Bertengkar sesal, di ruang terjal.

23 3 3
                                    

"Percayalah, sampai sejauh manapun aku melangkah meninggalkan jejak yang tak lagi ada sosok pendukung di sisiku. Tak ada lagi wanita yang selalu bawel kepadaku. Tak ada siapapun yang kembali memberikan semangat selain dirimu"

Wanita itu memang aneh. Kesetiannya tak pernah ia sebutkan, sedihnya ia sembunyikan, senangnya ia tampak-kan. Lucu, pura pura tidak peduli padahal memperdulikan. Konyol, berbicara mengikhlaskan tapi tak pernah sedikitpun untuk melupakan. Mungkin segala kenangannya membias di relung hati yang paling dalam. Tatapan matanya begitu tajam, ia melemparkan senyuman di sela sela pertemuan singkat. Tak ada satupun buku, tak ada setebal apapun buku yang bisa menjelaskan bagaimana wanita bisa dimengerti.

Ini bukan hanya soal persoalan melupakan, maupun mengikhlaskan, bahwa sesungguhnya yang paling kini aku rasakan ialah lelah, letih, dan lesuh menghadapi segala keluh. Keinginannya untuk menjadi mahasiswa itu harus di kubur dalam dalam. Dimana aku benar-benar di tampar oleh keadaan yang tidak sama sekali aku pikirkan.

Kadang, kita juga harus di tampar habis habisan oleh kegagalan, agar Tau bagaimana susahnya menjadi manusia yang manusia. Harus berjuang di bawah terik matahari, berharap bisa makan saja itu sudah lebih dari cukup.

"Ini baru permulaan loh." Bisik ku menggerutu di dalam hati.

Kadang aku merasa diriku lah yang paling susah, yang paling sedih. Padahal ada ber-miliar miliar manusia di muka bumi ini yang mungkin untuk makan saja sangat sulit.

"Aku harus kuat, aku di besarin dengan keringat seorang ibu yang berjuang untuk anak anaknya, membayar iuran sekolah, mencukupi kebutuhan sehari hari agar anaknya bisa makan. Aku gak setega itu untuk menyerah, aku harus buktiin dengan cara apapun, dengan harap dan do'a aku yakin ko."

Tak habis-habis setiap malam aku duduk di teras rumah hanya untuk memikirkan hal hal yang sebenarnya tidak harus di pikirkan.

"Hai apa kabar." tulis 'ku di kolom chat.

"Lah, kenapa tiba tiba harus menyapa lagi si" aku menggerutu kepada diriku sendiri.

"Tapi, aku butuh seseorang yang bisa ngisi kekosongan. Dan dia orangnya, meskipun dulu harus berkahir dengan tragis, tapi cuman dia yang bisa ngertiin aku"

Tapi akhirnya cuman bisa berkata "Yaudah gpp ya, semoga saja dia juga menerima."

Berharap secukupnya. Jangan sampai dengan pentingnya dia di hidupmu, malah menjadikan mu sengsara. Memang perasaan tidak bisa di pungkiri, tidak bisa di paksakan. Syukur syukur masih mau mengukir cerita lagi. Memang cukup rumit ya, seorang yang keras kepala memaksakan seseorang yang sebenarnya sudah pergi jauh entah kemana.

Di ruang terjal, aku kembali melamun. Dan berkata "kenapa harus dia?"

Ketika, kita merasa lelah, dan satu satunya cara untuk merebah ialah dengan dirinya, tak apa. Mungkin ini cara untuk kembali bercerita di permulaan yang rumit. Bersama sama mengukir cerita boleh. Tapi, bersama sama memaksa untuk tetap bersama, mungkin itu terlalu jahat.

Ya begitulah, ketika permasalahan hidup yang hanya mengandalkan ego, dimasa remaja yang serba salah ini, tetap kuat ya. Di hadapi segala urusan yang lebih berat lagi. Ini belum seberapa, mungkin kau di anggap anak kecil di hadapan orang tua, tapi sebenarnya engkau lagi belajar hidup di umur yang singkat ini.

Aku pun membuka pintu kamar, merebah di kasur tempat aku menyendiri, dan hanya di temani dengan sepi.

Lara Derana (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang