Lucas lagi-lagi hanya bisa mengerjapkan mata begitu mendengar apa yang kuucapkan.
"Gue cuma pingin ngobrol," ulangku. "Apa gue salah kalo gue pingin—"
"Cut the crap already," sela Lucas. "Jangan sok-sokan polos, oke? Kita berdua tahu apa yang sebenernya—"
"Gue enggak tahu apa yang lo pikirin tentang gue, tapi gue rasa adu mulut di publik cuma bakal nambah-nambahin masalah lo," potongku, tak mau kalah. "Don't you agree?"
Ucapanku seketika membuat Lucas kembali bungkam. Dia terlihat mengedarkan pandangannya sekilas ke seluruh penjuru kelab. Menyadari seisi kelab ini sedang memandangi kami berdua dengan raut wajah penasaran, pria ini langsung menghempaskanku ke belakang. Ia kemudian berdecak keras-keras.
"Kalo bukan karena bad rep gue, lo udah abis," desis Lucas seraya mengenyakkan tubuhnya kembali ke sofa.
Aku mengangkat kedua alis dan turut mendaratkan pantat ke tempatku semula. "Thank God lo sadar kalo reputasi lo jelek."
Lucas mendengus keras-keras, tetapi tak menanggapi ucapanku yang jelas tepat sasaran. Sebagai jawaban, pria itu malah lanjut mengabaikanku. Dia sudah sibuk meneguk alkoholnya tanpa melirik sedikit pun ke arahku, yang—secara teknis—seharusnya susah untuk dia lakukan.
Pakaian yang kukenakan seharusnya membuat bagian bawah tubuh pria mana pun menegang. Dress berwarna red wine sudah memeluk tubuhku yang berisi dan dengan mutlak memamerkan setiap lekuk ada. Desainnya yang strapless pun tanpa malu mengekspos bahuku yang jenjang dan dadaku yang selalu membuat para kaum adam menyebut-nyebut nama Tuhan. Rambutku memang sengaja kuikat ke atas dengan gaya yang berantakan—tetapi tetap seksi—karena aku dengan baik hati membiarkan orang-orang mengagumi tubuh bagian depanku tanpa gangguan.
Bukankah aku orang yang baik?
Aku tidak berniat untuk terdengar narsisistik, tetapi apabila Lucas tidak merasa bergairah sedikit pun saat melihatku, kurasa dia harus mulai mempertanyakan seksualitasnya sendiri.
"Jadi," kataku sejurus kemudian, "apa yang bawa lo ke sini?"
Lucas melirikku sekilas, lalu kembali membuang muka. "Bukan urusan lo."
Aku tersenyum manis. "Gue tebak paparazi udah mulai tahu kelab tempat lo biasa nongkrong," kataku. "Lo terpaksa ke sini karena ini kelab yang setidaknya belum pernah lo singgahi. Apa gue bener?"
Lucas tampak mengulum bibirnya sendiri, raut wajah mengeras. Bahasa tubuhnya membuatku mau tak mau tertawa merdu.
Itu artinya 'ya.'
"Menurut lo kelab ini gimana?" tanyaku lagi.
"Fine," jawab Lucas singkat.
Kedua mataku masih memerhatikan pria di depanku. Lantaran terlahir tanpa urat malu, aku terus mengamati Lucas dari atas hingga bawah tanpa sedikit pun merasa ragu. Pria itu jelas sudah mabuk saat ini. Wajahnya yang pucat saat ini bersemu kemerahan. Tatapannya jadi sayu dan ia sesekali mengggelengkan kepalanya sendiri—seakan-akan itu akan menepis fakta kalau barangkali ia akan pingsan sebentar lagi.
"Belakangan... ngeselin banget, kan?"
Untuk pertama kalinya, tatapan Lucas jatuh padaku.
Aku membuang napas lelah. "Banyak beberapa orang di sana yang makan dengan cara ngejelek-jelekin orang lain," sambungku. "That makes life feel like a bitch sometimes, yeah?"
"Fuck, it's a bitch all the time," sahut Lucas nyaris seketika.
Reaksinya membuatku tertawa lepas. "Gue paham kenapa lo bisa bilang gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[18+] DIRTIEST SCANDAL
RomanceTOP 8 in #Explicit Category Kabur dari tanggung jawab sebagai penerus perusahaan ayahnya, Lexa Cohen-dominatrix dunia malam ibu kota-malah dipertemukan oleh seorang bocah kemarin sore yang membutuhkan bantuan. Tanpa campur tangan Lexa, Nara sudah da...