Aku tidak sepenuhnya memahami apa yang keduanya sedang bicarakan. Namun, aku yakin ada sesuatu dari masa lalu Erick maupun Michaela yang tidak aku ketahui.
"Mic, saya enggak melakukan apa pun, oke?" tegas Erick lagi, kali ini penuh dengan penekanan.
"Tapi kamu udah janji kalau—"
"Saya masih memegang janji saya," sela Erick mulai terlihat putus asa. "Yang saya lakukan cuma sekadar mencari jati diri Nara yang sebenarnya, saya enggak punya niat yang lebih dari itu. Kamu enggak perlu khawatir."
Michaela menggelengkan kepala, separuh tidak percaya dengan apa yang baru saja kakaknya tersebut katakan. Erick meraih kedua bahu wanita tersebut, hanya untuk kembali ditepis dengan gerakan defensif. "Don't touch me," desis Michaela sebelum setelahnya berjalan meninggalkan kami berdua.
"Michaela!" pekik Erick, hendak menyusul adiknya tersebut. Namun, aku mencegat tangannya. Tatapan pria tersebut pun jatuh kepadaku dan aku memaksakan sebuah senyuman kecil.
"Biarin dia sendiri dulu," lirihku. "Enggak ada gunanya bicara saat kalian berdua tidak sedang berpikir dengan jernih."
Pada akhirnya Erick membuang napas panjang. Wajahnya tampak carut-marut. Belum pernah aku menyaksikan pria ini membuat ekspresi yang seperti itu. Dia selalu terlihat tenang, ramah, dan berwibawa. Aku jadi tahu mengapa dia memalsukan pertunangannya sendiri. Lagi pula, rahim siapa yang tidak akan menjadi hangat hanya dengan melihat parasnya?
Aku. Aku tidak merasa demikian.
Mengapa? Oh, ini bukan pertama kalinya bagiku menyaksikan seonggok daging segar sepertinya. Aku membicarakan tentang kebiasaan. Bekerja di industri ini selama bertahun-tahun, lambat laun membuat seleraku menumpul.
Maksudku, kalau aku waras, mungkin aku sudah mencari pria seperti Erick. Akan tetapi, aku malah berakhiran menyelamatkan seorang bocah yang amat jauh dari tipeku.
Aku tidak memahami sepenuhnya apa yang kulakukan. Dan aku membenci mempertanyakan diriku sendiri.
"Sori, Lex," desah Erick setelah mampu menguasai dirinya kembali. "Enggak seharusnya kamu melihat yang barusan." Dia tertawa lepas selagi berjalan menjauh dariku. Aku tahu pria ini tidak lagi bisa menatapku di mata.
"Jangan minta maaf," sahutku ringan selagi mengikutinya ke dapur. "Saya udah lihat banyak hal yang lebih parah daripada perdebatan verbal seperti yang barusan."
Erick mengeluarkan beberapa buah yang sudah dipotong dari kulkasnya kemudian menarik sebuah blender yang ada di bawah kabinet. Satu hal yang aku ketahui adalah pria ini terobsesi dengan jus buah-buahan. Dia bisa berbicara mengenai berbagai jenis buah yang sudah dia coba dari seluruh dunia. Terkadang karena kesal mendengarkan aku menyuruhnya untuk jadi tukang jus saja.
"Oh, ya?" Ia mengangkat satu alisnya. Tangannya dengan cekatan memasukkan potongan buah yang ada di atas meja ke dalam mesin penghancur. "Memangnya hal apa lagi yang sudah kami lihat?"
Aku tertawa lepas selagi mencomot seonggok pisang yang ada di sisinya. Sepersekian detik setelahnya buah tersebut sudah mendarat di atas lidahku, membuatku begidik karena dingin rasanya ia. "Bisa dibilang mungkin kita punya sejarah yang enggak jauh berbeda."
"Memangnya kamu tahu sejarah saya?" Ia meringis geli.
Aku mengidikkan bahu. "Dari apa yang saya dengar, kamu pernah terlibat dengan orang-orang yang tidak baik," aku berceletuk tanpa malu. "Saya juga begitu."
Senyuman Erick perlahan-lahan sirna. Percakapan tersebut digantikan oleh suara nyaring yang berasal dari blender yang baru saja dia nyalakan. Untuk sesaat kami hanya berdiri di sana, tidak yakin dengan apa yang seharusnya kami lakukan. Aku menyadari kalau Erick merasa tidak nyaman—bahasa tubuhnya tersebut tidak bisa berbohong. Sekalipun aku mengalihkan pandangan, aku dapat merasakannya mencuri pandang ketika aku sibuk memasukkan buah-buahan yang ada ke dalam mulutku.
Yang kuketahui darinya adalah dia tidak pernah secara terbuka mengakui ketertarikan yang dia rasakan kepadaku. Entah untuk alasan apa.
Oleh sebab itu, aku mendekatinya.
"Sebenernya Michaela bukan satu-satunya orang yang tersinggung di sini," desahku. Aku ingin merapatkan tubuh kami berdua, tetapi aku sadar diri kali ini.
Bukankah Erick berpura-pura kalau dia bertunangan untuk sebuah alasan? Firasatku mengatakan kalau dia tidak menyukai wanita yang gampangan. Dan aku tidak ingin terkesan seperti wanita yang tidak dia sukai.
Aku ingin membuatnya menginginkanku. Aku ingin membuatnya merasa ketakutan akan seberapa besarnya dia menginginkanku.
"Maksud kamu apa?" Ia tertawa canggung selagi mematikan mesin yang tadinya berdesing kencang. "Kamu... juga marah sama saya?"
Aku memangutkan kepala selagi berkacak pinggang. "Kenapa kamu bohong ke saya kalau kamu udah tunangan?"
"Apa yang Michaela bilang itu benar," ujarnya yang mirip seperti suara orang yang sedang berkumur.
"Kamu enggak mau dikejar-kejar wanita?" Aku memiringkan kepala, menuntut penjelasan.
Bukannya menjawab, dia malah mengidikkan bahunya. "Something like that."
"Oh, jadi kamu mikir kalau saya ini... bakal godain kamu, begitu?" Aku tersenyum miring.
Senyumnya yang kaku tampak di bibirnya. "Awalnya saya kira kamu sama seperti wanita lain yang pernah saya temui."
"Jadi sekarang kamu berubah pikiran?"
Ia mendesah resah. "Kenapa kamu nanya tentang hal-hal yang seperti ini?"
"Karena saya ingin penjelasan dari kebohongan yang selama ini udah kamu beritahu ke saya," jawabku tanpa tedeng aling-aling.
"Kalau kamu tersinggung, saya minta maaf, oke?" ujar Erick selagi menatapku di wajah sekalipun hanya untuk sekilas. "Saya cuma melakukan sesuatu yang saya rasa benar."
"Apa menyelidiki Nara sendiri juga merupakan salah satu hal yang kamu rasa benar?" Kutatap dia tajam. "Saya masih belum sepenuhnya paham dengan motif kamu di sini."
"Dulu kamu minta tolong saya untuk dapatkan alamat bocah itu," desah Erick, terlihat pasrah di bawah mataku yang menghujamnya tanpa ampun. "Dan itu yang saya lakukan. Tapi agen saya bilang kalau ternyata Nara itu mencurigakan, jadi saya minta dia untuk investigasi lebih lanjut."
"Dan sekarang begitu kamu tahu siapa dia," kataku, "apa yang akan kamu lakukan?"
Tiba-tiba saja dia mencampakkan pisau pemotong yang tadi dia genggam. Wajahnya bersemu kemerahan dan alisnya bertautan.
Apakah aku baru saja membuat Erick yang selalu tenang naik pitam?
Ini pasti mengasikkan.
"Saya enggak tahu apa yang kamu pikirkan tentang saya,"--tiba-tiba saja dia berjalan perlahan ke arahku--"tapi yang jelas apa pun yang akan saya lakukan, melaporkan Nara ke polisi sama sekali tidak ada di dalam to do list saya."
"Kenapa tidak?" tantangku. Sekalipun wajah Erick kini sudah berada di depan hidungku, aku sama sekali tidak bergeming. Aku tetap berdiri di sana, tanpa keraguan di mataku memandangnya lurus-lurus. "Bukannya lebih mudah untuk melaporkan dia ke polisi? Daripada menampung dia di sini, dengan potensi akan ada yang mengira kamu membantu seorang imigran gelap?"
"Saya jelas bisa mengatakan hal yang sama ke kamu," desis Erick di depan bibirku. "Kenapa kamu berkorban buat bocah itu? Sekalipun kamu sendiri sedang dalam penyamaran, entah apa pun itu yang berusaha kamu lepaskan?"
Mendengar ucapan Erick, tiba-tiba saja lidahku kelu. Apa yang dia katakan itu benar adanya. Dan fakta kalau tenryata dia menyadari ini semua semakin membuat perutku melilit rasanya.
"Kenapa?" Ia tertawa, sebuah tawa jahat yang belum pernah kudengar sebelumnya. "Kamu enggak bisa jawab...?"
Tubuh pria ini kokoh menantangku yang ada di depannya. Tatapan Erick yang intens seolah menanggalkan pakaianku satu demi satu, yang secara suka rela kuhayati detik demi detiknya.
Erick yang berdiri menjulang tepat di hadapanku ini bukan Erick yang aku kenal. Dia tidak seharusnya menjadi seperti ini.
"Kamu boleh mempertanyakan saya, Lexa," ia mendesah di samping telingaku. "Tapi, perlu diingat kalau yang motifnya paling mencurigakan di sini adalah kamu, bukan saya."
Aku menahan napas.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
[18+] DIRTIEST SCANDAL
RomanceTOP 8 in #Explicit Category Kabur dari tanggung jawab sebagai penerus perusahaan ayahnya, Lexa Cohen-dominatrix dunia malam ibu kota-malah dipertemukan oleh seorang bocah kemarin sore yang membutuhkan bantuan. Tanpa campur tangan Lexa, Nara sudah da...