Earthquake at the Back of a Cop Car

460 18 0
                                    

Lucas memang selalu menjadi sosok yang sensasional. Dialah seorang publik figur yang menjadi cerminan ideal seorang playboy kelas kakap; dan mengandalkan tubuhnya yang kekar dan bertato untuk menjual lagu-lagunya yang tak kalah scandalous dari personanya. Tidak akan ada yang pernah mengira jika dulu Lucas merupakan seorang mantan polisi.

Aku ingat betul saat terjadi penyergapan sindikat penjualan manusia yang marak terjadi antar negara Singapura, Jepang, dan Cina yang melibatkan Lucas. Tidak, tidak. Dia bukan tersangka. Kepolisian membutuhkan kemahirannya dalam melacak keberadaan oknum-oknum yang berpotensi menjadi dalang utama kasus antarnegara itu. Lucas pun akhirnya didinaskan di luar kota guna secara langsung sekalipun pada saat itu dia sudah resmi berhenti menjadi polisi. Lantas tiada angin, tiada hujan, Lucas mencidukku bersamanya.

Awalnya kami berdua sedang memantau pergerakan orang-orang mencurigakan dari dalam sebuah mobil. Namun, entah bagaimana tiba-tiba salah satu tangan Lucas sudah merayapi kedua pahaku yang berbalut jins ketat; dan yang kuingat setelahnya adalah kami berdua yang menenggelamkan diri di kursi belakang mobil selagi menjamah satu sama lain seakan kami tidak berada di sana untuk sebuah misi.

"Lo ngapain?" ujarku kebingungan. Aku tahu ini tidak masuk akal, tetapi tidak semua hal dalam hidup memiliki penjelasan yang konkrit, bukan? Alih-alih menuntut jawaban, kulucuti pakaianku.

"Ini bagian dari misi," katanya, terbahak lembut. Kedua bibirnya langsung mendarat mantap di puncak putingku yang kini telah menggantung bebas. Rongga mulutnya menghisapku kuat-kuat, mengirim geletar ekstasi ke seluruh tubuhku.

Aku melenguh keras. "How is that even possible?"

"Lo liat snipper yang ada di atas sana?"

Tanpa tedeng aling-aling Lucas meraih pinggulku dan memutarbalikkan tubuhku ke arah jendela. Kedua payudaraku yang telah telanjang bulat kini mutlak mengecup mesra jendela mobil tempat kami berada.

Selagi mengecupi punggung dan menggigit leherku dari belakang, Lucas berkata, "Kaca jendela mobil ini see through."

Ia menangkupkan kedua tangannya ke dadaku, dengan jari jemari membentuk lingkaran-lingkaran kecil di sekitar puncak payudaraku. Tubuh Lucas semakin merapat ke arahku, membuatku yakin jika siapa pun yang lewat sekarang pasti bisa menyaksikan bagian depan tubuhku terpampang jelas di jendela mobil.

"Lalu apa hubungannya?" tanyaku.

"Kami udah berusaha track semua oknum itu selama berbulan-bulan, tapi karena mereka experts, susah banget meretas data yang mereka punya. Informasi tentang mereka nyaris non eksisten di database kami," ujar Lucas selagi menyusupkan salah satu tangannya ke dalam celanaku.

"Lo ga jawab pertanyaan gue," kataku.

"Apa yang berusaha kami lakukan adalah,"--ia mulai memainkan klitorisku--"membuat salah satu dari mereka menyalakan smartphone yang mereka punya supaya kita bisa retas informasi di dalamnya."

Gerakan Lucas ceroboh dan terburu-buru, tetapi aku tak kuasa menahan suaraku begitu dia membenamkan jarinya dalam-dalam. Aku terbahak di sela-sela percumbuan panas itu.

"Jadi," kataku, "lo mencoba menarik perhatian mereka dengan cara have sex di dalam mobil tepat di pangkalan mereka? In hope that it'll catch their attention and make them turn their phones on?"

"Precisely."

"Tapi apa yang jamin kalo mereka bakalan seceroboh itu?"

Lucas tertawa lepas. "Oh, percaya sama gue," katanya. "Ga ada cowok yang bakalan mau melewatkan pemandangan ini." Ia mencengkeram salah satu payudaraku.

Aku menyeringai. "A solid point, indeed."

Maka kami berdua mengguncang mobil polisi tersebut dan dengan sebisa mungkin mempertontonkan apa yang terjadi di dalam sini melalui jendela. Suara desah dan lenguhan tanpa malu lolos dari mulut kami, seolah mengumumkan kepada semua orang di luar sana, "Hey, kami sedang bercinta!"

Tak lama kemudian, radio dua arah milik Lucas berbunyi nyaring dan membeberkan satu fakta itu: tim keamanan digital kepolisian telah berhasil mendeteksi salah satu ponsel tersangka tindak kriminal yang baru saja dinyalakan.

"Kami berhasil menentukan lokasi pelaku," suara serak pria dari seberang sana terdengar. "Omong-omong, kalian bisa berhenti. Kalian tidak ingin aku menayangkan apa yang sedang kamera belakang pelaku tampilkan saat ini."

Aku dan Lucas saling pandang untuk sesaat sebelum setelahnya tertawa lepas.

"Dugaan lo benar," kataku selagi menggigit bibir bawahnya. "You're secretly a genius, huh?"

"I am," ujarnya, kembali mencumbu bibirku lagi. "If I weren't you wouldn't be here with me."

Setelah kejadian itu aku mendengar di berita bahwa beberapa pelaku perdagangan manusia ini berhasil tertangkap. Itu sudah berbulan-bulan lalu, dan aku sama sekali tidak menyadari bahwa masalah ini belum bisa diselesaikan oleh pihak berwajib. Nyatanya, jika kasus ini sudah diusut tuntas, Nara tidak akan berada di sini bersamaku, menceritakan kronologi kejadian bagaimana dia bisa terdampar di Korea Selatan.

"Jadi mereka awalnya pura-pura menawarkan beasiswa S1 ke kamu?" tanyaku dalam Bahasa Indonesia.

Nara, yang kini duduk di sebrangku di ruang tamunya yang sempit, hanya sanggup menunduk lesu. "Saya pikir beasiswa itu resmi dari pemerintahan," katanya. "Saya sudah cek ke dinas dan lainnya, berdasarkan informasi yang saya dapat, memang valid."

Aku memberengut. "Tapi...?"

"Tapi ternyata itu scam."

"Apa yang terjadi setelahnya?"

Kusaksikan Nara mengepalkan kedua tangannya di atas pangkuan. Wajahnya terlihat takut dan kesal di saat yang bersamaan. Kusaksikan matanya berkaca-kaca, tetapi aku yakin dia tidak akan sudi melinangkan air mata di hadapanku. Tatapan matanya saja sedari tadi tidak pernah menuju ke arahku.

Sebenarnya mengapa lelaki ini memilih untuk menjadi sangat privat begini? Tidak bisakah ia melihat bahwa aku berusaha menolongnya?

"Apa yang membuat lo ragu-ragu?" tanyaku lagi. "Lo tahu kalau gue berusaha bantu lo, kan?"

Nara mengatupkan bibirnya rapat.

"Lo ingin terbebas dari ini semua atau enggak?" tanyaku kesekian kali, mulai jengah dengan sikapnya yang sungguh tidak kooperatif.

"Kamu pikir kamu bisa bantu saya?" salak Nara defensif. "Kalau mereka mau, mereka bisa habisi kamu malam ini juga. Mereka ada di mana-mana. Kamu pikir kamu bisa lawan mereka seorang diri?"

Apa dia baru saja menyepelekan koneksi yang aku punya?

Aku mendengus kecut. "First of all, secara teknis saya enggak akan melawan mereka seorang diri. Second of all--"

"Kamu tidak tahu sindikat macam apa mereka," sela Nara. "Lebih baik jangan ikut campur."

Aku termenung.

"Kamu ke Korea Selatan hanya untuk berlibur, kan? Jadi nikmati saja liburanmu," katanya. "Enggak usah mengurusi urusan orang lain."

Aku ingin menyalak, tetapi ia sudah bangkit dari sofanya yang reot dan membuka pintunya lebar-lebar. Kutatap lelaki itu penuh dengan tanda tanya.

"Saya minta kamu keluar," katanya dingin. "Sekarang."

*

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang