"Pada intinya kamu memalsukan pertunangan kamu sendiri?" tanyaku kepada Erick di meja makan. Aku memang memutuskan untuk tinggal di sini untuk sementara selagi menunggu Nara untuk pulih kembali.
Aku berniat untuk membawanya pergi dari sini, tentu saja. Membebani Erick jelas tidak membuatku merasa nyaman. Namun, tidak dalam beberapa hari ke depan.
Pria yang kini tengah memamah sarapannya tersebut memangutkan kepala lesu. Dijejalkannya telur mata sapi ke mulut tanpa selera.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Dia itu capek dikejar-kejar cewek," celetuk Michaela dari dapur yang tak jauh dari ruang makan. Tangannya dengan cekatan membolak-balik nasi goreng ala Korea Selatan ini di atas wajan. "Jadi Erick berusaha untuk membuat mereka mundur dengan cara bilang kalau dia udah tunangan. Lihat aja di jarinya, saking niatnya dia sampai beli cincin tunangan beneran."
Yang dibicarakan mendesah keras. "Kamu bisa diem enggak, sih, Mic? Kamu enggak bisa, dong, umbar aib saya ke orang asing!"
" 'Orang asing'." Michaela membuat tanpa kutip di udara. "Saya enggak yakin kalau orang ini adalah orang asing buat kamu, Big Bro."
"Lexa, namanya Lexa," jawab Erick setengah berkumur. "Jangan panggil dia 'orang ini.' "
"See?" Michaela menyajikan seonggok nasi di hadapan kami yang langsung membuat mulutku berair. "Kamu aja enggak rela waktu saya panggil dia dengan sebutan kayak gitu. Jadi, lebih baik sekarang kalian jujur ke saya." Wanita itu mendaratkan tubuh di kursi kosong kemudian melipat kedua tangan di depan dada. "Kalian ini punya hubungan apa?"
"Michaela Jang," panggil Erick, frustasi, "jangan main-main."
"Siapa yang main-main?" suara Michaela meninggi. "Saya cuma mau tahu hubungan kalian itu seperti apa, enggak lebih. Mari jangan lupa kalau kalian berdua sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu yang berpotensi menjadi sesuatu yang berbahaya. Saya punya hak untuk tahu apa yang terjadi."
"Sesuatu yang berpotensi...?" aku membeo dengan kerutan di kening. "Apa yang kamu...?"
"Cowok yang ada di dalem sana," tandas Michaela tanpa tedeng aling-aling. "Siapa dia?"
Erick langsung berdehem keras. "Kalau untuk yang satu itu... adalah classified information."
"See? Sejak kapan kamu main rahasia-rahasiaan kayak ini?" Michaela mengerutu.
Aku berusaha menengahi, "Apa yang Erick bilang itu bener. Ada baiknya kalau kamu enggak terlibat dengan masalah yang kami hadapi. Tapi, kalau kamu penasaran dengan status yang kami punya, saya bisa bilang kalau kita sama sekali enggak ada hubungan apa-apa."
"Itu benar," timpal Erick selagi memangutkan kepala bersemangat.
"Seperti yang sudah kamu tahu sekarang... Erick juga beritahu saya kalau dia sudah bertunangan. Jadi selama ini kita cuma berteman dan hang out biasa," lanjutku. "Sama sekali enggak ada yang perlu kamu khawatirkan."
Michaela sempat memandangi kami berdua satu per satu dengan sorot mata penuh kekesalan. Namun, akhirnya dia membuang napas dan ekspresinya melunak. "Apa pun yang kalian lakuin," katanya, "lebih baik hati-hati."
Kami berdua mengangguk serempak.
"Saya cuma penasaran alasan kalian enggak membawa dia ke rumah sakit," gumam Michaela seraya menyendok nasi di piringnya ke dalam mulut. "Memangnya dia itu siapa? Narapidana?"
"Itu masih kita selidiki," jawab Erick.
"Dan, yang lebih bikin saya penasaran adalah,"—kedua matanya kembali hinggap kepadaku—"siapa kamu?"
Aku menyernyit.
"Kenapa kamu bisa terlibat dengan dia?"
"Maksud kamu... Nara?"
"Iya, cowok yang lagi ada di kamar," desah Michaela. "Apa hubungan yang kamu punya dengan dia?"
Entah mengapa, kali ini Erick malah memandangiku dengan kecurigaan yang sama. Kakak beradik ini memerhatikan gerak-gerikku seolah akulah yang menjadi buron nomor satu negara.
"Kalau dipikir-pikir, apa yang Michaela bilang itu ada benernya juga," sahut Erick tanpa dosa. "Kenapa kamu melibatkan diri sejak awal?"
Apa mereka seriusan mencurigaiku?!
"Keterlibatan apa yang kamu punya dengan Nara?" todong Erick lagi. "Dan kenapa kamu rela menyogok orang dalam hanya untuk mencegah Nara diproses secara hukum?"
"Apa yang akan terjadi kalau dia dipenjara...?" Tatapan tajam Michaela menusukku hidup-hidup. "Apa... kamu akan dirugikan...?"
"Kalau iya... kenapa—"
"CUKUP!"
Suara pekikanku langsung membuat keduanya terjengit kaget. Suaraku pun terdengar lebih lantang daripada apa yang telah aku antisipasi. Namun, aku tidak keberatan. Kedua orang ini memang harus berhenti membuat cerita misteri mereka sendiri. Kenyataan yang ada jauh dari apa yang mereka kira!
"Apa pun yang kalian pikirkan," kataku sejurus kemudian, "itu... salah, oke?"
"Jadi kamu enggak terlibat dengan Nara?" Erick masih menodongku dengan pertanyaan. "Lalu hubungan kalian apa? Kenapa kamu bisa sampai sepenasaran itu bahkan sampai ikut campur ke dalam urusan pribadinya?"
"Secara teknis, saya enggak ikut campur," jawabku. "Saya tanpa sengaja melihat ada beberapa preman yang berusaha untuk memeras dan menyakiti Nara. Saya enggak punya pilihan selain berusaha membela dia waktu ini terjadi."
"Tunggu, kapan ini terjadi?" tanya Erick dengan dahi tertekuk.
"Waktu kita bersama-sama ke rumahnya," jawabku apa adanya.
"Dan kamu enggak bilang ke saya?" suara Erick tertahan.
"Enggak ada baiknya melibatkan orang yang enggak bersalah ke dalam ini semua," gumamku. "Yang penting adalah saya dulu pernah terlibat dengan kasus yang serupa. Saya pernah bekerja dengan polisi yang memang memiliki misi untuk memberantas perdagangan manusia ini. Tapi, seperti yang bisa kalian bisa lihat, ternyata kasus ini lebih besar daripada apa yang bisa—"
"Sori, kamu tadi bilang perdagangan manusia?" pekik Michaela.
Oh, sialan! Aku lupa kalau dia belum mengetahui seluruh ceritanya!
"Yang menjadi poin saya adalah—"
"Ini apa-apaan?" sela adik Erick dengan wajah penuh teror. "Kalian ini lagi terlibat dengan sindikat macam apa? Kenapa kalian melibatkan diri ke dalam hal yang kayak gini?!"
Erick menengahi, "Mic, tolong tenangin dirimu—"
"Saya harus tanya langsung ke Nara," ujar Michaela, panik. "Saya harus tahu semua yang kalian sembunyikan dari saya."
Wanita itu bangkit ke atas kakinya dan mulai berlari ke kamar tamu tempat Nara beristirahat. Namun, aku sudah menyusulnya kemudian mencengkeram pergelangan tangannya. Michaela tertegun melihat raut wajahku.
Apakah dia baru saja hendak mengusik sesuatu milikku?
"Jangan ganggu dia," ujarku, penuh penekanan.
Dia mengibaskan tanganku. "Kalian sinting," geramnya. "Apa dia adalah narapidana? Kamu udah bikin rumah ini tercela dengan membuat dia tinggal di sini."
Tercela? Dia menggunakan satu kata itu untuk mendeskripsikan Nara? Seorang lelaki yang jelas-jelas merupakan seorang korban dari seluruh kemalangan dunia? Dia menganggap Nara itu apa? Serangga tidak berarti yang hidupnya tidak punya nilai?
Wanita ini memang benar-benar.
Tanpa sadar, tangan kananku terangkat ke udara, bersiap untuk mendaratkan bukan tamparan, tetapi tinjuan telak ke salah satu pipi Michaela. Akan tetapi, Erick mencegat tanganku.
"Tenangkan dirimu," ujarnya dari balik punggungku.
"Kalian itu udah gila!" pekik Michaela yang kemudian menatap Erick dengan wajah memohon. "Rick, please, kamu enggak ingin lagi terlibat dengan dunia yang seperti ini, kan?"
Dia bilang... lagi?
*
KAMU SEDANG MEMBACA
[18+] DIRTIEST SCANDAL
RomanceTOP 8 in #Explicit Category Kabur dari tanggung jawab sebagai penerus perusahaan ayahnya, Lexa Cohen-dominatrix dunia malam ibu kota-malah dipertemukan oleh seorang bocah kemarin sore yang membutuhkan bantuan. Tanpa campur tangan Lexa, Nara sudah da...