Teasing a Stoic Man

41 2 0
                                    

Bekerja di industri ini membuatku memahami kalau tidak seharusnya siapapun menilai orang lain berdasarkan apa yang tampak di luar. Bisa saja orang yang terlihat paling agresif malah menjadi sosok yang begitu jinak dan pasif di ranjang. Aturan yang sebaliknya juga berlaku. Yang menjadi dugaan pertamaku begitu melihat Erick adalah—berdasarkan kesan yang dia berikan—bahwa dia sosok yang mungkin tidak memiliki preferensi yang aneh-aneh kalau sudah menyangkut masalah ranjang.

Bagaimana tidak? Dia adalah pria di awal 40-annya yang memiliki hidup yang bisa kubilang cukup bisa ditebak dan membosankan. Memangnya apa lagi yang akan memuaskannya di ranjang kecuali vanila yang tidak ada seru-serunya?

Kendati demikian, sosok yang berdiri di depanku saat ini jelas bukanlah seseorang yang sesuai dengan identitas Erick yang selama ini ada di dalam kepalaku.

Siapa sebenarnya dia...?

Sebelum aku terlarut ke dalam sebuah jangkar waktu mematikan tersebut, aku segera membuang wajah selagi tertawa nyaring. "Jus yang ini buat saya, ya?" celetukku, berusaha untuk mencairkan tekanan di udara yang untuk sesaat menyulut hasratku.

Erick pun—dari bahasa tubuhnya—sudah kembali menjadi dirinya yang sebelumnya. Dia sekarang jadi tampak malu-malu dan aku sendiri tidak keberatan. Berikan apa pun kepadaku selain Erick yang terlihat siap menerkamku hidup-hidup.

Aku tidak ingin hilang kendali di saat seperti ini. Tidak ketika nasib Nara yang ada di dalam kamar sana bergantung sepenuhnya kepadaku.

"Saya mau bawakan ini untuk Nara," ujarku ringan selagi berjalan ringan menuju di mana bocah tersebut berada. Namun, Erick segera mencegat tanganku kuat-kuat hingga aku menjerit lirih. Jus jambu yang ada di genggamanku secara mutlak mengotori bagian depan pakaianku—yang otomatis membuat kaus tipis ini mempertontonkan apa yang ada di baliknya: bra berwarna hitam tanpa busa.

Merasakan dinginnya minuman tersebut di atas kulitku, puncak payudaraku menegang.

Aku tertawa renyah. "Oops, saya rasa saya harus ganti baju," ujarku ringan. Aku mendongak. "Erick, saya bisa pinjam baju—"

Ucapanku tertelan begitu kusaksikan tatapan Erick yang telah jatuh kepada belahan dadaku, menyaksikanku dengan sorot mata kelaparan—seolah dia adalah binatang buas yang entah kapan terakhir kali mendapat jatah.

Dengan cara inikah aku melihatnya selama ini? Penuh keputus asaan? Penuh gairah yang tidak tersampaikan?

Menyadariku yang memerhatikannya, Erick langsung berdehem dan membuang muka. "Um, sori. Biar saya ambilkan kamu baju gan—"

"Ada satu hal yang harus kamu lakukan dulu." Kuraih tangannya sebelum dia benar-benar beranjak dari tempatnya berdiri.

"Y-ya?" ia tergagap.

"Ini.. bra favorit saya," desahku.

"Dan...?" Dia memandangiku dengan wajah campur aduk. Antara ingin melihat, tetapi takut tidak sopan. Antara mengetahui maksudku, tetapi tidak ingin terkesan mesum.

Astaga, apa yang lebih menggemaskan daripada ekspresinya saat ini...?

"Kamu harus tanggung jawab," ujarku, separuh tertawa.

"Kamu mau saya belikan kamu bra...?" Alisnya bertautan.

"Enggak," jawabku. Kuraih tisu yang ada di atas meja dan kuserahkan kepada Erick. Dia menerima benda tersebut masih dengan wajah kebingungan. "Kamu harus bersihkan sebelum nodanya meresap terlalu dalam."

"Ke dalam apa?" celetuknya lirih.

Aku langsung tertawa lepas. "Ke dalam apa? Kamu pikir apa? Belah dada saya?" godaku. "Tentu saja ke dalam kainnya. Silly."

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang