepada dunia kalau aku sedang ada di Korea Selatan?

"Kamu terlihat sangat tegang," celetuk Erick begitu melihatku yang tidak sibuk berbicara seperti biasanya. "Ada apa?"

Aku berusaha untuk memaksakan senyum. "Enggak apa-apa." Aku memang belum menceritakan kepadanya masalah aku yang sudah mengetahui apa yang terjadi kepada Nara. Mau bagaimana pun, Erick adalah orang asing yang baru aku kenal beberapa bulan terakhir. Siapa yang tahu kalau tiba-tiba dia melaporkan lelaki itu ke polisi?

Musuh terbesar masyarakat kalangan atas adalah sesamanya.

Erick mendesah ringan. "Ayolah, jelas kelihatan di wajah kamu kalau kamu lagi mikirin sesuatu," ujarnya. "Apa yang lagi kamu pikirin?"

Kubuang napas lelah kemudian menatapnya. Namun, pikiranku tidak berada di sana. Kedua mataku masih secara konstan mencari-cari Nara yang entah mengapa tidak datang-datang walaupun ini sudah melewati jadwal normalnya. Ini merupakan sebuah fenomena langka. Yang namanya Nara sama sekali tidak pernah terlambat datang.

"Kamu pikir," lirihku kepada Erick, "menggunakan ancaman untuk meyakinkan orang lain untuk melakukan sesuatu itu adalah pilihan yang bijak?"

Erick memerengut begitu mendengar pertanyaanku yang nyeleneh. "Apa-apaan yang kamu maksud?"

Aku pun dibuatnya tertawa renyah. "Bayangkan kalau seseorang sedang ada dalam bahaya," aku menjelaskan selagi berusaha untuk tidak memberikan detail yang terlalu spesifik, "dan kamu adalah satu-satunya orang yang bisa selamatkan dia. Tapi, somehow orang ini menolak untuk diselamatkan. Kalau kasusnya seperti ini, apa kamu akan diam aja atau tetap berusaha menolong dia? Sekalipun menggunakan ancaman adalah satu-satunya cara supaya dia nurut?"

"Tunggu." Pria di depanku memandangiku dari atas hingga bawah, seolah mencari secercah kebohongan yang ada di tubuhku. "Kamu ini... lagi ngomongin siapa...?"

Mendesah beratlah aku. "Ini cuma analogi, Erick," jawabku frustasi, yang sejatinya tidak bohong juga. "Apa yang kamu lakukan kalau kamu adalah saya?"

"Saya punya pertanyaan." Dari wajahnya aku tahu kalau pria ini pasti sedang berpikir keras. "Apa yang menjadi alasan orang ini untuk tidak mau diselamatkan? Kalau ini memang menyangkut masalah hidup dan mati, menolak untuk ditolong itu terdengar bodoh buat saya."

Aku hampir menggebrak meja saking setujunya aku. "Iya, kan?!" seruku tertahan. Beberapa orang di sekitar kami langsung menoleh dan berbisik, yang sontak membuatku menurunkan suara. "Itu bego banget, kan?"

"Tapi, pasti ada alasan kenapa orang ini nolak," ujar Erick, dahinya berkerut. "Kira-kira apa yang membuat dia melakukan itu...?"

Satu pertanyaan yang terdengar sepele itu mampu membuatku turut berpikir. "Mungkin...," lirihku, "dia merasa kalau enggak ada yang bisa dia lakukan untuk mengubah situasinya."

"Tapi bukannya itu tujuan kamu di sana?" Erick mengangkat satu alisnya. "Mungkin dia memang sudah terbiasa mengalami situasi yang seperti itu sampai dia hilang harapan. Terkadang bukannya wajar bagi manusia untuk merasa putus harapan sekalipun harapan itu berada jelas di depannya...?"

"Jadi kamu bilang... dia terbiasa mengalami kondisi yang begitu...?" aku merangkum perkataannya dengan hati-hati.

Erick mengidikkan bahu acuh. "Bisa jadi," katanya. "Lagian, kenapa kamu enggak tanya langsung aja?"

"Ide bagus," jawabku. Tanpa banyak bicara, aku langsung bangkit berdiri. Di saat itu juga Erick mencegat pergelangan tanganku.

"Kamu mau ke mana...?"

"Kamu sendiri yang bilang." Aku malah menatapnya dengan wajah tidak mengerti. "Saya harus tanya langsung ke dia...?" Kulepaskan tanganku darinya dan segera menghilang di tengah hiruk-pikuknya bar. Kudengar Erick memanggil beberapa kali, tetapi aku mengabaikannya dan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.

Akan kuakhiri semua dilema ini malam ini juga.

*

Sekalipun aku memiliki ingatan yang tajam, agak menyesakkan bagiku untuk mengingat-ingat suasana deretan rumah yang ada di sekitar tempat tinggal Nara. Semuanya terlihat menyedihkan dan berbau matahari mengingat ini adalah musim panas. Seperti biasanya, hanya ada beberapa jalan utama yang bisa dilalui oleh mobil. Aku jadi harus turun dan berjalan kaki. Selagi melampaui gang-gang sepi dan gelap tersebut, aku berusaha mengurutkan skenario yang barang kali bisa terjadi.

Aku yakin Nara akan kembali menolakku. Namun, setidaknya kali ini aku berniat untuk membuatnya sadar kalau dengan menerima bentuanku, dia memiliki peluang untuk membebaskan dirinya dari jerat semua orang yang berusaha memanfaatkan ketidaktahuannya terhadap dunia.

Bukankah itu menyedihkan? Memiliki niat tulus untuk membuat hidupnya lebih baik, tetapi kesempatan itu direnggut begitu saja darinya. Dalam kasus ini pun bukan hanya kesempatan yang telah dirampas dari Nara, tetapi juga masa depannya.

Aku tidak ingin mengakui kalau aku ini adalah orang yang baik—nyatanya selama ini aku telah melakukan apa pun untuk bertahan, kurang lebih seperti Nara—tetapi melihatnya mengingatkanku kepada diriku di masa lalu.

Memangnya apa yang sedang kualami ini? Hasil dari trauma masa laluku?

Astaga, lebih baik aku tidak usah memikirkannya. Karena semakin aku mempertanyakan motifku sendiri, alih-alih berjalan ke arah rumah Nara, aku malah ingin melarikan diri dari sini.

Maksudku, buat apa pula aku mengurusi masalah orang lain...?

Lexa, ini adalah kebiasaan burukmu. Mengapa kau tidak bisa meninggalkan orang lain sendiri...? batinku meraung-raung.

Tidak perlu waktu lama bagiku untuk sampai di depan pintu lelaki itu. Dari jendelanya yang buram—yang langsung terhubung dengan kamarnya yang sederhana—aku bisa melihat siluet Nara yang sedang duduk di atas lantai. Di hadapannya ada sebuah meja belajar sederhana, dia sedang membaca sesuatu. Kuulurkan kedua tanganku ke depan, tetapi sontak terhenti begitu kudengar suara isakan lirih dari dalam. Spontan aku langsung menolehkan kepalaku ke arah jendela.

Kusaksikan Nara yang kini tengah memeluk lututnya sendiri dan membenamkan wajah di atasnya. Pundak lelaki itu berguncang lirih, dan dia mengatakan sesuatu dalam Bahasa Korea yang tidak aku mengerti.

Melihatnya yang begitu menyedihkan, rasa frustasi hinggap dalam dadaku. Mengapa pula lelaki ini menolak bantuanku sekalipun dia tahu kondisinya ini membuatnya menderita? Apa dia pikir aku tidak mampu menolongnya? Dia pikir aku ini siapa?

Oleh sebab itu, aku mengetuk pintunya keras-keras. "Nara, lo di dalem?" tanyaku dalam Bahasa Indonesia. "Gue tahu lo di dalem. Buruan buka pintunya."

Kulirik dengan ekor mataku lelaki itu mengusap air matanya sendiri kemudian bangkit berdiri. Sepersekian detik kemudian, pintu dibuka dan wajahnya yang sembab sudah berada di depanku. Aku memandanginya untuk beberapa detik—memastikan apakah dia masih ingin menangis—tetapi yang aku temukan hanya amarah dan frustasi, kurang lebih sama seperti apa yang aku rasakan.

Wajahnya yang sempat sendu langsung penuh dengan rasa kesal begitu dia melihatku. Astaga, bukankah seharusnya aku yang merasa demikian?

"Ngapain lo ke sini?" dia bertanya ketus.

"Gue cuma mau nanya," ujarku tanpa tedeng aling-aling, "apa yang bikin lo ga yakin kalo gue ga bisa bantuin lo?"

Dia mendesah kasar. "Harus berapa kali gue bilang?" ia malah balik bertanya. "Lo ga tahu siapa mereka, dan—"

"Dan sayangnya, lo juga sama sekali ga tahu gue siapa," selaku dengan tatapan berkilat-kilat. "Iya, kan...?"

Nara menelan ludah.

*

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang