Heated Argument II

143 8 2
                                    

Dari raut wajahnya aku tahu kalau sejatinya Nara sama sekali tidak ingin berurusan denganku. Aku pun merasakan hal yang sama, tetapi semakin aku lari dari masalah ini, semakin yakin aku kalau jika tidak diselesaikan sekarang, hidupku tidak akan tenang.

"Gue ga paham lo ngomong apa," ujar lelaki itu pada akhirnya. Dia hendak menutup pintu tepat di depanku--untuk yang kesekian kalinya—tetapi aku langsung mencegahnya sebelum pintunya terkunci rapat.

"Gue tahu kalau mereka orang-orang yang jahat," kataku, berusaha sekuat tenaga untuk tidak naik pitam. "Tapi, lo harus tahu kalo gue...."

Nara menatapku, seolah menungguku untuk memberikannya jawaban. Namun, aku hanya mematung di sana, mencoba untuk mengumpulkan semua kemampuan beraktingku agar dia tidak mengetahui kalau sejatinya aku sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Memangnya apa yang akan aku katakan pada bocah ini? Fakta kalau aku ini ternyata penerus salah satu perusahaan terkenal di Indonesia dan mancanegara? Yang saat ini sedang berada dalam penyamaran karena aku tidak ingin menjadi pemimpin yang berikutnya? Kalau aku melakukan itu, aku secara tidak langsung akan membocorkan identitasku sendiri. Ini sama saja dengan bunuh diri!

Kendati demikian, ada sesuatu hal lain yang menggangguku: kalaupun aku mengakui siapa aku... akankah dia mempercayaiku...?

"Lo siapa?" tantang Nara. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, dengan wajah penuh kekesalan menatapku lurus-lurus. "Kenapa berhenti?"

"Enggak penting gue siapa," ujarku tak kalah ketus. "Yang jelas adalah—"

"Gue enggak tahu tujuan lo dateng ke sini dan merhatiin gue itu apa," potong Nara tanpa tedeng alih-alih. "Yang gue tahu jelas adalah gue udah ga mau berurusan sama orang-orang enggak jelas lagi. Jadi gue minta lo pulang sekarang."

Lelaki itu kembali menutup pintunya, yang lagi-lagi aku cegat sebelum dia menghilang sepenuhnya dari pandanganku.

"Lo kenapa kayak gini, sih?" tanyaku, tidak bisa lagi menyembunyikan amarah yang perlahan-lahan mulai terdengar dari nada bicaraku.

"Apa maksud lo?" ia malah balik bertanya dengan tak kalah marahnya. "Lo beneran ga tau alasan kenapa gue ga mau ngomong sama lo? Emangnya alasan apa lagi yang harus gue punya? Selama ini lo udah ngikutin gue—lo bahkan tahu alamat gue sekalipun gue ga pernah kasih tahu tempat ini ke siapa pun—dan sekarang lo berpura-pura kalo lo mau bantuin gue?

"Gue sama sekali enggak berpura-pura waktu gue bilang—"

"Dan lo ingin gue percaya sama lo gitu aja?" sela Nara. Kali ini aku bisa melihat secerca kesedihan di dalam matanya, yang berusaha dia sembunyikan di balik sikapnya yang ketus dan defensif.

Mungkin alasan mengapa aku begitu tertarik kepadanya adalah karena aku menemukan sedikit dari diriku di dalam sifatnya. Bukankah memuakkan karena harus terus berlagak kuat di depan orang-orang? Hanya karena kau memang dikenal sebagai orang yang pendiam dan tidak banyak tingkah?

Mungkin kami memiliki nasib yang bertolak belakang, tetapi kami tidak jauh berbeda.

Inikah alasan mengapa semesta mempertemukan kami?

Oh, astaga. Apa-apaan yang baru saja aku pikirkan itu? Mengapa pula aku mempertanyakan hal yang tidak penting seperti itu...?

"Gue minta lo pergi." Tanpa tedeng aling-aling, Nara langsung mendorongku menjauh dari ambang pintu, tetapi aku tidak bergerak sama sekali. Yang kulakukan malah sebaliknya: aku merangsek maju dengan langkah percaya diri. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, telah kurentangkan kedua tanganku untuk memeluk lehernya erat-erat.

Mengapa? Mengapa aku mendekapnya?

Nara sempat memberontak, tentu saja. Hal ini bisa ditebak dari sikapnya yang selalu ingin menghindariku, tetapi kalau memang ini yang kerap dia lakukan, akan kutunjukkan kalau dia tidak akan bisa mengenyahkanku dengan mudah.

"Lepasin gue!" ia meraung, tetapi tubuhnya yang ceking itu tidak akan mudah lolos dari cengkeramanku. Sekalipun aku wanita, aku berotot sebab rutin ke pusat kebugaran. Menyaksikan Nara yang terus memintaku untuk melepaskannya, pada akhirnya aku melakukan apa yang dia minta. "Lo apa-apaan?!"

"Lo yang apa-apaan," ujarku, mengendurkan tubuh kami yang beberapa detik lalu menempel tanpa cela. "Gue udah tolongin lo berulang kali, tapi lo masih curiga ke gue?"

Dari wajahnya aku tahu kalau lelaki ini jelas ingin memprotes, tetapi entah mengapa dia hanya bisa diam dengan kedua bibir terbuka—dia tidak mengatakan apa pun sekalipun mau.

"Kenapa?" Perlahan, aku melangkah maju, membuatnya kembali merasa kecil hingga akhirnya Nara tersudut ke tembok rumahnya yang reyot. "Kenapa lo mencurigai gue?"

Ia tidak menjawab. Hanya menunduk semakin dalam memandangi jari-jari kakinya di lantai.

"Lo ga percaya gue karena lo udah dibohongi dan dikhianati oleh orang lain," ujarku, yang sejatinya adalah pernyataan alih-alih pertanyaan. "Ya, kan?"

"Lo enggak tahu apa-apa," ia berusaha mengelak. Lelaki itu mencoba untuk melarikan diri dariku, tetapi aku kembali menghempaskan punggungnya ke tempat semula. Kukunci wajahnya dengan kedua tanganku yang menempel di dinding. Ia tidak berkutik.

"Lo mungkin mikir kalo gue ga tahu apa-apa," desahku tepat di depan wajahnya. Kutatap kedua matanya yang gelap dengan teror. "Tapi semuanya jelas bagi gue."

"Lo itu cuma omong gede," ujarnya dengan senyuman penuh cemooh. "Lo sama sekali ga tau siapa gue. Nolongin gue beberapa kali enggak mengubah lo menjadi cenayang. Lo bukan siapa-siapa, dan gue juga bukan siapa-siapa. Jadi lo ga usah sok-sokan—"

"Sok-sokan jadi pahlawan? Sok-sokan kalo gue bisa nolongin lo?" Aku mengangkat kedua alisku, mulai membaca ke mana arah pembicaraan ini. Dia ingin mengolok-olokku untuk membuatku berhenti mencoba. Oh, astaga, nyatanya apa yang dia lakukan malah membuatku ingin membuktikan yang sebaliknya: kalau aku bisa melepaskannya dari belenggu semua orang yang selama ini telah memperdayanya.

"Lo yang sejauh ini enggak mau dengerin gue, Nara," lirihku. Wajah kami hanya terpaut beberapa inci saja, tetapi lelaki ini tidak gentar. Dia tetap menyongsong tatapanku sekalipun tubuhnya kini bergetar lembut. Egonya terlampau tinggi untuk membiarkanku menyaksikannya berada dalam kondisi yang lebih inferior dariku.

Kalau memang inilah sifat aslinya, mengapa selama ini dia tidak pernah melawan? Neraka macam apa yang telah dia lalui hingga akhirnya orang sepertinya bahkan telah kehilangan api kehidupannya...?

"Lo ga percaya gue karena lo udah muak ditipu, kan?" lanjutku. "Lo udah capek percaya sama orang lain karena selama ini mempercayai orang cuma bikin lo rugi atau bahkan nyaris kehilangan masa depan. Enggak, kehilangan nyawa. Apa yang gue bilang ini bener, kan...?"

Tanpa memecah kontak mata, dia menjawab dengan penuh percaya diri, "Jangan sok tahu."

Suaranya bergetar. Apa yang membuatnya berpikir kalau dia adalah aktor yang baik?

"Lo harus tahu kalau yang selama ini nipu lo adalah orang-orang itu, bukan gue," lanjutku, mulai melunak.

"Itu enggak mengubah apa-apa—"

"Enggak mengubah apa-apa?" aku kembali menyalak. "Lo bilang enggak mengubah apa-apa? Lo lupa kalo lo nyaris dipenjara gara-gara apa yang udah Song lakuin ke lo? Dengan gampangnya lo nerima tuduhan yang dia jatuhkan ke lo. Apa lo enggak mikirin masa depan lo sama sekali?"

"Gue nerima tuduhan itu justru karena gue mikirin masa depan gue!" pekik Nara frustasi. "Kalo gue mau ngurus ini secara hukum, mereka bakalan gali identitas gue lebih jauh. Akan lebih baik kalo gue nyerah—"

"Apa lo bilang ke gue kalo lo lebih mending masuk penjara...?" Aku menatapnya tak percaya. "Kalo gue enggak maju buat lo, lo bakal biarin diri lo sendiri dipenjara...?"

Untuk pertama kali setelah menahan kontak mata kami yang intens, akhirnya Nara membuang wajah. Kusaksikan kedua matanya berkaca-kaca dan napasnya pun mulai naik-turun tidak keruan. "Itu masih jauh lebih baik," lirihnya, "daripada hidup di luar sini."

Apa...?

*

[18+] DIRTIEST SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang